Cara Mencari Interpolasi Linier Biaya Pembangunan Gedung
PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 45/PRT/M/2007 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBANGUNAN GEDUNG NEGARA - Bidang Jasa Konstruksi - DTBP PEMKAB BOGOR
PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM
PEDOMAN TEKNIS PEMBANGUNAN
BANGUNAN GEDUNG NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM Menimbang : a. bahwa sesuai penjelasan ayat (8) pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, penyelenggaraan bangunan gedung negara diatur oleh Menteri Pekerjaan Umum; b. bahwa sesuai dengan Lampiran C Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Peme-rintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, penetap-an kebijakan pembangunan serta pengelolaan gedung dan rumah negara merupakan urusan Pemerintah; c. bahwa bangunan gedung negara merupakan salah satu aset milik negara yang mempunyai nilai strategis sebagai tempat berlangsungnya proses penyelenggaraan negara yang diatur dan dikelola agar fungsional, andal, efektif, efisien, dan diselenggarakan secara tertib; d. bahwa dalam rangka pembangunan bangunan gedung negara sebagai bagian awal dari proses penyelenggaraan bangunan gedung negara yang fungsional, andal, efektif, efisien, dan diselenggara-kan secara tertib, diperlukan adanya Pedoman i Teknis sebagai landasan dalam penyelenggaraan pembangunannya; e. bahwa Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara tersebut perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum; Mengingat : 1. Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3833); 2. Undang-undang RI Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4247); 3. Undang–undang RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 4. Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4438); 5. Peraturan Pemerintah RI Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 No. 64 Tambahan Lembaran Negara No. 3956); 6. Peraturan Pemerintah RI Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 No. 83 Tambahan Lembaran Negara No. 4532); 7. Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4609); ii 8. Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82); 9. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia; 10. Keputusan Presiden RI Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu; 11. Keputusan Presiden RI Nomor 10 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara RI jo Peraturan Presiden RI Nomor 15 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden RI Nomor 10 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara RI; 12. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan dan Lingkungan; 13. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan; 14. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 286/PRT/M/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pekerjaan Umum; 15. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung; 16. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan; iii 17. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi; 18. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan. MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA. BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Pertama Pengertian Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Bangunan Gedung Negara adalah bangunan gedung untuk keperluan dinas yang menjadi/akan menjadi kekayaan milik negara seperti: gedung kantor, gedung sekolah, gedung rumah sakit, gudang, dan rumah negara, dan diadakan dengan sumber pembiayaan yang berasal dari dana APBN, dan/atau perolehan lainnya yang sah. 2. Pembangunan adalah kegiatan mendirikan bangunan gedung yang diselenggarakan melalui tahap perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi dan pengawasan konstruksi/manajemen konstruksi (MK), baik merupakan pembangunan baru, perbaikan sebagian atau seluruhnya, maupun perluasan bangunan gedung yang sudah ada, dan/atau lanjutan pembangunan bangunan gedung yang belum selesai, dan/atau perawatan (rehabilitasi, renovasi, restorasi). 3. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintah Negara iv Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Bagian Kedua Maksud, Tujuan, dan Lingkup Pasal 2 (1) Pedoman Teknis ini dimaksudkan sebagai petunjuk pelaksanaan bagi para penyelenggara dalam melaksanakan pembangunan bangunan gedung negara. (2) Pedoman Teknis ini bertujuan terwujudnya bangunan gedung negara sesuai dengan fungsinya, memenuhi persyaratan, keselamatan, kesehatan, kenyamanan, kemudahan,efisien dalam penggunaan sumber daya, serasi dan selaras dengan lingkungannya, dan diselenggarakan secara tertib, efektif dan efesien. (3) Lingkup Pedoman Teknis ini meliputi substansi pedoman teknis dan pengaturan penyelenggaraan bangunan gedung negara. BAB II PENGATURAN PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA Bagian Pertama Substansi Pedoman Teknis Pasal 3 (1) Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara meliputi: a. Persyaratan Bangunan Gedung Negara yang terdiri dari: 1. Klasifikasi Bangunan Gedung Negara; 2. Tipe Bangunan Rumah Negara; 3. Standar Luas; 4. Persyaratan Teknis; dan 5. Persyaratan Administrasi. b. Tahapan Pembangunan Bangunan Gedung Negara terdiri dari: 1. Tahap Persiapan; 2. Tahap Perencanaan Teknis; dan 3. Tahap Pelaksanaan Konstruksi. v c. Pembiayaan Pembangunan Bangunan Gedung Negara terdiri dari: 1. Umum; 2. Standar Harga Satuan Tertinggi; 3. Komponen Biaya Pembangunan; 4. Pembiayaan Bangunan/Komponen Bangunan Tertentu; 5. Pembiayaan Pekerjaan Non Standar; dan 6. Prosentase Komponen Pekerjaan. d. Tata cara pelaksanaan Pembangunan Bangunan Gedung Negara meliputi: 1. Penyelenggara Pembangunan Bangunan Gedung Negara; 2. Organisasi dan Tata Laksana; 3. Penyelenggaraan Pembangunan Tertentu; dan 4. Pemeliharaan/Perawatan Bangunan Gedung Negara. e. Pendaftaran Bangunan Gedung Negara meliputi: 1. Tujuan Pendaftaran Bangunan Gedung Negara; 2. Sasaran dan Metode Pendaftaran; 3. Pelaksanaan Pendaftaran Bangunan gedung Negara; dan 4. Produk Pendaftaran Bangunan Gedung Negara. f. Pembinaan dan Pengawasan Teknis. (2) Rincian Pembangunan Bangunan Gedung Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini tercantum pada lampiran Peraturan Menteri ini, yang merupakan satu kesatuan pengaturan dalam Peraturan Menteri ini. (3) Setiap orang atau Badan Hukum termasuk instansi Pemerintah, dalam penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung negara wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini. Bagian Kedua Pengaturan Penyelenggaraan Pasal 4 (1) Setiap pembangunan Bangunan Gedung Negara yang dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga harus mendapat bantuan teknis berupa tenaga Pengelola Teknis dari Departemen Pekerjaan Umum dalam rangka pembinaan teknis. (2) Untuk pelaksanaan pembangunan Bangunan Gedung Milik Daerah yang biayanya bersumber dari APBD diatur dengan Keputusan vi Gubernur/Bupati/Walikota yangdidasarkan pada ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. (3) Untuk pelaksanaan pembangunan Bangunan Gedung Milik BUMN/BUMD mengikuti ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. (4) Dalam hal Daerah belum mempunyai Keputusan Gubernur/ Bupati/Walikota pada ayat (2) pasal ini diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5. (5) Daerah yang telah mempunyai Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini sebelum Peraturan Menteri ini ditetapkan, harus menyesuaikan dengan ketentuan- ketentuan persyaratan pembangunan bangunan gedung negara sebagaimana dimaksud pada Pasal 3. Pasal 5 (1) Dalam melaksanakan pembinaan pembangunan bangunan gedung negara, Pemerintah melakukan peningkatan kemampuan aparat Pemerintah Daerah, maupun masyarakat dalam memenuhi ketentuan Pedoman Teknis sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 untuk terwujudnya tertib pembangunan bangunan gedung negara. (2) Dalam melaksanakan pengendalian pembangunan bangunan gedung daerah Pemerintah Daerah wajib menggunakan Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (3) Terhadap aparat Pemerintah Daerah, yang bertugas dalam pembangunan bangunan gedung daerah yang melakukan pelanggaran ketentuan dalam Pasal 3 dikenakan sanksi sesuai ketentuan dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. (4) Terhadap penyedia jasa konstruksi yang terlibat dalam pembangunan bangunan gedung negara/daerah yang melakukan pelanggaran ketentuan dalam Pasal 3 dikenakan sanksi dan atau ketentuan pidana sesuai dengan Undang-undang No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. vii BAB III PEMBINAAN TEKNIS DAN PENGAWASAN TEKNIS Pasal 6 (1) Pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung negara melakukan pembinaan teknis dan pengawasan teknis kepada Pengguna Anggaran dan Penyedia Jasa Konstruksi. (2) Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pemberian bantuan teknis berupa: bantuan tenaga, bantuan informasi, bantuan kegiatan percontohan. (3) Pengawasan teknis dilaksanakandengan pengawasan terhadap penerapan peraturan perundang-undangan terkait dengan penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung negara. (4) Pembinaan teknis dan pengawasan teknis bangunan gedung negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum cq Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya untuk tingkat nasional dan wilayah DKI Jakarta; dan Dinas Pekerjaan Umum/Dinas Teknis Provinsi yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung untuk wilayah provinsi di luar DKI Jakarta. BAB IV KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 7 Peraturan Menteri tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara ini merupakan bagian dari Pedoman Teknis Penyelenggaraan Bangunan Gedung Negara yang meliputi pembangunan, pemanfaatan, dan penghapusan. viii BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 8 (1) Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 332/KPTS/ M/2002 Tahun 2002 tanggal 21 Agustus 2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara dinyatakan tidak berlaku lagi. (2) Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, semua ketentuan Pembangunan Bangunan Gedung Negara yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini masih tetap berlaku sampai digantikan dengan yang baru. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 9 (1) Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. (2) Peraturan Menteri ini wajib dilaksanakan bagi setiap penye- lenggara pembangunan bangunan gedung negara oleh Kementerian /Lembaga. (3) Peraturan Menteri ini disebarluaskan kepada pihak-pihak yang bersangkutan untuk diketahui dan dilaksanakan. Ditetapkan di : Jakarta Pada Tanggal : 27 Desember 2007 MENTERI PEKERJAAN UMUM DJOKO KIRMANTO ix Lampiran Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 45 /PRT/M/2007 1 Tanggal : 27 Desember 2007 Tentang : Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara BAB I U M U M A. PENGERTIAN 1. BANGUNAN GEDUNG Yang dimaksud dengan bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat dan kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatan, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. 2. BANGUNAN GEDUNG NEGARA Bangunan Gedung Negara adalah bangunan gedung untuk keperluan dinas yang menjadi/akan menjadi kekayaan milik negara dan diadakan dengan sumber pembiayaan yang berasal dari dana APBN, dan/atau perolehan lainnya yang sah, antara lain seperti: gedung kantor, gedung sekolah, gedung rumah sakit, gudang, rumah negara, dan lain-lain. 3. PENGADAAN Yang dimaksud dengan pengadaan adalah kegiatan pengadaan bangunan gedung baik melalui proses pembangunan, pembelian, hibah, tukar menukar, maupun kerja sama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna. Pedoman Teknis Pembangunan BGN 4. PEMBANGUNAN Yang dimaksud dengan pembangunan adalah kegiatan mendirikan bangunan gedung yang diselenggarakan melalui tahap persiapan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi dan pengawasan konstruksi/manajemen konstruksi (MK), baik merupakan pembangunan baru, perbaikan sebagian atau seluruhnya, maupun perluasan bangunan gedung yang sudah ada, dan/atau lanjutan pembangunan bangunan gedung yang belum selesai, dan/atau perawatan (rehabilitasi, renovasi, restorasi). 5. INSTANSI TEKNIS SETEMPAT Instansi Teknis setempat dimaksud adalah: a. Direktorat Penataan Bangunandan Lingkungan, Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum untuk tingkat nasional dan wilayah DKI Jakarta. b. Dinas Pekerjaan Umum/Dinas Teknis Provinsi yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung untuk wilayah provinsi, di luar DKI Jakarta. B. ASAS PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA Pelaksanaan pembangunan bangunan gedung negara berdasarkan azas dan prinsip: 1. kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan serta keserasian /keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya; 2. hemat, tidak berlebihan, efektif dan efisien, serta sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan teknis yang disyaratkan; 3. terarah dan terkendali sesuai rencana, program/satuan kerja, serta fungsi setiap kementerian/lembaga/instansi pemilik/ pengguna bangunan gedung; 4. semaksimal mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan memperhatikan kemampuan/potensi nasional. 2 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 3 C. MAKSUD DAN TUJUAN 1. Pedoman ini dimaksudkan sebagai petunjuk pelaksanaan bagi para penyelenggara pembangunan dalam melaksanakan pembangunan bangunan gedung negara. 2. Tujuan agar: a. bangunan gedung negara diselenggarakan sesuai dengan fungsinya, memenuhi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan, serta efisien dalam penggunaan sumber daya, serasi dan selaras dengan lingkungannya. b. penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung negara dapat berjalan dengan tertib, efektif, dan efisien. D. LINGKUP MATERI PEDOMAN Lingkup materi Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara adalah sebagai berikut: 1. Bab I : Umum, memberikan gambaran umum yang meliputi pengertian, azas bangunan gedung negara, maksud dan tujuan, serta lingkup materi pedoman. 2. Bab II : Persyaratan Bangunan Gedung Negara,meliputi ketentuan tentang klasifikasi bangunan gedung negara, tipe rumah negara, standar luas bangunan gedung negara, persyaratan administratif, dan persyaratan teknis bangunan gedung negara. 3. Bab III : Tahapan Pembangunan Bangunan Gedung Negara, meliputi ketentuan tentang persiapan, perencanaan konstruksi, dan pelaksanaan konstruksi. 4. Bab IV : Pembiayaan Pembangunan Bangunan Gedung Negara, meliputi ketentuan umum, standar harga satuan tertinggi, komponen biaya pembangunan, pembiayaan bangunan/komponen bangunan tertentu, biaya pekerjaan non standar, dan prosentase komponen pekerjaan bangunan gedung negara. 5. Bab V : Tata Cara Pembangunan Bangunan Gedung Negara, meliputi ketentuan tentang penyelenggara pembangunan bangunan gedung negara, organisasi dan tata laksana, penyelenggaraan pembangunan tertentu, Pedoman Teknis Pembangunan BGN pemeliharaan/perawatan bangunan gedung negara, serta pembinaan dan pengawasan teknis. 6. Bab VI : Pendaftaran Bangunan Gedung Negara, meliputi tujuan, sasaran dan metode pendaftaran, pelaksanaan pendaftaran, dan dokumen pendaftaran bangunan gedung negara. 7. Bab VII : Pembinaan dan Pengawasan Teknis. 8. Bab VIII : Penutup,penjelasan yang menguraikan apabila terjadi persoalan atau penyimpangan dalam penerapan pedoman teknis pembangunan bangunan gedung negara, serta petunjuk untuk konsultasi. 4 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 5 BAB II PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA A. KLASIFIKASI BANGUNAN GEDUNG NEGARA BERDASARKAN TINGKAT KOMPLEKSITAS MELIPUTI: 1. BANGUNAN SEDERHANA Klasifikasi bangunan sederhana adalah bangunan gedung negara dengan karakter sederhana serta memiliki kom-pleksitas dan teknologi sederhana. Masa penjaminan kegagalan bangunannya adalah selama 10 (sepuluh) tahun. Yang termasuk klasifikasi Bangunan Sederhana, antara lain: ƒ gedung kantor yang sudah ada disain prototipenya, atau bangunan gedung kantor dengan jumlah lantai s.d. 2 lantai dengan luas sampai dengan 500 m 2 ; ƒ bangunan rumah dinas tipe C, D, dan E yang tidak bertingkat; ƒ gedung pelayanan kesehatan: puskesmas; ƒ gedung pendidikan tingkat dasar dan/atau lanjutan dengan jumlah lantai s.d. 2 lantai. 2. BANGUNAN TIDAK SEDERHANA Klasifikasi bangunan tidak sederhana adalah bangunan gedung negara dengan karakter tidak sederhana serta memiliki kompleksitas dan/atau teknologi tidak sederhana. Masa penjaminan kegagalan bangunannya adalah selama paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Yang termasuk klasifikasi Bangunan Tidak Sederhana, antara lain: ƒ gedung kantor yang belum ada disain prototipenya, atau gedung kantor dengan luas di atas dari 500 m 2 , atau gedung kantor bertingkat lebih dari 2 lantai; Pedoman Teknis Pembangunan BGN ƒ bangunan rumah dinas tipe A dan B; atau rumah dinas C, D, dan E yang bertingkat lebih dari 2 lantai, rumah negara yang berbentuk rumah susun; ƒ gedung Rumah Sakit Klas A, B, C, dan D; ƒ gedung pendidikan tinggi universitas/akademi; atau gedung pendidikan dasar/lanjutan bertingkat lebih dari 2 lantai. 3. BANGUNAN KHUSUS Klasifikasi bangunan khusus adalah bangunan gedung negara yang memiliki penggunaan dan persyaratan khusus, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya memer-lukan penyelesaian/teknologi khusus. Masa penjaminan kegagalan bangunannya paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Yang termasuk klasifikasi Bangunan Khusus, antara lain: ƒ Istana negara dan rumah jabatan presiden dan wakil presiden; ƒ wisma negara; ƒ gedung instalasi nuklir; ƒ gedung instalasi pertahanan, bangunan POLRI dengan penggunaan dan persyaratan khusus; ƒ gedung laboratorium; ƒ gedung terminal udara/laut/darat; ƒ stasiun kereta api; ƒ stadion olah raga; ƒ rumah tahanan; ƒ gudang benda berbahaya; ƒ gedung bersifat monumental; dan ƒ gedung perwakilan negara R.I. di luar negeri. B. TIPE BANGUNAN RUMAH NEGARA Untuk bangunan rumah negara, disamping klasifikasinya berdasarkan klasifikasi bangunan gedung negara tersebut di atas, juga digolongkan berdasarkan tipe yang didasarkan pada tingkat jabatan penghuninya dan golongan kepangkatan. 6 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 7 Tipe Untuk Keperluan Pejabat/Golongan Khusus 1) Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Kepala Lembaga Tinggi/Tertinggi Negara, 2) Pejabat-pejabat yang jabatannya setingkat dengan 1) A 1) Sekjen, Dirjen, Irjen, Kepala Badan, Deputi, 2) Pejabat-pejabat yang jabatannya setingkat dengan 1) B 1) Direktur, Kepala Biro, Inspektur, Kakanwil, Asisten Deputi 2) Pejabat-pejabat yang jabatannya setingkat dengan 1) 3) Pegawai Negeri Sipil yang golongannya IV/d dan IV/e. C 1) Kepala Sub Direktorat, Kepala Bagian, Kepala Bidang 2) Pejabat-pejabat yang jabatannya setingkat dengan 1) 3) Pegawai Negeri Sipil yang golongannya IV/a s/d. IV/c. D 1) Kepala Seksi, Kepala Sub Bagian, Kepala Sub Bidang 2) Pejabat-pejabat yang jabatannya setingkat dengan 1) 3) Pegawai Negeri Sipil yang golongannya III/a s/d. III/d. E 1) Kepala Sub Seksi 2) Pejabat-pejabat yang jabatannya setingkat dengan 1) 3) Pegawai Negeri Sipil yang golongannya II/d kebawah. Untuk jabatan tertentu program ruang dan luasan Rumah Negara dapat disesuaikan mengacu pada tuntutan operasional jabatan. C. STANDAR LUAS BANGUNAN GEDUNG NEGARA 1. GEDUNG KANTOR Dalam menghitung luas ruang bangunan gedung kantor yang diperlukan, dihitung berdasarkan ketentuan sebagai berikut: a. Standar luas ruang gedung kantor pemerintah yang termasuk klasifikasi sederhana rata-rata sebesar 9,6 m 2 per-personil; b. Standar luas ruang gedung kantor pemerintah yang termasuk klasifikasi tidak sederhana rata-rata sebesar 10 m2 per-personil; c. Untuk bangunan gedung kantor yang memerlukan ruang-ruang khusus atau ruang pelayanan masyarakat, Pedoman Teknis Pembangunan BGN kebutuhannya dihitung secara tersendiri (studi kebu-tuhan ruang) diluar luas ruangan untuk seluruh personil yang akan ditampung. Kebutuhan total luas gedung kantor dihitung berdasarkan jumlah personil yang akan ditampung dikalikan standar luas sesuai dengan klasifikasi bangunannya. Standar Luas Ruang Kerja Kantor Pemerintah tercantum pada Tabel C. 2. RUMAH NEGARA Standar luas Rumah Negara ditentukan sesuai dengan tipe peruntukannya, sebagai berikut: Tipe Luas Bangunan Luas lahan *) Khusus 400 m 2 1.000 m 2 A 250 m 2 600 m 2 B 120 m 2 350 m2 C 70 m 2 200 m2 D 50 m 2 120 m2 E 36 m 2 100 m2 Jenis dan jumlah ruang minimum yang harus ditampung dalam tiap Tipe Rumah Negara, sesuai dengan yang tercantum dalam Tabel D. Luas teras beratap dihitung 50%, sedangkan luas teras tidak beratap dihitung 30%. *) 1. Dalam hal besaran luas lahan telah diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah setempat, maka standar luas lahan dapat disesuaikan; 2. Dalam hal rumah negara dibangun dalam bentuk bangunan gedung bertingkat/rumah susun, maka luas lahan tersebut tidak berlaku, disesuaikan dengan kebutuhan sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah; 3. Toleransi maksimal kelebihan luas tanah berdasarkan lokasi Rumah Negara: a. DKI Jakarta : 20 % b. Ibu Kota Provinsi : 30 % 8 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 9 c.Ibukota Kab/Kota : 40 % d. Perdesaan : 50 % Perkecualian terhadap butir 3 apabila sesuai dengan ketentuan RTRW setempat atau letak tanah disudut. 3. STANDAR LUAS GEDUNG NEGARA LAINNYA Standar luas gedung negara lainnya, seperti: sekolah/ universitas, rumah sakit, dan lainnya mengikuti ketentuan-ketentuan luas ruang yang dikeluarkan oleh instansi yang bersangkutan. D. PERSYARATAN ADMINISTRATIF Setiap bangunan gedung negara harus memenuhi persyaratan administratif baik pada tahap pembangunan maupun pada tahap pemanfaatan bangunan gedung negara. Persyaratan administratif bangunan gedung negara meliputi pemenuhan persyaratan: 1. DOKUMEN PEMBIAYAAN Setiap kegiatan pembangunan Bangunan Gedung Negara harus disertai/memiliki bukti tersedianya anggaran yang diperuntukkan untuk pembiayaan kegiatan tersebut yang disahkan oleh Pejabat yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dapat berupa Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau dokumen lainnya yang dipersamakan, termasuk surat penunjukan/penetapan Kuasa Pengguna Anggaran/ Kepala Satuan Kerja. Dalam dokumen pembiayaan pem-bangunan bangunan gedung negara sudah termasuk: a. biaya perencanaan teknis; b. pelaksanaan konstruksi fisik; c. biaya manajemen konstruksi/pengawasan konstruksi; d. biaya pengelolaan kegiatan. Pedoman Teknis Pembangunan BGN 2. STATUS HAK ATAS TANAH Setiap bangunan gedung negara harus memiliki kejelasan tentang status hak atas tanah di lokasi tempat bangunan gedung negara berdiri. Kejelasan status atas tanah ini dapat berupa hak milik atau hak guna bangunan. Status hak atas tanah ini dapat berupa sertifikat atau bukti kepemilikan/hak atas tanah Instansi/lembaga pemerintah /negara yang bersangkutan. Dalam hal tanah yang status haknya berupa hak guna usaha dan/atau kepemilikannya dikuasai sementara oleh pihak lain, harus disertai izin pemanfaatan yang dinyatakan dalam perjanjian tertulis antara pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dengan pemilik bangunan gedung, sebelum mendirikan bangunan gedung di atas tanah tersebut. 3. STATUS KEPEMILIKAN Status kepemilikan bangunan gedung negara merupakan surat bukti kepemilikan bangunan gedung sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam hal terdapat pengalihan hak kepemilikan bangunan gedung, pemilik yang baru wajib memenuhi ketentuan sesuai peraturan perundang-undangan. 4. PERIZINAN Setiap bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan dokumen perizinan yang berupa: Izin Mendirikan Bangunan Gedung (IMB), Sertifikat Laik Fungsi (SLF) atau keterangan kelaikan fungsi sejenis bagi daerah yang belum melakukan penyesuaian. 5. DOKUMEN PERENCANAAN Setiap bangunan gedung negara harus memiliki dokumen perencanaan, yang dihasilkan dari proses perencanaan teknis, baik yang dihasilkan oleh Penyedia Jasa Perencana Konstruksi, Tim Swakelola Perencanaan, atau yang berupa Disain Prototipe dari bangunan gedung negara yang bersangkutan. 10 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 11 6. DOKUMEN PEMBANGUNAN Setiap bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan dokumen pembangunan yang terdiri atas: Dokumen Perencanaan, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Dokumen Pelelangan, Dokumen Kontrak Kerja Konstruksi, dan As Built Drawings, hasil uji coba/test run operational, Surat Penjaminan atas Kegagalan Bangunan (dari penyedia jasa konstruksi), dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) sesuai ketentuan. 7. DOKUMEN PENDAFTARAN Setiap bangunan gedung negara harus memiliki dokumen pendaftaran untuk pencatatan dan penetapan Huruf Daftar Nomor ( HDNo ) meliputi Fotokopi: a. Dokumen Pembiayaan/DIPA (otorisasi pembiayaan); b. Sertifikat atau bukti kepemilikan/hak atas tanah; c. Status kepemilikan bangunan gedung; d. Kontrak Kerja Konstruksi Pelaksanaan; e. Berita Acara Serah Terima I dan II; f. As built drawings (gambar sesuai pelaksanaan konstruksi) disertai arsip gambar/legger; g. Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB), dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF); dan h. Surat Penjaminan atas Kegagalan Bangunan (dari penyedia jasa konstruksi). E. PERSYARATAN TEKNIS Secara umum, persyaratan teknis bangunan gedung negara mengikuti ketentuan yang diatur dalam: ƒ Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; ƒ Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung; ƒ Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan; Pedoman Teknis Pembangunan BGN ƒ Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan; ƒ Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung; ƒ Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Aksesibilitas dan Fasilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan; ƒ Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Penyusunan RTBL; ƒ Peraturan daerah setempat tentang bangunan gedung; serta ƒ Standar teknis dan pedoman teknis yang dipersyaratkan. Persyaratan teknis bangunan gedung negara harus tertuang secara lengkap dan jelas pada Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS) dalam Dokumen Perencanaan. Secara garis besar, persyaratan teknis bangunan gedung negara adalah sebagai berikut: 1. PERSYARATAN TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN Persyaratan tata bangunan dan lingkungan bangunan gedung negara meliputi ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam pembangunan bangunan gedung negara dari segi tata bangunan dan lingkungannya, meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan/atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kabupaten/ Kota atau Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung Kabupaten/Kota yang bersangkutan, yaitu: a. Peruntukan lokasi Setiap bangunan gedung negara harus diselenggara-kan sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam RTRW Kabupaten/Kota dan/atau RTBL yang bersangkutan. 12 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 13 b. Koefisien dasar bangunan (KDB) Ketentuan besarnya koefisien dasar bangunan mengikuti ketentuan yang diatur dalam peraturan daerah setempat tentang bangunan gedung untuk lokasi yang bersangkutan. c. Koefisien lantai bangunan (KLB) Ketentuan besarnya koefisien lantai bangunan mengikuti ketentuan yang diatur dalam peraturan daerah setempat tentang bangunan gedung untuk lokasi yang bersangkutan. d. Ketinggian bangunan Ketinggian bangunan gedung negara, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan daerah setempat tentang ketinggian maksimum bangunan pada lokasi, maksimum adalah 8 lantai. Untuk bangunan gedung negara yang akan dibangun lebih dari 8 lantai, harus mendapat persetujuan dari: 1) Menteri Pekerjaan Umum atas usul Menteri/Ketua Lembaga, untuk bangunan gedung negara yang pembiayaannya bersumber dari APBN dan/atau APBD; 2) Menteri Pekerjaan Umum atas usul Menteri Negara BUMN, untuk bangunan gedung negara yang pembiayaannya bersumber dari anggaran BUMN. e. Ketinggian langit-langit Ketinggian langit-langit bangunan gedung kantor minimum adalah 2,80 meter dihitung dari permukaan lantai. Untuk bangunan gedung olah-raga, ruang pertemuan, dan bangunan lainnya dengan fungsi yang memerlukan ketinggian langit-langit khusus, agar mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dipersyaratkan. f. Jarak antar blok/massa bangunan Sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan daerah setempat tentang bangunan gedung, maka jarak antar blok/massa bangunan harus mempertimbangkan hal-hal seperti: 1) Keselamatan terhadap bahaya kebakaran; Pedoman Teknis Pembangunan BGN 2) Kesehatan termasuk sirkulasi udara dan pencaha-yaan; 3) Kenyamanan; 4) Keselarasan dan keseimbangan dengan lingkungan. g. Koefisien daerah hijau (KDH) Perbandingan antara luas area hijau dengan luas persil bangunan gedung negara, sepanjang tidak ber-tentangan dengan peraturan daerah setempat tentang bangunan gedung, harus diperhitungkan dengan mempertimbangkan 1) daerah resapan air; 2) ruang terbuka hijau kabupaten/kota. Untuk bangunan gedung yang mempunyai KDB kurang dari 40%, harus mempunyai KDH minimum sebesar 15%. h. Garis sempadan bangunan Ketentuan besarnya garis sempadan, baik garis sempadan bangunan maupun garis sempadan pagar harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam RTBL, peraturan daerah tentang bangunan gedung, atau peraturan daerah tentang garis sempadan bangunan untuk lokasi yang bersangkutan. i. Wujud arsitektur Wujud arsitektur bangunan gedung negara harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) mencerminkan fungsi sebagai bangunan gedung negara; 2) seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungan-nya; 3) indah namun tidak berlebihan; 4) efisien dalam penggunaan sumber daya baik dalam pemanfaatan maupun dalam pemeliharaannya; 5) mempertimbangkan nilai sosial budaya setempat dalam menerapkan perkembangan arsitektur dan rekayasa; dan 6) mempertimbangkan kaidah pelestarian bangunan baik dari segi sejarah maupun langgam arsitektur-nya. 14 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 15 j. Kelengkapan Sarana dan Prasarana Bangunan Bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan prasarana dan sarana bangunan yang memadai, dengan biaya pembangunannya diperhitungkan sebagai pekerjaan non-standar. Prasarana dan sarana bangunan yang harus ada pada bangunan gedung negara, seperti: 1) Sarana parkir kendaraan; 2) Sarana untuk penyandang cacat dan lansia; 3) Sarana penyediaan air minum; 4) Sarana drainase, limbah, dan sampah; 5) Sarana ruang terbuka hijau; 6) Sarana hidran kebakaran halaman; 7) Sarana pencahayaan halaman; 8) Sarana jalan masuk dan keluar; 9) Penyediaan fasilitas ruang ibadah, ruang ganti, ruang bayi/ibu, toilet, dan fasilitas komunikasi dan informasi. k. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), serta Asuransi 1) Setiap pembangunan bangunan gedung negara harus memenuhi persyaratan K3 sesuai yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: Kep.174/MEN/1986 dan 104/KPTS/ 1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Satuan Kerja Konstruksi, dan atau peraturan penggantinya; 2) Ketentuan asuransi pembangunan bangunan gedung negara sesuai dengan peraturan per-undang -undangan. 2. PERSYARATAN BAHAN BANGUNAN Bahan bangunan untuk bangunan gedung negara harus memenuhi SNI yang dipersyaratkan, diupayakan meng-gunakan bahan bangunan setempat/produksi dalam negeri, termasuk bahan bangunan sebagai bagian dari komponen bangunan sistem fabrikasi. Spesifikasi teknis bahan bangunan gedung negara meliputi ketentuan-ketentuan: Pedoman Teknis Pembangunan BGN a. Bahan penutup lantai 1) Bahan penutup lantai menggunakan bahan teraso, keramik, papan kayu, vinyl, marmer, homogenius tile dan karpet yang disesuaikan dengan fungsi ruang dan klasifikasi bangunannya; 2) Adukan/perekat yang digunakan harus memenuhi persyaratan teknis dan sesuai dengan jenis bahan penutup yang digunakan. b. Bahan dinding Bahan dinding terdiri atas bahan untuk dinding pengisi atau partisi, dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Bahan dinding pengisi : batu bata, beton ringan, bata tela, batako, papan kayu, kaca dengan rangka kayu/aluminium, panel GRC dan/atau aluminium; 2) Bahan dinding partisi : papan kayu, kayu lapis, kaca, calsium board, particle board, dan/atau gypsum-board dengan rangka kayu kelas kuat II atau rangka lainnya, yang dicat tembok atau bahan finishing lainnya, sesuai dengan fungsi ruang dan klasifikasi bangunannya; 3) Adukan/perekat yang digunakan harus memenuhi persyaratan teknis dan sesuai jenis bahan dinding yang digunakan; 4) Untuk bangunan sekolah tingkat dasar, sekolah tingkat lanjutan/menengah, rumah negara, dan bangunan gedung lainnya yang telah ada komponen pra-cetaknya, bahan dindingnya dapat menggunakan bahan pracetak yang telah ada. c. Bahan langit-langit Bahan langit-langit terdiri atas rangka langit-langit dan penutup langit-langit: 1) Bahan kerangka langit-langit: digunakan bahan yang memenuhi standar teknis, untuk penutup langit-langit kayu lapis atau yang setara, digunakan rangka kayu klas kuat II dengan ukuran minimum: ƒ 4/6 cm untuk balok pembagi dan balok peng-gantung; ƒ 6/12 cm untuk balok rangka utama; dan ƒ 5/10 cm untuk balok tepi; 16 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 17 ƒ Besihollowatau metal furring40 mm x 40 mm dan 40 mm x 20 mm lengkap dengan besi penggantung Ø 8 mm dan pengikatnya. Untuk bahan penutup akustik atau gypsum digunakan kerangka aluminium yang bentuk dan ukurannya disesuaikan dengan kebutuhan; 2) Bahan penutup langit-langit: kayu lapis, aluminium, akustik, gypsum, atau sejenis yang disesuaikan dengan fungsi dan klasifikasi bangunannya; 3) Lapisan finishing yang digunakan harus memenuhi persyaratan teknis dan sesuai dengan jenis bahan penutup yang digunakan. d. Bahan penutup atap 1) Bahan penutup atap bangunan gedung negara harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam SNI yang berlaku tentang bahan penutup atap, baik berupa atap beton, genteng, metal, fibrecement, calsium board,sirap, seng, aluminium, maupun asbes/asbes gelombang. Untuk penutup atap dari bahan beton harus diberikan lapisan kedap air (water proofing). Penggunaan bahan penutup atap disesuaikan dengan fungsi dan klasifikasi bangunan serta kondisi daerahnya; 2) Bahan kerangka penutup atap: digunakan bahan yang memenuhi Standar Nasional Indonesia. Untuk penutup atap genteng digunakan rangka kayu kelas kuat II dengan ukuran: ƒ 2/3 cm untuk reng atau 3/4 cm untuk reng genteng beton; ƒ 4/6 cm atau 5/7 cm untuk kaso, dengan jarak antar kaso disesuaikan ukuran penampang kaso. 3) Bahan kerangka penutup atap non kayu: ƒ Gording baja profil C, dengan ukuran minimal 125 x 50 x 20 x 3,2; ƒ Kuda-kuda baja profil WF, dengan ukuran minimal 250 x150 x 8 x 7; ƒ Baja ringan (light steel); ƒ Beton plat tebal minimum 12 cm. Pedoman Teknis Pembangunan BGN e. Bahan kosen dan daun pintu/jendela Bahan kosen dan daun pintu/jendela mengikuti ketentuan sebagai berikut: 1) digunakan kayu kelas kuat/kelas awet II dengan ukuran jadi minimum 5,5 cm x 11 cm dan dicat kayu atau dipelitur sesuai persyaratan standar yang berlaku; 2) rangka daun pintu untuk pintu yang dilapis kayu lapis/teakwood digunakan kayu kelas kuat II dengan ukuran minimum 3,5 cm x 10 cm, khusus untuk ambang bawah minimum 3,5 cm x 20 cm. Daun pintu dilapis dengan kayu lapis yang dicat atau dipelitur; 3) Daun pintu panil kayu digunakan kayu kelas kuat/kelas awet II, dicat kayu atau dipelitur; 4) Daun jendela kayu, digunakan kayu kelas kuat/kelas awet II, dengan ukuran rangka minimum 3,5 cm x 8 cm, dicat kayu atau dipelitur; 5) Rangka pintu/jendela yang menggunakan bahan aluminium ukuran rangkanya disesuaikan dengan fungsi ruang dan klasifikasi bangunannya; 6) Penggunaan kaca untuk daun pintu maupun jendela disesuaikan dengan fungsi ruang dan klasifikasi bangunannya; 7) Kusen baja profil E, dengan ukuran minimal 150 x 50 x 20 x 3,2 dan pintu baja BJLS 100 diisi glas woll untuk pintu kebakaran. f. Bahan struktur Bahan struktur bangunan baik untuk struktur beton bertulang, struktur kayu maupun struktur baja harus mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang Bahan Bangunan yang berlaku dan dihitung kekuatan strukturnya berdasarkan SNI yang sesuai dengan bahan/struktur konstruksi yang bersangkutan. Ketentuan penggunaan bahan bangunan untuk bangunan gedung negara tersebut di atas, dimungkinkan disesuaikan dengan kemajuan teknologi bahan bangunan, khususnya disesuaikan dengan kemampuan sumberdaya setempat dengan tetap harus mempertimbangkan kekuatan dan keawetannya sesuai 18 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 19 dengan peruntukan yang telah ditetapkan. Ketentuan lebih rinci agar mengikuti ketentuan yang diatur dalam SNI. 3. PERSYARATAN STRUKTUR BANGUNAN Struktur bangunan gedung negara harus memenuhi persyaratan keselamatan (safety) dan kelayanan (serviceability) serta SNI konstruksi bangunan gedung, yang dibuktikan dengan analisis struktur sesuai ketentuan. Spesifikasi teknis struktur bangunan gedung negara secara umum meliputi ketentuan-ketentuan: a. Struktur pondasi 1) Struktur pondasi harus diperhitungkan mampu menjamin kinerja bangunan sesuai fungsinya dan dapat menjamin kestabilan bangunan terhadap berat sendiri, beban hidup, dan gaya-gaya luar seperti tekanan angin dan gempa termasuk stabilitas lereng apabila didirikan di lokasi yang berlereng. Untuk daerah yang jenis tanahnya berpasir atau lereng dengan kemiringan di atas 15° jenis pondasinya disesuaikan dengan bentuk massa bangunan gedung untuk menghindari terjadinya likuifaksi(liquifaction) pada saat terjadi gempa; 2) Pondasi bangunan gedung negara disesuaikan dengan kondisi tanah/lahan, beban yang dipikul, dan klasifikasi bangunannya. Untuk bangunan yang dibangun di atas tanah/lahan yang kondisinya memerlukan penyelesaian pondasi secara khusus, maka kekurangan biayanya dapat diajukan secara khusus di luar biaya standar sebagai biaya pekerjaan pondasi non-standar; 3) Untuk pondasi bangunan bertingkat lebih dari 3 lantai atau pada lokasi dengan kondisi khusus maka perhitungan pondasi harus didukung dengan penye-lidikan kondisi tanah/lahan secara teliti. b. Struktur lantai Bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan sebagai berikut: Pedoman Teknis Pembangunan BGN 1) Struktur lantai kayu ƒ dalam hal digunakan lantai papan setebal 2 cm, maka jarak antara balok-balok anak tidak boleh lebih dari 60 cm, ukuran balok minimum 6/12 cm; ƒ balok-balok lantai yang masuk ke dalam pasangan dinding harus dilapis bahan pengawet terlebih dahulu; ƒ bahan-bahan dan tegangan serta lendutan maksimum yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan. 2) Struktur lantai beton ƒ lantai beton yang diletakkan langsung di atas tanah, harus diberi lapisan pasir di bawahnya dengan tebal sekurang-kurangnya 5 cm, dan lantai kerja dari beton tumbuk setebal 5 cm; ƒ bagi pelat-pelat lantai beton bertulang yang mempunyai ketebalan lebih dari 10 cm dan pada daerah balok (¼ bentang pelat) harus digunakan tulangan rangkap, kecuali ditentukan lain berdasarkan hasil perhitungan struktur; ƒ bahan-bahan dan tegangan serta lendutan maksimum yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan. 3) Struktur lantai baja ƒ tebal pelat baja harus diperhitungkan, sehingga bila ada lendutan masih dalam batas kenyamanan; ƒ sambungan-sambungannya harus rapat betul dan bagian yang tertutup harus dilapis dengan bahan pelapis untuk mencegah timbulnya korosi; ƒ bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan. c. Struktur Kolom 1) Struktur kolom kayu ƒ Dimensi kolom bebas diambil minimum 20 cm x 20 cm; ƒ Mutu Bahan dan kekuatan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan. 20 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 21 2) Struktur kolom praktis dan balok pasangan bata: ƒ besi tulangan kolom praktis pasangan minimum 4 buah Ø 8 mm dengan jarak sengkang maksimum 20 cm; ƒ adukan pasangan bata yang digunakan sekurang-kurangnya harus mempunyai kekuatan yang sama dengan adukan 1PC : 3 PS; ƒ Mutu bahan dan kekuatan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan. 3) Struktur kolom beton bertulang: ƒ kolom beton bertulang yang dicor di tempat harus mempunyai tebal minimum 15 cm diberi tulangan minimum 4 buah Ø 12 mm dengan jarak sengkang maksimum 15 cm; ƒ selimut beton bertulang minimum setebal 2,5 cm; ƒ Mutu bahan dan kekuatan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan. 4) Struktur kolom baja: ƒ kolom baja harus mempunyai kelangsingan (λ) maksimum 150; ƒ kolom baja yang dibuat dari profil tunggal maupun tersusun harus mempunyai minimum 2 sumbu simetris; ƒ sambungan antara kolom baja pada bangunan bertingkat tidak boleh dilakukan pada tempat pertemuan antara balok dengan kolom, dan harus mempunyai kekuatan minimum sama dengan kolom; ƒ sambungan kolom baja yang menggunakan las harus menggunakan las listrik, sedangkan yang menggunakan baut harus menggunakan baut mutu tinggi; ƒ penggunaan profil baja tipis yang dibentuk dingin, harus berdasarkan perhitungan-perhitungan yang memenuhi syarat kekuatan, kekakuan, dan stabilitas yang cukup; Pedoman Teknis Pembangunan BGN ƒ Mutu bahan dan kekuatan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan dalam SNI yang dipersyaratkan. 5) Struktur Dinding Geser ƒ Dinding geser harus direncanakan untuk secara bersama-sama dengan struktur secara keseluruhan agar mampu memikul beban yang diperhitungkan terhadap pengaruh-pengaruh aksi sebagai akibat dari beban-beban yang mungkin bekerja selama umur layanan struktur, baik beban muatan tetap maupun muatan beban sementara yang timbul akibat gempa dan angin; ƒ Dinding geser mempunyai ketebalan sesuai dengan ketentuan dalam SNI. d. Struktur Atap 1) Umum ƒ konstruksi atap harus didasarkan atas perhitungan-perhitungan yang dilakukan secara keilmuan/ keahlian teknis yang sesuai; ƒ kemiringan atap harus disesuaikan dengan bahan penutup atap yang akan digunakan, sehingga tidak akan mengakibatkan kebocoran; ƒ bidang atap harus merupakan bidang yang rata, kecuali dikehendaki bentuk-bentuk khusus. 2) Struktur rangka atap kayu ƒ ukuran kayu yang digunakan harus sesuai dengan ukuran yang dinormalisir; ƒ rangka atap kayu harus dilapis bahan anti rayap; ƒ bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang diper-syaratkan. 3) Struktur rangka atap beton bertulang Mutu bahan dan kekuatan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan. 4) Struktur rangka atap baja ƒ sambungan yang digunakan pada rangka atap baja baik berupa baut, paku keling, atau las listrik 22 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 23 harus memenuhi ketentuan pada Pedoman Perencanaan Bangunan Baja untuk Gedung; ƒ rangka atap baja harus dilapis dengan pelapis anti korosi; ƒ bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan; ƒ untuk bangunan sekolah tingkat dasar, sekolah tingkat lanjutan/menengah, dan rumah negara yang telah ada komponen fabrikasi, struktur rangka atapnya dapat menggunakan komponen prefabrikasi yang telah ada. Persyaratan struktur bangunan sebagaimana butir 3 huruf a s.d. d di atas secara lebih rinci mengikuti ketentuan yang diatur dalam SNI yang dipersyaratkan. e. Struktur Beton Pracetak 1) Komponen beton pracetak untuk struktur bangunan gedung negara dapat berupa komponen pelat, balok, kolom dan/atau panel dinding; 2) Perencanaan komponen struktur beton pracetak dan sambungannya harus mempertimbangkan semua kondisi pembebanan dan “kekangan†deformasi mulai dari saat pabrikasi awal, hingga selesainya pelaksanaan struktur, termasuk pembongkaran cetak-an, penyimpanan, pengangkutan, dan pemasangan; 3) Gaya-gaya antar komponen-komponen struktur dapat disalurkan menggunakan sambungan grouting,kunci geser, sambungan mekanis, sambungan baja tulangan, pelapisan dengan beton bertulang cor setempat, atau kombinasi; 4) Sistem struktur beton pracetak boleh digunakan bila dapat ditunjukan dengan pengujian dan analisis bahwa sistem yang diusulkan akan mempunyai kekuatan dan “ketegaran†yang minimal sama dengan yang dimiliki oleh struktur beton monolit yang setara; 5) Komponen dan sistem lantai beton pracetak ƒ Sistem lantai pracetak harus direncanakan agar mampu menghubungkan komponen struktur hingga terbentuk sistem penahan beban lateral Pedoman Teknis Pembangunan BGN (kondisi diafragma kaku). Sambungan antara diafragma dan komponen-komponen struktur yang ditopang lateral harus mempunyai kekuatan tarik nominal minimal 45 KN/m; ƒ Komponen pelat lantai yang direncanakan komposit dengan beton cor setempat harus memiliki tebal minimum 50 mm; ƒ Komponen pelat lantai yang direncanakan tidak komposit dengan beton cor setempat harus memiliki tebal minimum 65 mm; 6) Komponen kolom pracetak harus memiliki kuat tarik nominal tidak kurang dari 1,5 luas penampang kotor (Ag dalam KN); 7) Komponen panel dinding pracetak harus mempunyai minimum dua tulangan pengikat per panel dengan memiliki kuat tarik nominal tidak kurang dari 45 KN per tulangan pengikat; 8) Bahan-bahan dan tegangan yang digunakan harus sesuai dengan ketentuan SNI yang dipersyaratkan. f. Basemen 1) Pada galian basemen harus dilakukan perhitungan terinci mengenai keamanan galian; 2) Untuk dapat melakukan perhitungan keamanan galian, harus dilakukan test tanah yang dapat mendukung perhitungan tersebut sesuai standar teknis dan pedoman teknis serta ketentuan peraturan perundang-undangan; 3) Angka keamanan untuk stabilitas galian harus memenuhi syarat sesuai standar teknis dan pedoman teknis serta ketentuan peraturan perundang-undangan. Faktor keamanan yang diperhitungkan adalah dalam aspek sistem galian, sistem penahan beban lateral, heavedan blow in; 4) Analisis pemompaan air tanah (dewatering) harus memperhatikan keamanan lingkungan dan memper-hitungkan urutan pelaksanaan pekerjaan. Analisis dewateringperlu dilakukan berdasarkan parameter-parameter desain dari suatu uji pemompaan (pumping test); 24 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 25 5) Bagian basemen yang ditempati oleh peralatan utilitas bangunan yang rentan terhadap air harus diberi perlindungan khusus jika bangunan gedung negara terletak di daerah banjir. 4. PERSYARATAN UTILITAS BANGUNAN Utilitas yang berada di dalam dan di luar bangunan gedung negara harus memenuhi SNI yang dipersyaratkan. Spesifikasi teknis utilitas bangunan gedung negara meliputi ketentuan-ketentuan: a. Air minum 1) Setiap pembangunan baru bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan prasarana air minum yang memenuhi standar kualitas, cukup jumlahnya dan disediakan dari saluran air berlangganan kota (PDAM), atau sumur, jumlah kebutuhan minimum 100 lt/orang/hari; 2) Setiap bangunan gedung negara, selain rumah negara (yang bukan dalam bentuk rumah susun), harus menyediakan air minum untuk keperluan pemadaman kebakaran dengan mengikuti keten-tuan SNI yang dipersyaratkan, reservoir minimum menyediakan air untuk kebutuhan 45 menit operasi pemadaman api sesuai dengan kebutuhan dan perhitungan; 3) Bahan pipa yang digunakan dan pemasangannya harus mengikuti ketentuan teknis yang ditetapkan. b. Pembuangan air kotor 1) Pada dasarnya pembuangan air kotor yang berasal dari dapur, kamar mandi, dan tempat cuci, harus dibuang atau dialirkan ke saluran umum kota; 2) Semua air kotor yang berasal dari dapur, kamar mandi, dan tempat cuci, pembuangannya harus melalui pipa tertutup dan/atau terbuka sesuai dengan persyaratan yang berlaku; 3) Dalam hal ketentuan dalam butir 1) tersebut tidak mungkin dilaksanakan, karena belum terjangkau oleh saluran umum kota atau sebab-sebab lain yang dapat diterima oleh instansi teknis yang berwenang, maka pembuangan air kotor harus dilakukan melalui proses pengolahan dan/atau peresapan; Pedoman Teknis Pembangunan BGN 4) Air kotor dari kakus harus dimasukkan ke dalam septictankyang mengikuti standar yang berlaku. c. Pembuangan limbah 1) Setiap bangunan gedung negara yang dalam pemanfaatannya mengeluarkan limbah domestik cair atau padat harus dilengkapi dengan tempat penampungan dan pengolahan limbah, sesuai dengan ketentuan; 2) Tempat penampungan dan pengolahan limbah dibuat dari bahan kedap air, dan memenuhi persyaratan teknis yang berlaku sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan; 3) Ketentuan lebih lanjut mengikuti SNI yang diper-syaratkan. d. Pembuangan sampah 1) Setiap bangunan gedung negara harus menyediakan tempat sampah dan penampungan sampah sementara yang besarnya disesuaikan dengan volume sampah yang dikeluarkan setiap harinya, sesuai dengan ketentuan, produk sampah minimum 3,0 lt/orang/hari; 2) Tempat penampungan sampah sementara harus dibuat dari bahan kedap air, mempunyai tutup, dan dapat dijangkau secara mudah oleh petugas pembuangan sampah dari Dinas Kebersihan setempat; 3) Gedung negara dengan fungsi tertentu (seperti: rumah sakit, gedung percetakan uang negara) harus dilengkapi inceneratorsampah sendiri; 4) Ketentuan lebih lanjut mengikuti SNI yang diper-syaratkan. e. Saluran air hujan 1) Pada dasarnya air hujan harus ditahan lebih lama di dalam tanah sebelum dialirkan ke saluran umum kota, untuk keperluan penyediaan dan pelestarian air tanah; 2) Air hujan dapat dialirkan ke sumur resapan melalui proses peresapan atau cara lain dengan persetujuan instansi teknis yang terkait; 26 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 27 3) Ketentuan lebih lanjut mengikuti SNI yang diper-syaratkan. f. Sarana pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran Setiap bangunan gedung negara harus mempunyai fasilitas pencegahan dan penanggulangan terhadap bahaya kebakaran, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam: ƒ Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Ketentuan Teknis Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan dan Lingkungan; dan ƒ Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung dan Peraturan Daerah tentang Penanggulangan dan Pencegahan Bahaya Kebakaran; beserta standar-standar teknis yang terkait. g. Instalasi listrik 1) Pemasangan instalasi listrik harus aman dan atas dasar hasil perhitungan yang sesuai dengan Peraturan Umum Instalasi Listrik; 2) Setiap bangunan gedung negara yang dipergunakan untuk kepentingan umum, bangunan khusus, dan gedung kantor tingkat Kementerian/Lembaga, harus memiliki pembangkit listrik darurat sebagai cadangan, yang catudayanya dapat memenuhi kesinambungan pelayanan, berupa genset darurat dengan minimum 40 % daya terpasang; 3) Penggunaan pembangkit tenaga listrik darurat harus memenuhi syarat keamanan terhadap gangguan dan tidak boleh menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, knalpot diberi sillencerdan dinding rumah genset diberi peredam bunyi. h. Penerangan dan pencahayaan 1) Setiap bangunan gedung negara harus mempunyai pencahayaan alami dan pencahayaan buatan yang cukup sesuai dengan fungsi ruang dalam bangunan tersebut, sehingga kesehatan dan kenyamanan pengguna bangunan dapat terjamin; Pedoman Teknis Pembangunan BGN 2) Ketentuan teknis dan besaran dari pencahayaan alami dan pencahayaan buatan mengikuti standar dan pedoman teknis yang berlaku. i. Penghawaan dan pengkondisian udara 1) Setiap bangunan gedung negara harus mempunyai sistem penghawaan/ventilasi alami dan buatan yang cukup untuk menjamin sirkulasi udara yang segar di dalam ruang dan bangunan; 2) Dalam hal tidak dimungkinkan menggunakan sistem penghawaan atau ventilasi alami, dapat menggunakan sistem penghawaan buatan dan/atau pengkondisian udara dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip konservasi energi; 3) Pemilihan jenis alat pengkondisian udara harus sesuai dengan fungsi bangunan, dan perletakan instalasinya tidak mengganggu wujud bangunan; 4) Ketentuan teknis sistem penghawaan/ventilasi alami dan buatan serta pengkondisian udara yang lebih rinci harus mengikuti standar dan pedoman teknis yang berlaku. j. Sarana transportasi dalam bangunan gedung 1) Setiap bangunan gedung negara bertingkat harus dilengkapi dengan sarana transportasi vertikal yang aman, nyaman, berupa tangga, ramp, eskalator, dan/atau elevator (lif); 2) Penempatan, jumlah tangga dan ramp harus memperhatikan fungsi dan luasan bangunan gedung, konstruksinya harus kuat/kokoh, dan sudut kemiringannya tidak boleh melebihi 35˚, khusus untuk ramp aksesibilitas kemiringannya tidak boleh melebihi 7˚; 3) Penggunaan eskalator dapat dipertimbangkan untuk pemenuhan kebutuhan khusus dengan memper-hatikan keselamatan pengguna dan keamanan konstruksinya; 4) Penggunaan lif harus diperhitungkan berdasarkan fungsi bangunan, jumlah pengguna, waktu tunggu, dan jumlah lantai bangunan; 28 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 29 5) Pemilihan jenis lif harus mempertimbangkan kemu-dahan bagi penyandang cacat, lanjut usia dan kebutuhan khusus; 6) Salah satu ruang lif harus menggunakan selubung lif dengan dinding tahan api yang dapat digunakan sebagai lif kebakaran; 7) Ketentuan teknis tangga, ramp, eskalator dan elevator (lif) yang lebih rinci harus mengikuti standar dan pedoman teknis. k. Sarana komunikasi 1) Pada prinsipnya, setiap bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan sarana komunikasi intern dan ekstern; 2) Penentuan jenis dan jumlah sarana komunikasi harus berdasarkan pada fungsi bangunan dan kewajaran kebutuhan; 3) Ketentuan lebih rinci harus mengikuti standar dan pedoman teknis. l. Sistem Penangkal/proteksi petir 1) Penentuan jenis dan jumlah sarana sistem penangkal/proteksi petir untuk bangunan gedung negara harus berdasarkan perhitungan yang mengacu pada lokasi bangunan, fungsi dan kewajaran kebutuhan; 2) Ketentuan teknis sistem penangkal/proteksi petir yang lebih rinci harus mengikuti standar dan pedoman teknis. m. Instalasi gas 1) Instalasi gas yang dimaksud meliputi: a. instalasi gas pembakaran seperti gas kota dan gas elpiji; b. instalasi gas medis, seperti gas oksigen (O2), gas dinitro oksida (N2O), gas carbon dioksida (CO2) dan udara tekan medis. 2) Ketentuan teknis instalasi gas yang lebih rinci harus mengikuti standar dan pedoman teknis. Pedoman Teknis Pembangunan BGN n. Kebisingan dan getaran 1) Bangunan gedung negara harus memperhitungkan batas tingkat kebisingan dan atau getaran sesuai dengan fungsinya, dengan mempertimbangkan kenyamanan dan kesehatan sesuai diatur dalam standar teknis yang dipersyaratkan; 2) Untuk bangunan gedung negara yang karena fungsinya mensyaratkan baku tingkat kebisingan dan/atau getaran tertentu, agar mengacu pada hasil analisis mengenai dampak lingkungan yang telah dilakukan atau ditetapkan oleh ahli. o. Aksesibilitas dan fasilitas bagi penyandang cacat dan yang berkebutuhan khusus 1) Bangunan gedung negara yang berfungsi untuk pelayanan umum harus dilengkapi dengan fasilitas yang memberikan kemudahan bagi penyandang cacat dan yang berkebutuhan khusus antara lain lansia, ibu hamil dan menyusui, seperti rambu dan marka, parkir, ram, tangga, lif, kamar mandi dan peturasan, wastafel, jalur pemandu, telepon, dan ruang ibu dan anak; 2) Ketentuan lebih lanjut mengenai aksesibilitas bagi penyandang cacat dan yang berkebutuhan khusus mengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Aksesibilitas dan Fasilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. 5. PERSYARATAN SARANA PENYELAMATAN Setiap bangunan gedung negara harus dilengkapi dengan sarana penyelamatan dari bencana atau keadaan darurat, serta harus memenuhi persyaratan standar sarana penyelamatan bangunan sesuai SNI yang dipersyaratkan. Spesifikasi teknis sarana penyelamatan bangunan gedung negara meliputi ketentuan-ketentuan: a. Tangga Darurat 1) Setiap bangunan gedung negara yang bertingkat lebih dari 3 lantai, harus mempunyai tangga darurat/penyelamatan minimal 2 buah dengan jarak 30 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 31 maksimum 45 m (bila menggunakan sprinkler jarak bisa 1,5 kali); 2) Tangga darurat/penyelamatan harus dilengkapi dengan pintu tahan api, minimum 2 jam, dengan arah pembukaan ke tangga dan dapat menutup secara otomatis dan dilengkapi fan untuk memberi tekanan positif. Pintu harus dilengkapi dengan lampu dan petunjuk KELUAR atau EXIT yang menyala saat listrik/PLN mati. Lampu exit dipasok dari bateri UPS terpusat; 3) Tangga darurat/penyelamatan yang terletak di dalam bangunan harus dipisahkan dari ruang-ruang lain dengan pintu tahan api dan bebas asap, pencapaian mudah, serta jarak pencapaian maksimum 45 m dan min 9 m; 4) Lebar tangga darurat/penyelamatan minimum adalah 1,20 m; 5) Tangga darurat/penyelamatan tidak boleh berben-tuk tangga melingkar vertikal, exit pada lantai dasar langsung kearah luar; 6) Ketentuan lebih lanjut tentang tangga darurat /penyelamatan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam standar teknis. b. Pintu darurat 1) Setiap bangunan gedung negara yang bertingkat lebih dari 3 lantai harus dilengkapi dengan pintu darurat minimal 2 buah; 2) Lebar pintu darurat minimum 100 cm, membuka ke arah tangga penyelamatan, kecuali pada lantai dasar membuka kearah luar (halaman); 3) Jarak pintu darurat maksimum dalam radius/jarak capai 25 meter dari setiap titik posisi orang dalam satu blok bangunan gedung; 4) Ketentuan lebih lanjut tentang pintu darurat mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur dalam standar yang dipersyaratkan. c. Pencahayaan darurat dan tanda penunjuk arah EXIT 1) Setiap bangunan gedung negara untuk pelayanan dan kepentingan umum seperti: kantor, pasar, rumah sakit, rumah negara bertingkat (rumah susun), asrama, Pedoman Teknis Pembangunan BGN sekolah, dan tempat ibadah harus dilengkapi dengan pencahayaan darurat dan tanda penunjuk arah KELUAR/EXIT yang menyala saat keadaan darurat; 2) Tanda KELUAR/EXIT atau panah penunjuk arah harus ditempatkan pada persimpangan koridor, jalan ke luar menuju ruang tangga darurat, balkon atau teras, dan pintu menuju tangga darurat; 3) Ketentuan lebih lanjut tentang pencahayaan darurat dan tanda penunjuk arah KELUAR/EXIT yang lebih rinci harus mengikuti standar dan pedoman teknis. d. Koridor/selasar 1) Lebar koridor bersih minimum 1,80 m; 2) Jarak setiap titik dalam koridor ke pintu darurat atau arah keluar yang terdekat tidak boleh lebih dari 25 m; 3) Koridor harus dilengkapi dengan tanda-tanda penunjuk yang menunjukkan arah ke pintu darurat atau arah keluar; 4) Panjang gang buntu maximum 15 m apabila dilengkapi dengan sprinkler dan 9 m tanpa sprinkler. e. Sistem Peringatan Bahaya 1) Setiap bangunan gedung negara untuk pelayanan dan kepentingan umum seperti: kantor, pasar, rumah sakit, rumah negara bertingkat (rumah susun), asrama, sekolah, dan tempat ibadah harus dilengkapi dengan sistem komunikasi internal dan sistem peringatan bahaya; 2) Sistem peringatan bahaya dan komunikasi internal tersebut mengacu pada ketentuan SNI yang dipersyaratkan. f. Fasilitas Penyelamatan Setiap lantai bangunan gedung negara harus diberi fasilitas penyelamatan berupa meja yang cukup kuat, sarana evakuasi yang memadai sebagai fasilitas perlindungan saat terjadi bencana mengacu pada ketentuan SNI yang dipersyaratkan. Penerapan persyaratan teknis bangunan gedung negara sesuai klasifikasinya tertuang dalam Tabel A1, sedangkan persyaratan teknis khusus untuk rumah negara tertuang dalam Tabel A2. 32 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 33 BAB III TAHAPAN PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA A. PERSIAPAN 1. PENYUSUNAN PROGRAM DAN PEMBIAYAAN Penyusunan program dan pembiayaan pembangunan adalah merupakan tahap awal proses penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung negara, yang merupakan kegiatan untuk menentukan program kebutuhan ruang dan fasilitas bangunan yang diperlukan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi pekerjaan dari instansi yang bersangkutan, serta penyusunan kebutuhan biaya pembangunan. a. Penyusunan program dan pembiayaan pembangunan bangunan gedung negara disusun oleh instansi Pengguna Anggaran yang memerlukan bangunan gedung negara. b. Penyusunan kebutuhan program ruang dan bangunan serta pelaksanaan pembangunan bangunan gedung negara dilakukan dengan: 1) menentukan kebutuhan luas ruang bangunan yang akan dibangun, antara lain: • ruang kerja; • ruang sirkulasi; • ruang penyimpanan; • ruang mekanikal/elektrikal; • ruang pertemuan; • ruang ibadah; • ruang servis (pantry); dan • ruang-ruang lainnya; Pedoman Teknis Pembangunan BGN yang disusun sesuai kebutuhan dan fungsi instansi yang akan menggunakan bangunan gedung. 2) menentukan kebutuhan prasarana dan sarana bangunan gedung, antara lain: ƒ kebutuhan parkir; ƒ sarana penyelamatan; ƒ utilitas bangunan; ƒ sarana transportasi; ƒ fasilitas komunikasi dan informasi; ƒ jalan masuk dan keluar; ƒ aksesibilitas bagi penyandang cacat; ƒ drainase dan pembuangan limbah; serta ƒ prasarana dan sarana lainnya sesuai dengan kebutuhan. 3) menentukan kebutuhan lahan bangunan; 4) menyusun jadwal pelaksanaan pembangunan. Penyusunan program kebutuhan ruang dan bangunan dilakukan dengan mengikuti pedoman, standar, dan petunjuk teknis pembangunan bangunan gedung negara yang berlaku. c. Penyusunan program kebutuhan bangunan gedung negara yang belum ada disain prototipenya dan/atau luas bangunannya lebih dari 1.500 m 2 , dapat menggunakan jasa konsultan, sebagai pekerjaan non-standar. d. Berdasarkan program kebutuhan yang telah ditetapkan, selanjutnya disusun kebutuhan pembiayaan pem-bangunan bangunan gedung negara yang bersang-kutan, yang terdiri atas: 1) biaya pelaksanaan konstruksi fisik; 2) biaya perencanaan teknis konstruksi; 3) biaya manajemen konstruksi atau pengawasan konstruksi; dan 4) biaya pengelolaan kegiatan. e. Penyusunan pembiayaan bangunan gedung negara didasarkan pada standar harga per-m2tertinggi 34 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 35 bangunan gedung negara yang berlaku. Untuk penyusunan program dan pembiayaan pembangunan bangunan gedung negara yang belum ada standar harganya atau memerlukan penilaian khusus, harus dikonsultasikan kepada Instansi Teknis setempat. f. Pembangunan bangunan gedung negara yang pelaksanaan pembangunannya akan dilaksanakan menerus lebih dari satu tahun anggaran sebagai kontrak tahun jamak (multi-years contract), program dan pembiayaannya harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan setelah memperoleh pendapat teknis dari Menteri Pekerjaan Umum. g. Dokumen program dan pembiayaan pembangunan bangunan gedung negara merupakan dokumen yang harus diserahkan kepada Kepala Satuan Kerja yang ditetapkan untuk melaksanakan pembangunan bangunan gedung negara yang bersangkutan, sebagai bahan acuan. 2. PERSIAPAN KEGIATAN a. Tahap persiapan kegiatan merupakan kegiatan persiapan setelah program dan pembiayaan tahunan yang diajukan telah disetujui atau Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) telah diterima oleh Kepala Satuan Kerja. b. Tahap persiapan kegiatan dilakukan oleh Pengguna Anggaran, yang pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Satuan Kerja,berdasarkan program dan pembiayaan yang telah disusun sebelumnya. c. Kegiatan yang harus dilakukan oleh Kepala Satuan Kerja pembangunan bangunan gedung negara meliputi: 1) Pembentukan Organisasi Pengelola Kegiatan dan Panitia Pengadaan Barang dan Jasa yang diperlukan; 2) Pengadaan Konsultan Manajemen Konstruksi untuk kegiatan yang menggunakan penyedia jasa manajemen konstruksi. B. PERENCANAAN TEKNIS KONSTRUKSI 1. Perencanaan teknis konstruksi merupakan tahap penyusunan rencana teknis ( disain ) bangunan gedung negara, Pedoman Teknis Pembangunan BGN termasuk yang penyusunannya dilakukan dengan menggunakan disain berulang atau dengan disain prototip. 2. Penyusunan rencana teknis bangunan gedung negara dilakukan dengan cara menggunakan penyedia jasa perencanaan konstruksi, baik perorangan ahli maupun badan hukum yang kompeten, sesuai dengan ketentuan, dan apabila tidak terdapat penyedia jasa perencanaan konstruksi yang bersedia, dapat dilakukan oleh instansi Pekerjaan Umum/instansi teknis setempat. 3. Rencana teknis disusun berdasarkan Kerangka Acuan Kerja (KAK) yang disusun oleh pengelola kegiatan. 4. Dokumen rencana teknis bangunan gedung negara secara umum meliputi: a. Gambar rencana teknis (arsitektur, struktur, mekanikal dan elektrikal, serta tata lingkungan); b. Rencana kerja dan syarat-syarat (RKS), yang meliputi persyaratan umum, administratif, dan teknis bangunan gedung negara yang direncanakan; c. Rencana anggaran biaya pembangunan; d. Laporan akhir tahap perencanaan, meliputi: 1) laporan arsitektur; 2) laporan perhitungan struktur termasuk laporan penyelidikan tanah (soil test); 3) laporan perhitungan mekanikal dan elektrikal; 4) laporan perhitungan IT (Informasi & Teknologi); 5) laporan tata lingkungan. e. Keluaran akhir tahap perencanaan, yang meliputi dokumen perencanaan, berupa: Gambar Rencana Teknis, Rencana Kerja dan Syarat-syarat (RKS), Rencana Anggaran Biaya (Engineering Estimate), dan Daftar Volume Pekerjaan (Bill of Quantity) yang disusun sesuai ketentuan; f. Kontrak kerja perencanaan konstruksi dan berita acara kemajuan pekerjaan/serah terima pekerjaan perencana-an, yang disusun dengan mengikuti ketentuan yang tercantum dalam peraturan presiden tentang pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, dan pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah beserta petunjuk teknis pelaksanaannya. 36 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 37 5. Tahap perencanaan teknis konstruksi untuk bangunan gedung negara: ƒ yang berlantai diatas 4 lantai; dan/atau ƒ dengan luas total diatas 5.000 m2 ; dan/atau ƒ dengan klasifikasi khusus; dan/atau ƒ yang melibatkan lebih dari satu konsultan perencana maupun pemborong; dan/atau; ƒ yang dilaksanakan lebih dari satu tahun anggaran (multiyears project); diharuskan melibatkan penyedia jasa manajemen konstruksi, sejak awal tahap perencanaan. C. PELAKSANAAN KONSTRUKSI 1. Dalam pelaksanaan konstruksi bangunan gedung negara sudah termasuk tahap pemeliharaan konstruksi. 2. Pelaksanaan konstruksi merupakan tahap pelaksanaan mendirikan bangunan gedung, baik merupakan pembangunan baru, perbaikan sebagian atau seluruhnya, maupun perluasan yang sudah ada, dan/atau lanjutan pembangunan yang belum selesai, dan/atau perawatan (rehabilitasi, renovasi, restorasi) dilakukan dengan menggunakan penyedia jasa pelaksana konstruksi sesuai ketentuan. 3. Pelaksanaan konstruksi dilakukan berdasarkan dokumen pelelangan yang telah disusun oleh perencana konstruksi, dengan segala tambahan dan perubahannya pada saat penjelasan pekerjaan/aanwijzingpelelangan, serta ketentuan teknis (pedoman dan standar teknis) yang dipersyaratkan. 4. Pelaksanaan konstruksi dilakukan sesuai dengan: kualitas masukan (bahan, tenaga, dan alat), kualitas proses (tata cara pelaksanaan pekerjaan), dan kualitas hasil pekerjaan, seperti yang tercantum dalam RKS. 5. Pelaksanaan konstruksi harus mendapatkan pengawasan dari penyedia jasa pengawasan konstruksi atau penyedia jasa manajemen konstruksi. 6. Pelaksanaan konstruksi harus sesuai dengan ketentuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pedoman Teknis Pembangunan BGN 7. Penyusunan Kontrak Kerja Pelaksanaan Konstruksi dan Berita Acara Kemajuan Pekerjaan/Serah Terima Pekerjaan Pelaksanaan Konstruksi maupun Pengawasan Konstruksi mengikuti ketentuan yang tercantum dalam peraturan presiden tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah dan petunjuk teknis pelaksa-naannya. 8. Pemeliharaan konstruksi adalah tahap uji coba dan pemeriksaan atas hasil pelaksanaan konstruksi fisik. Di dalam masa pemeliharaan ini penyedia jasa pelaksanaan konstruksi berkewajiban memperbaiki segala cacat atau kerusakan dan kekurangan yang terjadi selama masa konstruksi. 9. Dalam masa pemeliharaan semua peralatan yang dipasang di dalam dan di luar gedung, harus diuji coba sesuai fungsinya. Apabila terjadi kekurangan atau kerusakan yang menyebabkan peralatan tidak berfungsi, maka harus diperbaiki sampai berfungsi dengan sempurna. 10. Apabila tidak ditentukan lain dalam kontrak kerja pelaksanaan konstruksi bangunan gedung negara, masa pemeliharaan konstruksi untuk bangunan gedung semi permanen minimal selama 3 (tiga) bulan dan untuk bangunan gedung permanen minimal 6 (enam) bulan terhitung sejak serah terima pertama pekerjaan konstruksi. 11. Keluaran akhir yang harus dihasilkan pada tahap ini adalah: a. Bangunan gedung negara yang sesuai dengan dokumen untuk pelaksanaan konstruksi; b. Dokumen hasil Pelaksanaan Konstruksi, meliputi: 1) gambar-gambar yang sesuai dengan pelaksanaan (as built drawings). 2) semua berkas perizinan yang diperoleh pada saat pelaksanaan konstruksi fisik, termasuk Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB). 3) kontrak kerja pelaksanaan konstruksi fisik, pekerjaan pengawasan beserta segala perubahan/ addendumnya. 4) laporan harian, mingguan, bulanan yang dibuat selama pelaksanaan konstruksi fisik, laporan akhir 38 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 39 manajemen konstruksi/pengawasan, dan laporan akhir pengawasan berkala. 5) berita acara perubahan pekerjaan, pekerjaan tambah/kurang, serah terima I dan II, pemeriksaan pekerjaan, dan berita acara lain yang berkaitan dengan pelaksanaan konstruksi fisik. 6) foto-foto dokumentasi yang diambil pada setiap tahapan kemajuan pelaksanaan konstruksi fisik. 7) manual pemeliharaan dan perawatan bangunan gedung, termasuk petunjuk yang menyangkut pengoperasian dan perawatan peralatan dan perlengkapan mekanikal-elektrikal bangunan. Pedoman Teknis Pembangunan BGN BAB IV PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA A. UMUM Pembiayaan pembangunan bangunan gedung negara digolongkan atas pembiayaan pembangunan untuk pekerjaan standar (yang ada standar harga satuan tertingginya) dan pembiayaan pembangunan untuk pekerjaan non-standar (yang belum ada standar harga satuan tertingginya). Pembiayaan pembangunan bangunan gedung negara dituangkan dalam Dokumen Pembiayaan yang terdiri atas komponen-komponen biaya untuk pelaksanaan konstruksi, perencanaan konstruksi, pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi, dan biaya pengelolaan kegiatan. B. STANDAR HARGA SATUAN TERTINGGI Standar Harga Satuan Tertinggi merupakan biaya per-m 2 pelaksanaan konstruksi maksimum untuk pembangunan bangunan gedung negara, khususnya untuk pekerjaan standar bangunan gedung negara, yang meliputi pekerjaan struktur, arsitektur dan finishing, serta utilitas bangunan gedung negara. Standar Harga Satuan Tertinggi pembangunan bangunan gedung negara ditetapkan secara berkala untuk setiap kabupaten/kota oleh Bupati/Walikota setempat, khusus untuk Provinsi DKI Jakarta ditetapkan oleh Gubernur. Standar Harga Satuan Tertinggi ditetapkan untuk biaya pelaksanaan konstruksi fisik per-m2 pembangunan bangunan gedung negara dan diberlakukan sesuai dengan klasifikasi, lokasi, dan tahun pembangunannya, yang terdiri atas: 40 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 41 1. HARGA SATUAN PER M2 TERTINGGI UNTUK PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA KLASIFIKASI SEDERHANA DAN TIDAK SEDERHANA Harga satuan tertinggi untuk gedung negara dibedakan untuk setiap klasifikasi gedung sederhana dan tidak sederhana, lokasi kabupaten/kota-nya, serta untuk bangunan bertingkat dan yang tidak bertingkat. Disamping itu juga diberlakukan koefisien/faktor pengali untuk bangunan gedung bertingkat, dan koefisien/faktor pengali untuk bangunan/ruang dengan fungsi khusus. 2. HARGA SATUAN PER M2 TERTINGGI UNTUK PEMBANGUNAN BANGUNAN RUMAH NEGARA Harga satuan per-m2 tertinggi untuk bangunan rumah negara, dibedakan untuk setiap tipe rumah negara dan lokasi kabupaten/kota-nya. Untuk harga satuan per m 2 tertinggi untuk pembangunan rumah susun (pekerjaan standar), menggunakan pedoman harga satuan per-m2 tertinggi untuk pembangunan bangunan gedung negara bertingkat tidak sederhana, sesuai dengan lokasi kabupaten/kota-nya. 3. HARGA SATUAN PER M 1 TERTINGGI UNTUK PEMBANGUNAN PAGAR BANGUNAN GEDUNG NEGARA a. Harga satuan per-m1 tertinggi pembangunan pagar bangunan gedung negara ditetapkan sesuai klasifikasi bangunan gedung, letak pagar serta lokasi kabupaten/ kota-nya. b. Harga satuan per-m1 tertinggi untuk pembangunan pagar rumah negara, sesuaidengan tipe rumah, letak pagar, dan lokasi kabupaten/kota-nya. c. Harga satuan per-m1 tersebut, dengan ketentuan tinggi pagar sebagai berikut: 1) pagar depan kurang lebih 1,5 m; 2) pagar samping kurang lebih 2 m; 3) pagar belakang kurang lebih 2 m, atau berdasarkan ketentuan Peraturan Daerah setempat. Harga satuan tertinggi untuk bangunan gedung negara dengan klasifikasi bangunan khusus, ditetapkan berdasarkan Pedoman Teknis Pembangunan BGN C. KOMPONEN BIAYA PEMBANGUNAN Anggaran biaya pembangunan bangunan gedung negara ialah anggaran yang tersedia dalam Dokumen Pembiayaan yang berupa Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), atau dokumen pembiayaan lainnya, yang terdiri atas komponen biaya konstruksi fisik,biaya manajemen/pengawasan konstruksi, biaya perencanaan teknis konstruksi, dan biaya pengelolaan kegiatan. 1. BIAYA KONSTRUKSI FISIK Yaitu besarnya biaya yang dapat digunakan untuk membiayai pelaksanaan konstruksi fisik bangunan gedung negara yang dilaksanakan oleh penyedia jasa pelaksanaan secara kontraktual dari hasil pelelangan, penunjukan langsung, atau pemilihan langsung. Biaya konstruksi fisik terdiri dari biaya pekerjaan standar dan non standar. Biaya konstruksi fisik selanjutnya diatur sebagai berikut: a. Biaya pelaksanaan konstruksi dibebankan pada biaya untuk komponen konstruksi fisik kegiatan yang bersangkutan; b. Biaya konstruksi fisik maksimum untuk pekerjaan standar, dihitung dari hasil perkalian total luas bangunan gedung negara dengan standar harga satuan per-m2tertinggi yang berlaku; c. Untuk biaya konstruksi fisik pekerjaan-pekerjaan yang belum ada pedoman harga satuannya (non standar), dihitung dengan rincian kebutuhan nyata dan dikonsultasikan dengan Instansi Teknis setempat; d. Biaya konstruksi fisik ditetapkan dari hasil pelelangan pekerjaan yang bersangkutan, maksimum sebesar biaya konstruksi fisik yang tercantum dalam dokumen pembiayaan bangunan gedung negara yang bersangkutan, yang akan dicantumkan dalam kontrak, yang di dalamnya termasuk biaya untuk: 42 rincian anggaran biaya (RAB) yang dihitung sesuai dengan kebutuhan dan kewajaran harga yang berlaku. Pedoman Teknis Pembangunan BGN 43 3) Izin Mendirikan Bangunan (IMB), yang IMB-nya telah mulai diproses oleh pengelola kegiatan dengan bantuan konsultan perencana konstruksi dan/atau konsultan manajemen konstruksi; 4) pajak dan iuran daerah lainnya; dan 5) biaya asuransi selama pelaksanaan konstruksi. e. Pembayaran biaya konstruksi fisik dapat dilakukan secara bulanan atau tahapan tertentu yang didasarkan pada prestasi/kemajuan pekerjaan fisik di lapangan. 2. BIAYA MANAJEMEN KONSTRUKSI Yaitu besarnya biaya maksimum yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan manajemen konstruksi pem-bangunan bangunan gedung negara, yang dilakukan oleh penyedia jasa manajemen konstruksi secara kontraktual dari hasil seleksi atau penunjukan langsung. Biaya manajemen konstruksi diatur sebagai berikut: a. Biaya manajemen konstruksi dibebankan pada biaya untuk komponen kegiatan manajemen konstruksi yang bersangkutan; b. Besarnya nilai biaya manajemen konstruksi maksimum dihitung berdasarkan prosentase biaya manajemen konstruksi terhadap biaya konstruksi fisik yang tercantum dalam Tabel B2 dan B3; c. Besarnya biaya manajemen konstruksi dihitung secara orang-bulan dan biaya langsung yang bisa diganti, sesuai dengan ketentuan billing rate; d. Biaya manajemen konstruksi ditetapkan dari hasil seleksi atau penunjukan langsung pekerjaan yang bersangkutan, yang akan dicantumkan dalam kontrak, termasuk biaya untuk: 1) honorarium tenaga ahli dan tenaga penunjang; 2) materi dan penggandaan laporan; 1) pelaksanaan pekerjaan di lapangan (material, tenaga, dan alat); 2) jasa dan overhead; Pedoman Teknis Pembangunan BGN 6) perjalanan (lokal maupun luar kota); 7) jasa dan overheadmanajemen konstruksi, 8) asuransi/pertanggungan (indemnity insurance); 9) pajak dan iuran daerah lainnya. e. Pembayaran biaya manajemen konstruksi didasarkan pada prestasi kemajuan pekerjaan perencanaan dan pelaksanaan konstruksi di lapangan, yaitu (maksimum): 1) tahap persiapan/pengadaan konsultan perencana 5%; 2) tahap review rencana teknis sampai dengan serah terima dokumen peren-canaan 10%; 3) tahap pelelangan pemborong 5%; 4) tahap konstruksi fisik yang dibayarkan berdasarkan prestasi pekerjaan kons-truksi fisik di lapangan s.d. serah terima kedua pekerjaan. 80% 3. BIAYA PERENCANAAN TEKNIS KONSTRUKSI Yaitu besarnya biaya maksimum yang dapat digunakan untuk membiayai perencanaan bangunan gedung negara, yang dilakukan oleh penyedia jasa perencanaan secara kontraktual dari hasil seleksi, penunjukan langsung, atau pemilihan langsung. Biaya perencanaan diatur sebagai berikut: a. Biaya perencanaan dibebankan pada biaya untuk komponen kegiatan perencanaan yang bersangkutan; b. Besarnya nilai biaya perencanaan maksimum dihitung berdasarkan prosentase biaya perencanaan teknis konstruksi terhadap nilai biaya konstruksi fisik bangunan yang tercantum dalam Tabel B1, B2, dan B3; 44 3) pembelian dan atau sewa peralatan; 4) sewa kendaraan; 5) biaya rapat-rapat; Pedoman Teknis Pembangunan BGN 45 d. Biaya perencanaan teknis ditetapkan dari hasil seleksi atau penunjukan langsung pekerjaan yang bersangkutan, yang akan dicantumkan dalam kontrak termasuk biaya untuk: 1) honorarium tenaga ahli dan tenaga penunjang; 2) materi dan penggandaan laporan; 3) pembelian dan sewa peralatan; 4) sewa kendaraan; 5) biaya rapat-rapat; 6) perjalanan (lokal maupun luar kota); 7) jasa dan overheadperencanaan; 8) asuransi/pertanggungan (indemnity insurance); 9) pajak dan iuran daerah lainnya. e. Untuk pekerjaan yang berada di wilayah yang sukar pencapaiannya/sukar dijangkau transportasi (remote area), kebutuhan biaya untuk transportasi/ dalam rangka survei, penjelasan pekerjaan/aanwijzing, pengawasan berkala, opname lapangan, koordinasi, monitoring dan evaluasi, serta biaya ke lokasi tersebut, dapat diajukan sebagai biaya non standar, di luar prosentase biaya perencanaan, yang tercantum dalam Tabel B1, B2 dan B3, dalam penyusunan kebutuhan anggaran tersebut agar berkonsultasi dengan instansi teknis setempat; f. Pembayaran biaya perencanaan didasarkan pada pencapaian prestasi/kemajuan perencanaan setiap tahapnya, yaitu (maksimum): 1) tahap konsep rancangan 10% 2) tahap pra-rancangan 20% 3) tahap pengembangan 25% c. Biaya perencanaan teknis dihitung secara orang-bulan dan biaya langsung yang bisa diganti, sesuai dengan ketentuan billing rate; Pedoman Teknis Pembangunan BGN 4) tahap rancangan gambar detail dan penyusunan RKS serta RAB 25% 5) tahap pelelangan 5% 6) tahap pengawasan berkala 15% 4. BIAYA PENGAWASAN KONSTRUKSI Yaitu besarnya biaya maksimum yang dapat digunakan untuk membiayai pengawasan pembangunan bangunan gedung negara, yang dilakukan oleh penyedia jasa pengawasan secara kontraktual dari hasil seleksi atau penunjukan langsung. Biaya pengawasan diatur sebagai berikut: a. Biaya pengawasan dibebankan pada biaya untuk komponen kegiatan pengawasan yang bersangkutan; b. Besarnya nilai biaya pengawasan maksimum dihitung berdasarkan prosentase biaya pengawasan konstruksi terhadap nilai biaya konstruksi fisik bangunan yang tercantum dalam Tabel B1 dan B2; c. Biaya pengawasan dihitung secara orang-bulan dan biaya langsung yang bisa diganti, sesuai dengan ketentuan billing rate; d. Biaya pengawasan ditetapkan dari hasil seleksi atau penunjukan langsung pekerjaan yang bersangkutan, yang akan dicantumkan dalam kontrak termasuk biaya untuk: 1) honorarium tenaga ahli dan tenaga penunjang; 2) materi dan penggandaan laporan; 3) pembelian dan atau sewa peralatan; 4) sewa kendaraan; 5) biaya rapat-rapat; 6) perjalanan (lokal maupun luar kota); 7) jasa dan overhead pengawasan; 8) asuransi/pertanggungan (indemnity insurance); 9) pajak dan iuran daerah lainnya. e. Untuk pekerjaan yang berada di wilayah yang sukar pencapaiannya/sukar dijangkau transportasi (remote 46 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 47 area), kebutuhan biaya untuk transportasi/dalam rangka survei, penjelasan pekerjaan/aanwijzing, pengawasan berkala, opname lapangan, koordinasi, monitoring dan evaluasi, serta biaya ke lokasi tersebut, dapat diajukan sebagai biaya non standar, di luar prosentase biaya pengawasan, yang tercantum dalam Tabel B1 dan B2, dalam penyusunan kebutuhan anggaran tersebut agar berkonsultasi dengan instansi teknis setempat; f. Pembayaran biaya pengawasan dapat dibayarkan secara bulanan atau tahapan tertentu yang didasarkan pada pencapaian prestasi/kemajuan pekerjaan konstruksi fisik di lapangan, atau penyelesaian tugas dan kewajiban pengawasan. 5. BIAYA PENGELOLAAN KEGIATAN Yaitu besarnya biaya maksimum yang dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pengelolaan pembangunan bangunan gedung negara. Biaya pengelolaan kegiatan diatur sebagai berikut: a. Biaya pengelolaan kegiatan dibebankan pada biaya untuk komponen pengelolaan kegiatan yang bersangkutan; b. Besarnya nilai biaya pengelolaan kegiatan maksimum dihitung berdasarkan prosentase biaya pengelolaan kegiatan terhadap nilai biaya konstruksi fisik bangunan yang tercantum dalam Tabel B1dan B2; c. Perincian penggunaan biaya pengelolaan kegiatan adalah sebagai berikut: 1) Biaya operasional unsur Pengguna Anggaran Biaya operasional unsur Pengguna Anggaran, adalah sebesar 65% dari biaya pengelolaan kegiatan yang bersangkutan, untuk keperluan honorarium staf dan panitia lelang, perjalanan dinas, rapat-rapat, proses pelelangan, bahan dan alat yang berkaitan dengan pengelolaan kegiatan sesuai dengan pentahapan-nya, serta persiapan dan pengiriman kelengkapan administrasi/dokumen pendaftaran bangunan gedung negara; Pedoman Teknis Pembangunan BGN 2) Biaya operasional unsur Pengelola Teknis a) Biaya operasional unsur pengelola teknis, adalah sebesar 35% dari biaya pengelolaan kegiatan yang bersangkutan, yang dipergunakan untuk keperluan honorarium pengelola teknis, honorarium tenaga ahli/nara sumber (apabila diperlukan), perjalanan dinas, transport lokal, biaya rapat, biaya pembelian/penyewaan bahan dan alat yang berkaitan dengan kegiatan yang bersangkutan sesuai dengan pentahapannya; b) Pembiayaan diajukan oleh Instansi Teknis setempat kepada kepala satuan kerja/pejabat pembuat komitmen. 3) Realisasi pembiayaan pengelolaan kegiatan dapat dilakukan secara bertahap sesuai kemajuan pekerjaan (persiapan, perencanaan, dan pelaksanaan konstruksi). Besarnya honorarium pengelolaan kegiatan mengikuti ketentuan yang berlaku. d. Untuk pekerjaan yang berada di wilayah yang sukar pencapaiannya/sukar dijangkau transportasi (remote area), kebutuhan biaya untuk transportasi/perjalanan dinas dalam rangka survei, penjelasan pekerjaan/ aanwijzing, pengawasan berkala, opname lapangan, koordinasi, monitoring dan evaluasi, serta biaya pengelolaan kegiatan ke lokasi tersebut, dapat diajukan sebagai biaya non standar, di luar prosentase biaya pengelolaan kegiatan, yang tercantum dalam Tabel B1, B2, dan B3, dalam penyusunan kebutuhan anggaran tersebut agar berkonsultasi dengan instansi teknis setempat. Di dalam masing-masing komponen biaya pembangunan tersebut termasuk semua beban pajak dan biaya perizinan yang berkaitan dengan pembangunan bangunan gedung negara sesuai peraturan. Kelebihan biaya berupa penghematan yang didapat dari biaya perencanaan, manajemen konstruksi atau pengawasan dapat digunakan langsung untuk peningkatan mutu atau penambahan kegiatan konstruksi fisik, dengan melakukan revisi dokumen pembiayaan. 48 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 49 D. PEMBIAYAAN BANGUNAN/KOMPONEN BANGUNAN TERTENTU 1. HARGA SATUAN TERTINGGI RATA-RATA PER-M 2 BANGUNAN BERTINGKAT UNTUK BANGUNAN GEDUNG NEGARA Harga satuan tertinggi rata-rata per-m 2 bangunan gedung bertingkat adalah didasarkan pada harga satuan lantai dasar tertinggi per-m 2 untuk bangunan gedung bertingkat, kemudian dikalikan dengan koefisien/faktor pengali untuk jumlah lantai yang bersangkutan, sebagai berikut: Jumlah lantai bangunan Harga Satuan per m2 Tertinggi Bangunan 2 lantai 1,090 standar harga gedung bertingkat Bangunan 3 lantai 1,120 standar harga gedung bertingkat Bangunan 4 lantai 1,135 standar harga gedung bertingkat Bangunan 5 lantai 1,162 standar harga gedung bertingkat Bangunan 6 lantai 1,197 standar harga gedung bertingkat Bangunan 7 lantai 1,236 standar harga gedung bertingkat Bangunan 8 lantai 1,265 standar harga gedung bertingkat Untuk bangunan yang lebih dari 8 lantai, koefisien/faktor pengalinya dikonsultasikan dengan Instansi Teknis setempat. 2. HARGA SATUAN TERTINGGI RATA-RATA PER-M 2 BANGUNAN/ RUANG DENGAN FUNGSI KHUSUS UNTUK BANGUNAN GEDUNG NEGARA Untuk ruang dengan fungsi tertentu, yang memerlukan standar harga yang khusus, agar pada tahap penyusunan anggaran berkonsultasi dengan Instansi Teknis setempat. Untuk bangunan/ruang yang mempunyai fungsi khusus, yang karena persyaratannya memerlukan penyelesaian khusus, harga satuan tertinggi untuk per-m 2 nya didasarkan pada harga satuan tertinggi untuk klasifikasi bangunan yang bersangkutan setelah dikalikan koefisien seperti berikut: Pedoman Teknis Pembangunan BGN Fungsi Bangunan/Ruang Harga Satuan per m 2 Tertinggi ICU/ICCU/UGD/CMU 1,50 standar harga bangunan Ruang Operasi 2,00 standar harga bangunan Ruang Radiology 1,25 standar harga bangunan Rawat inap 1,10 standar harga bangunan Laboratorium 1,10 standar harga bangunan Ruang Kebidanan dan Kandungan 1,20 standar harga bangunan Ruang Gawat Darurat 1,10 standar harga bangunan Power House 1,25 standar harga bangunan Ruang Rawat Jalan 1,10 standar harga bangunan Dapur dan Laundri 1,10 standar harga bangunan Bengkel 1,00 standar harga bangunan Lab. SLTP/SMA/SMK 1,15 standar harga bangunan Selasar Luar Beratap/Teras 0,50 standar harga bangunan E. BIAYA PEKERJAAN NON-STANDAR 1. PEKERJAAN/KEGIATAN YANG DIKLASIFIKASIKAN SEBAGAI PEKERJAAN NON-STANDAR: a. Penyiapan lahan yang meliputi: pembentukan kualitas permukaan tanah/lahan sesuai dengan rancangan, pembuatan tanda-tanda lahan, pembersihan lahan dan pembongkaran; b. Pematangan lahan yang meliputi: pembuatan jalan dan jembatan dalam kompleks, jaringan utilitas kompleks (saluran drainase, air bersih, listrik, lampu penerangan luar, limbah kotoran, hidran kebakaran), lansekap/taman, pagar fungsi khusus dan tempat parkir; c. Penyusunan rencana tata bangunan dan lingkungan (termasuk master plan); d. Penyusunan studi Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL); e. Peningkatan arsitektur ataupun struktur bangunan: penampilan, keamanan, keselamatan, kesehatan, aksesibilitas serta kenyamanan gedung negara; 50 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 51 f. Pekerjaan khusus kelengkapan bangunan seperti: Alat Pengkondisian Udara, Elevator/Escalator, Tata Suara (Sound System), Telepon dan PABX, Instalasi IT (Informasi & Teknologi), Elektrikal (termasuk genset), Sistem Proteksi Kebakaran, Sistem Penangkal Petir Khusus, Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), Interior (termasuk furniture), Gas Pembakaran, Gas Medis, Pencegahan Bahaya Rayap, Pondasi Dalam, Fasilitas Penyandang Cacat, Sarana/Prasarana Lingkungan, Basement dan Peningkatan Mutu; g. Penyambungan yang meliputi: penyambungan air dari PAM/PDAM, penyambungan listrik dari PLN, penyam-bungan gas dari Perusahaan Gas, penyambungan telepon dari TELKOM; h. Pekerjaan-pekerjaan lain seperti: 1) Penyelidikan tanah yang terperinci; 2) Pekerjaan pondasi dalam yang lebih dari 5 m atau l/w ≥20; l = kedalaman, w = garis tengah / sisi penampang; 3) Pekerjaan basement/bangunan dibawah permukaan tanah; 4) Fasilitas aksesibilitas untuk kepentingan penyandang cacat; 5) Bangunan-bangunan khusus; 6) Bangunan selasar penghubung, bangunan tritisan/ emperan khusus dan yang sejenis. i. Biaya pengelolaan kegiatan, perencanaan, dan pengawasan untuk perjalanan dinas ke wilayah/lokasi kegiatan yang sukar pencapaiannya/dijangkau oleh sarana transportasi (remote area); j. Perizinan-perizinan khusus karena sifat bangunan, lokasi/letak bangunan, ataupun karena luas lahan; k. Biaya Konsultan studi penyusunan program pembangunan bangunan gedung negara, untuk bangunan gedung yang penyusunannya memerlukan keahlian konsultan; l. Biaya Konsultan VE, apabila Satuan Kerja menghendaki pelaksanaan VE dilakukan oleh konsultan independen. Pedoman Teknis Pembangunan BGN 2. PEMBIAYAAN PEKERJAAN NON-STANDAR a. Besarnya biaya-biaya untuk pekerjaan tersebut dihitung berdasarkan rincian volume kebutuhan nyata dan harga pasar yang wajar serta pajak-pajak yang berlaku, dengan terlebih dahulu berkonsultasi kepada Instansi Teknis yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung setempat; b. Besarnya biaya perencanaan, manajemen konstruksi/ pengawasan pekerjaan non-standar, dihitung berdasarkan billing-ratesesuai ketentuan yang tercantum dalam keputusan Menteri Keuangan; c. Total biaya pekerjaan non-standar maksimum sebesar 150% dari total biaya pekerjaan standar bangunan gedung negara yang bersangkutan, yang dalam penyusunan anggarannya, perinciannya antara lain dapat berpedoman pada prosentase sebagai berikut: Jenis Pekerjaan Prosentase Alat Pengkondisian Udara 10-20% dari X Elevator/Escalator 8-12% dari X Tata Suara (Sound System) 3-6% dari X Telepon dan PABX 3-6% dari X Instalasi IT (Informasi & Teknologi) 6-11% dari X Elektrikal (termasuk genset) 7-12% dari X Sistem Proteksi Kebakaran 7-12% dari X Sistem Penangkal Petir Khusus 2-5% dari X Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) 2-4% dari X Interior (termasuk furniture) 15-25% dari X Gas Pembakaran 1-2% dari X Gas Medis 2-4% dari X Pencegahan Bahaya Rayap 1-3% dari X Pondasi dalam 7-12% dari X Fasilitas penyandang cacat & ke-butuhan khusus 3-8% dari X Sarana/Prasarana Lingkungan 3-8% dari X 52 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 53 Basement (per m 2 ) 120% dari Y Peningkatan Mutu *) 15-30% dari Z Catatan :*) = peningkatan mutu termasuk peningkatan penampilan arsitektur dan peningkatan struktur terhadap aspek keselamatan bangunan, hanya dapat dilakukan dengan memberikan penjelasan yang secara teknis dapat diterima dan harus mendapatkan rekomendasi dari Instansi teknis. X = total biaya konstruksi fisik pekerjaan standar. Y = Standar Harga Satuan Tertinggi per m2. Z = total biaya komponen pekerjaanyang ditingkatkan mutunya F. PROSENTASE KOMPONEN PEKERJAAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA Untuk pekerjaan standar bangunan gedung dan rumah negara, sebagai pedoman penyusunan anggaran pembangunan, pembangunan yang lebih dari satu tahun anggaran, dan peningkatan mutu dapat berpedoman pada prosentase komponen-komponen pekerjaan sebagai berikut: Komponen Gedung Negara Rumah Negara Pondasi 5%-10% 3%-7% Struktur 25%-35% 20%-25% Lantai 5%-10% 10%-15% Dinding 7%-10% 10%-15% Plafond 6%-8% 8%-10% Atap 8%-10% 10%-15% Utilitas 5%-8% 8%-10% Finishing 10%-15% 15%-20% Pedoman Teknis Pembangunan BGN BAB V TATA CARA PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA A. PENYELENGGARA PEMBANGUNAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA 1. PENGUNA ANGGARAN a. Pengguna Anggaran adalah Kementerian/lembaga atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) penyelenggara pembangunan bangunan gedung negara untuk keperluan dinas, yang mempunyai program dan pembiayaan pembangunan. b. Pengguna Anggaran bertanggung jawab untuk menyusun program dan kebutuhan biaya pembangunan yang diperlukan, melaksanakan pembangunan, mengendalikan pembangunan, memanfaatkan, dan memelihara, serta merawat bangunan yang telah selesai. c. Pengguna Anggaran dalam menyelenggarakan pem-bangunan dapat pula melaksanakan melalui upaya tukar menukar/tukar bangun, kerjasama pemanfaatan (Bangun Guna Serah, Bangun Serah Guna, dll.), hibah, atau cara lainnya sesuai peraturan perundang-undangan. d. Pengguna Anggaran dapat melimpahkan pelaksanaan penyelenggaraan pembangunannya kepada Instansi Teknis setempat. 2. PEMBINA TEKNIS a. Sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 54 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 55 2002 tentang Bangunan Gedung, Pembina Teknis penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung adalah Menteri Pekerjaan Umum. b. Pembina Teknis bertanggung jawab untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan teknis penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung negara. c. Pembinaan dilakukan dalam rangka tata pemerintahan yang baik melalui kegiatan pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan sehingga setiap penyelenggaraan bangunan gedung dapat berlangsung tertib, efektif dan efisien. d. Dalam melaksanakan pembinaan teknis Menteri Pekerjaan Umum menugaskan kepada instansi teknis setempat untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan teknis di daerahnya sesuai azas dekonsentrasi. Berdasarkan penugasan tersebut instansi teknis setempat melaporkan hasil pelaksanaan pembinaannya kepada Menteri Pekerjaan Umum. B. ORGANISASI DAN TATA LAKSANA 1. PENGELOLA KEGIATAN a. Organisasi Pengelola Kegiatan Organisasi Pengelola Kegiatan untuk pembangunan bangunan gedung negara terdiri atas: 1) Kepala Satuan Kerja/Pejabat Pembuat Komitmen yaitu pejabat yang ditetapkan oleh Pengguna Anggaran; 2) Pengelola Keuangan Satuan Kerja yaitu Bendaharawan dan Pejabat Verifikasi yang ditetapkan oleh Pengguna Anggaran; 3) Pengelola Administrasi Satuan Kerja yaitu staf satuan kerja yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Kepala Satuan Kerja, yang sesuai ketentuan dapat terdiri atas beberapa staf; 4) Pengelola Teknis yaitu tenaga bantuan dari Instansi Teknis Setempat. Pedoman Teknis Pembangunan BGN b. Fungsi Pengelola Kegiatan: Pengelola kegiatan berfungsi membantu Pengguna Anggaran dalam melaksanakan kegiatan. 1) Kepala Satuan Kerja Kepala Satuan Kerja berfungsi menyelenggarakan seluruh tugas satuan kerja terutama pelaksanaan rencana kerja yang telah ditetapkan dan dituangkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). 2) Pejabat Pembuat Komitmen Pejabat Pembuat Komitmen adalah pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan penge-luaran anggaran belanja, berfungsi melaksanakan sebagian tugas satuan kerja dalam penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung negara dan bertanggung jawab secara fisik maupun keuangan kepada Kepala Satuan Kerja. 3) Bendahara Bendahara berfungsi membantu Kepala Satuan Kerja/Pejabat Pembuat Komitmen dalam melak-sanakan pengelolaan keuangan satuan kerja dan bertanggung jawab secara operasional kepada Kepala Satuan Kerja. 4) Pejabat Verifikasi Pejabat verifikasi adalah pejabat yang melakukan pengujian atas Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dan menyetujui/menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM) dan bertanggung jawab kepada Kepala Satuan Kerja. 5) Pengelola Administrasi Kegiatan Pengelola Administrasi Kegiatan berfungsi membantu Kepala Satuan Kerja/Pejabat Pembuat Komitmen dalam melaksanakan pengelolaan administrasi Kegiatan. Pengelola Administrasi Kegiatan bertang-gung jawab secara operasional kepada Kepala Satuan Kerja. 56 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 57 6) Pengelola Teknis Kegiatan Pengelola Teknis Kegiatan berfungsi membantu Kepala Satuan Kerja/Pejabat Pembuat Komitmen dalam mengelola Kegiatan dibidang teknis administratif selama pembangunan bangunan gedung negara pada setiap tahap, baik di tingkat program maupun di tingkat operasional. Pengelola teknis adalah pejabat fungsional bidang tata bangunan dan perumahan atau yang bersertifikat pengelola teknis yang ditetapkan oleh dan bertanggung jawab secarafungsional kepada: ƒ Direktur Jenderal Cipta Karya c.q. Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan untuk satuan kerja-satuan kerja Kementerian/Lembaga tingkat Pusat di wilayah DKI Jakarta; atau ƒ Dinas Pekerjaan Umum/Instansi teknis provinsi yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung sebagai bentuk penyelenggaraan tugas dekonsentrasi untuk satuan kerja - satuan kerja Kementerian/Lembaga di luar wilayah DKI Jakarta; serta bertanggung jawab secara operasional kepada Kepala Satuan Kerja/Pejabat Pembuat Komitmen Kementerian/Lembaga yang bersangkutan. c. Tugas Pengelola Kegiatan: 1) Pada tahap persiapan dan perencanaan konstruksi, meliputi: a) menyiapkan dan menetapkan organisasi kegiatan; b) menyiapkan bahan, menetapkan waktu, dan strategi penyelesaian kegiatan; c) melakukan penyiapan pengadaan penyedia jasa manajemen konstruksi termasuk menyusun Ke-rangka Acuan Kerja (KAK); d) melakukan penyiapan pengadaan penyedia jasa perencanaan termasuk menyusun Kerangka Acuan Kerja (KAK); Pedoman Teknis Pembangunan BGN e) menyusun Surat Penetapan Penyedia Barang dan Jasa (SPPBJ), Surat Perjanjian Kerja, dan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK); f) mengendalikan kegiatan manajemen konstruksi dan kegiatan perencanaan; g) menyusun berita acara persetujuan kemajuan pekerjaan untuk pembayaran angsuran dan berita acara lainnya yang berkaitan dengan kegiatan manajemen konstruksi dan kegiatan perencanaan; serta Pada tahap pelaksanaan konstruksi, meliputi: a) melakukan penyiapan pengadaan penyedia jasa pengawasan termasuk menyusun Kerangka Acuan Kerja (KAK); b) melakukan penyiapan pengadaan penyedia jasa pelaksana konstruksi; c) menyusun Surat Penetapan Penyedia Barang dan Jasa (SPPBJ), Surat Perjanjian Kerja, dan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK); d) mengendalikan kegiatan pengawasan pelak-sanaan konstruksi; e) mengendalikan kegiatan pelaksanaan konstruksi dan penilaian atas kemajuan tahap pelaksanaan konstruksi; f) menyusun berita acara persetujuan kemajuan pekerjaan untuk pembayaran angsuran dan berita acara lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan konstruksi; g) menyusun berita acara serah terima dan menerima bangunan yang telah selesai dari pelaksana konstruksi. 2) Pada tahap pasca-konstruksi, yaitu kegiatan persiapan untuk mendapatkan status dari pengelola anggaran, Sertifikat Laik Fungsi (SLF), dan pendaftaran sebagai bangunan gedung negara untuk mendapatkan HDNo dari Departemen Pekerjaan Umum, pengelola kegiatan membantu Pengguna Anggaran untuk: a) menyiapkan dokumen pembangunan; 58 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 59 b) menyiapkan dokumen pendaftaran Bangunan Gedung Negara; c) menyerahkan bangunan gedung negara yang telah selesai dari Pengelola kegiatan kepada Pengguna Anggaran, melalui Kuasa Pengguna Anggaran/Eselon I. 2. PENYEDIA JASA KONSTRUKSI Penyedia Jasa Konstruksi pembangunan bangunan gedung negara dalam melakukan kegiatan dan tugasnya harus berpedoman pada Undang-undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan peraturan-peraturan pelak-sanaannya. Penyedia Jasa Konstruksi terdiri atas penyedia jasa manajemen konstruksi atau penyedia jasa pengawasan, penyedia jasa perencanaan, dan penyedia jasa pelaksana konstruksi, dengan ketentuan sebagai berikut: a. Penyedia Jasa Manajemen Konstruksi. 1) Organisasi dan Tata Laksana a) Organisasi penyedia jasa manajemen konstruksi, disesuaikan dengan lingkup dan kompleksitas pekerjaan, seperti: i) Penanggung Jawab kegiatan; ii) Penanggung Jawab Lapangan; iii) Tenaga Ahli Penyusun dan Pengendali Program; iv) Tenaga Ahli Estimasi Biaya; v) Tenaga Ahli Arsitektur/Struktur/M&E; vi) Pengawas Lapangan. b) Penyedia jasa manajemen konstruksi adalah perusahaan yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk pelaksanaan tugas konsultansi dalam bidang manajemen konstruksi; c) Penyedia jasa manajemen konstruksi bertugas sejak ditetapkan berdasarkan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) mulai dari tahap perencanaan sampai serah terima II pekerjaan konstruksi fisik, dan berfungsi melaksanakan pengendalian pada tahap perencanaan dan tahap konstruksi, baik di tingkat program maupun di tingkat operasional; Pedoman Teknis Pembangunan BGN d) Penyedia jasa manajemen konstruksi dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab secara kontraktual kepada Kepala Satuan Kerja/Pejabat Pembuat Komitmen; e) Dalam hal di daerah tempat pelaksanaan kegiatan tidak terdapat perusahaan yang memenuhi persyaratan dan bersedia melakukan tugas konsultansi manajemen konstruksi, maka dapat ditunjuk perusahaan yang memenuhi persyaratan dan bersedia dari daerah lain. Apabila tidak terdapat penyedia jasa manajemen konstruksi seperti tersebut di atas, maka fungsi tersebut dilakukan oleh unsur Instansi Teknis setempat; f) Penyedia jasa manajemen konstruksi digunakan untuk pekerjaan: ƒ bangunan bertingkat diatas 4 lantai; dan/atau ƒ bangunan dengan luas total di atas 5.000 m 2 ; dan/atau ƒ bangunan khusus; dan/atau ƒ yang melibatkan lebih dari satu penyedia jasa perencanaan maupun pelaksana konstruksi; dan/atau ƒ yang dilaksanakan lebih dari satu tahun anggaran (multiyears project). g) Pengadaan penyedia jasa manajemen konstruksi harus berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam peraturan presiden R.I. tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah serta petunjuk teknis pelaksanaannya; h) Penyedia jasa manajemen konstruksi tidak dapat merangkap sebagai penyedia jasa perencanaan untuk pekerjaan yang bersangkutan; i) Biaya Penyedia jasa manajemen konstruksi dibebankan pada biaya untuk komponen manajemen konstruksi kegiatan yang bersangkutan. 60 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 61 2) Kegiatan Manajemen Konstruksi Kegiatan Manajemen Konstruksi meliputi pengendali-an waktu, biaya, pencapaian sasaran fisik (kuantitas dan kualitas), dan tertib administrasi dalam pembangunan bangunan gedung negara, mulai dari tahap persiapan, tahap perencanaan, tahap pelaksanaan konstruksi sampai dengan masa pemeliharaan. Kegiatan Manajemen Konstruksi terdiri atas: a) Tahap Persiapan: i) membantu pengelola kegiatan melaksanakan pengadaan penyedia jasa perencanaan, termasuk menyusun Kerangka Acuan Kerja (KAK), memberi saran waktu dan strategi pengadaan, serta bantuan evaluasi proses pengadaan; ii) membantu Pengelola Kegiatan dalam mempersiapkan dan menyusun program pelaksanaan seleksi penyedia jasa pekerjaan perencanaan; iii) membantu Panitia Pengadaan Barang dan Jasa dalam penyebarluasan pengumuman seleksi penyedia jasa pekerjaan perencanaan, baik melalui papan pengumuman, media cetak, maupun media elektronik; iv) membantu Panitia Pengadaan Barang dan Jasa melakukan pra-kualifikasi calon peserta seleksi penyedia jasa pekerjaan perencanaan; v) membantu memberikan penjelasan pekerjaan pada waktu rapat penjelasan pekerjaan; vi) membantu Panitia Pengadaan Barang dan Jasa dalam menyusun Harga Perhitungan Sendiri (HPS)/Owner’s Estimate(OE) pekerjaan perencanaan; vii) membantu melakukan pembukaan dan evaluasi terhadap usulan teknis dan biaya dari penawaran yang masuk; Pedoman Teknis Pembangunan BGN viii) membantu menyiapkan draft surat perjanjian pekerjaan perencanaan; ix) membantu pengelola kegiatan menyiapkan surat perjanjian pekerjaan perencanaan. b) Tahap Perencanaan: i) mengevaluasi program pelaksanaan kegiatan perencanaan yang dibuat oleh penyedia jasa perencanaan, yang meliputi program penyediaan dan penggunaan sumber daya, strategi dan pentahapan penyusunan dokumen lelang; ii) memberikan konsultansi kegiatan perencana-an, yang meliputi penelitian dan pemeriksaan hasil perencanaan dari sudut efisiensi sumber daya dan biaya, serta kemungkinan keter-laksanaan konstruksi; iii) mengendalikan program perencanaan, melalui kegiatan evaluasi program terhadap hasil perencanaan, perubahan-perubahan lingkungan, penyimpangan teknis dan administrasi atas persoalan yang timbul, serta pengusulan koreksi program; iv) melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang terlibat pada tahap perencanaan; v) menyusun laporan bulanan kegiatan konsultansi manajemen konstruksi tahap perencanaan, merumuskan evaluasi status dan koreksi teknis bila terjadi penyimpangan; vi) meneliti kelengkapan dokumen perencanaan dan dokumen pelelangan, menyusun program pelaksanaan pelelangan bersama penyedia jasa perencanaan, dan ikut memberikan penjelasan pekerjaan pada waktu pelelangan, serta membantu kegiatan panitia pelelangan; vii) menyusun laporan dan berita acara dalam rangka kemajuan pekerjaan dan pembayaran angsuran pekerjaan perencanaan; viii) mengadakan dan memimpin rapat-rapat koordinasi perencanaan, menyusun laporan 62 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 63 hasil rapat koordinasi, dan membuat laporan kemajuan pekerjaan manajemen konstruksi. c) Tahap Pelelangan i) membantu Pengelola Kegiatan dalam mem-persiapkan dan menyusun program pelak-sanaan pelelangan pekerjaan konstruksi fisik; ii) membantu Panitia Pengadaan Barang dan Jasa dalam penyebarluasan pengumuman pelelangan, baik melalui papan pengumu-man, media cetak, maupun media elektronik; iii) membantu Panitia Pengadaan Barang dan Jasa melakukan pra-kualifikasi calon peserta pelelangan (apabila pelelangan dilakukan melalui prakualifikasi); iv) membantu memberikan penjelasan pekerjaan pada waktu rapat penjelasan pekerjaan; v) membantu Panitia Pengadaan Barang dan Jasa dalam menyusun Harga Perhitungan Sendiri (HPS)/Owner’s Estimate(OE) pekerjaan konstruksi fisik; vi) membantu melakukan pembukaan dan evaluasi terhadap penawaran yang masuk; vii) membantu menyiapkan draft surat perjanjian pekerjaan pelaksanaan konstruksi fisik; viii) menyusun laporan kegiatan pelelangan. d) Tahap Pelaksanaan i) mengevaluasi program kegiatan pelaksanaan fisik yang disusun oleh pelaksana konstruksi, yang meliputi program-program pencapaian sasaran fisik, penyediaan dan penggunaan sumber daya berupa: tenaga kerja, peralatan dan perlengkapan, bahan bangunan, informasi, dana, program Quality Assurance /Quality Control, dan program kesehatan dan keselamatan kerja (K3); ii) mengendalikan program pelaksanaan kons-truksi fisik, yang meliputi program pengenda-lian sumber daya, pengendalian biaya, pengendalian waktu, pengendalian sasaran Pedoman Teknis Pembangunan BGN fisik (kualitas dan kuantitas) hasil konstruksi, pengendalian perubahan pekerjaan, pengen-dalian tertib administrasi, pengendalian kese-hatan dan keselamatan kerja; iii) melakukan evaluasi program terhadap penyimpangan teknis dan manajerial yang timbul, usulan koreksi program dan tindakan turun tangan, serta melakukan koreksi teknis bila terjadi penyimpangan; iv) melakukan koordinasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan konstruksi fisik; v) melakukan kegiatan pengawasan yang terdiri atas: ƒ memeriksa dan mempelajari dokumen untuk pelaksanaan konstruksi yang akan dijadikan dasar dalam pengawasan pekerjaan di lapangan; ƒ mengawasi pemakaian bahan, peralatan dan metode pelaksanaan, serta mengawasi ketepatan waktu, dan biaya pekerjaan konstruksi; ƒ mengawasi pelaksanaan pekerjaan konstruksi dari segi kualitas, kuantitas, dan laju pencapaian volume/ realisasi fisik; ƒ mengumpulkan data dan informasi di lapangan untuk memecahkan persoalan yang terjadi selama pekerjaan konstruksi; ƒ menyelenggarakan rapat-rapat lapangan secara berkala, membuat laporan mingguan dan bulanan pekerjaan manajemen konstruksi, dengan masukan hasil rapat-rapat lapangan, laporan harian, mingguan dan bulanan pekerjaan konstruksi fisik yang dibuat oleh pelaksana konstruksi; ƒ menyusun laporan dan berita acara dalam rangka kemajuan pekerjaan dan pembayaran angsuran pekerjaan pelaksanaan konstruksi ; 64 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 65 ƒ meneliti gambar-gambar untuk pelaksa-naan (shop drawings) yang diajukan oleh pelaksana konstruksi; ƒ meneliti gambar-gambar yang sesuai dengan pelaksanaan di lapangan (As Built Drawings) sebelum serah terima I; ƒ menyusun daftar cacat/kerusakan sebelum serah terima I (pertama), dan mengawasi perbaikannya pada masa pemeliharaan; ƒ bersama-sama dengan penyedia jasa perencanaan menyusun petunjuk peme-liharaan dan penggunaan bangunan gedung; ƒ menyusun berita acara persetujuan kema-juan pekerjaan, serah terima pertama, berita acara pemeliharaan pekerjaan dan serah terima kedua pekerjaan konstruksi, sebagai kelengkapan untuk pembayaran angsuran pekerjaan konstruksi; ƒ membantu pengelola kegiatan dalam menyusun Dokumen Pendaftaran; ƒ membantu pengelola kegiatan dalam penyiapan kelengkapan dokumen Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dari Pemerintah Kabupaten/Kota setempat. vi) menyusun laporan akhir pekerjaan manajemen konstruksi. b. Penyedia Jasa Perencanaan Konstruksi 1) Organisasi dan Tata Laksana a) Organisasi penyedia jasa perencanaan disesuaikan dengan lingkup dan kompleksitas pekerjaan, seperti: i) Penanggung Jawab kegiatan; ii) Tenaga Ahli Arsitektur; iii) Tenaga Ahli Struktur; iv) Tenaga Ahli Utilitas (M&E); v) Tenaga Ahli Estimasi Biaya; Pedoman Teknis Pembangunan BGN vi) Tenaga Ahli lainnya. b) Penyedia jasa perencanaan, adalah perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan tugas konsultansi dalam bidang jasa perencanaan teknis bangunan gedung beserta kelengkapannya; c) Penyedia jasa perencanaan berfungsi melak-sanakan pengadaan dokumen perencanaan, dokumen lelang, dokumen untuk pelaksanaan konstruksi, memberikan penjelasan pekerjaan pada waktu pelelangan, dan memberikan penjelasan serta saran penyelesaian terhadap persoalan perencanaan yang timbul selama tahap konstruksi; d) Penyedia jasa perencanaan mulai bertugas sejak ditetapkan berdasarkan SPMK mulai dari tahap perencanaan sampai dengan serah terima I (pertama) pekerjaan oleh pelaksana konstruksi; e) Penyedia jasa perencanaan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab secara kontraktual kepada Kepala Satuan Kerja/Pejabat Pembuat Komitmen; f) Dalam hal di daerah tempat pelaksanaan kegiatan tidak terdapat perusahaan yang memenuhi persyaratan dan bersedia melakukan tugas konsultansi perencanaan, maka dapat ditunjuk perusahaan yang memenuhi persyaratan dan bersedia dari daerah lain sesuai ketentuan. Apabila tidak terdapat penyedia jasa perencanaan seperti tersebut di atas, maka fungsi tersebut dilakukan oleh instansi teknis setempat yang bertanggung jawab terhadap pembinaan bangunan gedung, dengan biaya maksimal sebesar 60% x biaya perencanaan yang dilaksanakan dalam rangka swakelola; g) Penyedia jasa perencanaan harus berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam peraturan presiden R.I. tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah serta petunjuk teknis pelaksanaannya. Penyedia jasa 66 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 67 perencanaan dapat dilakukan melalui sayembara; h) Untuk pekerjaan pembangunan dengan luas bangunan diatas 12.000 m2 atau diatas 8 lantai, penyedia jasa perencanaan diwajibkan pada tahap pra-rencana menyelenggarakan paket satuan kerja lokakarya value engineering(VE) selama 40 jam secara in-house, untuk mengembangkan konsep perencanaan, dengan melibatkan partisipasi pengelola kegiatan, penyedia jasa manajemen konstruksi, dan pemberi jasa keahlian VE; i) Biaya penyelenggaraan lokakarya, termasuk biaya kerja sama dengan pemberi jasa keahlian VE merupakan bagian dari biaya penyedia jasa perencanaan; j) Penyedia jasa perencanaan tidak dapat merangkap sebagai penyedia jasa manajemen konstruksi untuk pekerjaan yang bersangkutan; k) Penyedia jasa perencanaan dapat merangkap sebagai penyedia jasa pengawasan untuk pekerjaan dengan klasifikasi konsultan grade 2; l) Untuk Provinsi Papua, Maluku, dan Kepulauan Riau atau daerah-daerah yang dinyatakan daerah remote oleh Instansi yang berwenang, penyedia jasa perencanaan dapat merangkap sebagai penyedia jasa pengawasan untuk pekerjaan dengan klasifikasi konsultan grade 2; m) Biaya penyedia jasa perencanaan dibebankan pada biaya untuk komponen perencanaan kegiatan yang bersangkutan. 2) Kegiatan Perencanaan Teknis Pekerjaan perencanaan teknis konstruksi dapat me-liputi perencanaan lingkungan, site/tapak bangunan, atau perencanaan fisik bangunan gedung negara. Kegiatan perencanaan teknis terdiri atas: a) Persiapan atau penyusunan konsep perencanaan, seperti mengumpulkan data dan informasi lapangan (termasuk penyelidikan tanah seder- Pedoman Teknis Pembangunan BGN hana), membuat interpretasi secara garis besar terhadap Kerangka Acuan Kerja, program kerja perencanaan, konsep perencanaan, sketsa gagasan, dan konsultasi dengan pemerintah daerah setempat mengenai peraturan daerah/ perizinan bangunan; b) Penyusunan pra-rencana, seperti membuat rencana tapak, pra-rencana bangunan, perkiraan biaya, laporan perencanaan, dan mengurus perizinan sampai mendapatkan keterangan rencana kota/kabupaten, keterangan persyaratan bangunan dan lingkungan, dan penyiapan kelengkapan permohonan IMB sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah daerah setempat; c) Menyelenggarakan paket kegiatan lokakarya value engineeringuntuk pengembangan konsep perencanaan teknis, bagi satuan kerja yang mewajibkan kegiatan tersebut; d) Penyusunan pengembangan rencana, seperti membuat: i) rencana arsitektur, beserta uraian konsep dan visualisasi dwi dan trimatra bila diperlukan; ii) rencana struktur, beserta uraian konsep dan perhitungannya; iii) rencana mekanikal-elektrikal termasuk IT, beserta uraian konsep dan perhitungannya; iv) garis besar spesifikasi teknis (Outline Specifi-cations); v) perkiraan biaya. e) Penyusunan rencana detail berupa uraian lebih terinci seperti: membuat gambar-gambar detail, rencana kerja dan syarat-syarat, rincian volume pelaksanaan pekerjaan, rencana anggaran biaya pekerjaan konstruksi, dan menyusun laporan perencanaan; f) Pembuatan dokumen perencanaan teknis berupa: rencana teknis arsitektur, struktur, mekanikal dan elektrikal, pertamanan, tata ruang dalam bentuk gambar rencana, gambar detail pelaksanaan dan 68 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 69 perhitungannya, rencana kerja dan syarat-syarat administratif, syarat umum dan syarat teknis, rencana anggaran biaya pembangunan dan laporan perencanaan; g) Membantu Kepala Satuan Kerja/Pejabat Pembuat Komitmen di dalam menyusun dokumen pelelangan, dan membantu panitia pelelangan dalam menyusun program dan pelaksanaan pelelangan; h) Membantu panitia pelelangan pada waktu penjelasan pekerjaan, termasuk menyusun Berita Acara Penjelasan Pekerjaan, membantu Panitia Pelelangan dalam melaksanakan evaluasi penawaran, menyusun kembali dokumen pelelangan, dan melaksanakan tugas-tugas yang sama apabila terjadi lelang ulang; i) Melakukan pengawasan berkala, seperti memeriksa kesesuaian pelaksanaan pekerjaan dengan rencana secara berkala, melakukan penyesuaian gambar dan spesifikasi teknis pelaksanaan bila ada perubahan, memberikan penjelasan terhadap persoalan-persoalan yang timbul selama masa konstruksi, memberikan rekomendasi tentang penggunaan bahan, dan membuat laporan akhir pengawasan berkala; j) Menyusun laporan akhir pekerjaan perencanaan yang terdiri atas perubahan perencanaan pada masa pelaksanaan konstruksi, petunjuk penggunaan, pemeliharaan, dan perawatan bangunan gedung, termasuk petunjuk yang menyangkut peralatan dan perlengkapan mekanikal-elektrikal bangunan. c. Penyedia Jasa Pengawasan Konstruksi 1. Organisasi dan Tata Laksana a) Organisasi penyedia jasa pengawasan disesuaikan dengan lingkup dan kompleksitas pekerjaan, seperti: i) Penanggung Jawab kegiatan; ii) Penanggung Jawab Lapangan; Pedoman Teknis Pembangunan BGN iii) Pengawas Pekerjaan Arsitektur; iv) Pengawas Pekerjaan Struktur; v) Pengawas Pekerjaan Mekanikal-elektrikal (M&E); vi) Tenaga Ahli lainnya. b) Penyedia jasa pengawasan adalah perusahaan yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk melaksanakan tugas-tugas konsultansi dalam bidang jasa pengawasan konstruksi; c) Penyedia jasa pengawasan berfungsi melaksa-nakan pengawasan pada tahap konstruksi; d) Penyedia jasa pengawasan mulai bertugas sejak ditetapkan berdasarkan SPMK sampai dengan paling lambat 2 (dua) minggu setelah serah terima kedua pekerjaan oleh pelaksana konstruksi; e) Penyedia jasa pengawasan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab secara kontraktual kepada Kepala Satuan Kerja/Pejabat Pembuat Komitmen; f) Dalam hal di daerah tempat pelaksanaan kegiatan tidak terdapat perusahaan yang memenuhi persyaratan dan bersedia melakukan tugas konsultansi pengawasan, maka dapat ditunjuk perusahaan yang memenuhi persyaratan dan bersedia dari daerah lain sesuai ketentuan. Apabila tidak terdapat penyedia jasa pengawasan seperti tersebut di atas, maka fungsi tersebut dilakukan oleh instansi teknis setempat yang bertanggung jawab terhadap pembinaan bangunan gedung, dengan biaya maksimal sebesar 60% x biaya pengawasan yang dilaksanakan dalam rangka swakelola; g) Penyedia jasa pengawasan digunakan untuk seluruh jenis kegiatan pembangunan bangunan gedung negara, kecuali untuk kegiatan yang harus menggunakan jasa penyedia jasa manajemen konstruksi; h) Pemilihan/penunjukan penyedia jasa pengawasan harus berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Perpres R.I. tentang pedoman pelaksanaan 70 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 71 pengadaan barang dan jasa pemerintah serta petunjuk teknis pelaksanaannya; i) Penyedia jasa pengawasan dapat dirangkap oleh penyedia jasa perencanaan pekerjaan yang bersangkutan untuk pekerjaan dengan klasifikasi konsultan grade 2; j) Untuk Provinsi Papua, Maluku, dan Kepulauan Riau atau daerah-daerah yang dinyatakan daerah remote oleh Instansi yang berwenang, Konsultan Pengawas Konstruksi dapat dirangkap oleh Konsultan Perencana Konstruksi untuk pekerjaan dengan klasifikasi konsultan grade 2; k) Biaya penyedia jasa pengawasan dibebankan pada biaya untuk komponen kegiatan peng-awasan konstruksi yang bersangkutan. 2. Kegiatan Pengawasan Konstruksi Kegiatan pengawasan konstruksi terdiri atas: a) Memeriksa dan mempelajari dokumen untuk pelaksanaan konstruksi yang akan dijadikan dasar dalam pengawasan pekerjaan di lapangan; b) Mengawasi pemakaian bahan, peralatan dan metode pelaksanaan, serta mengawasi ketepatan waktu, dan biaya pekerjaan konstruksi; c) Mengawasi pelaksanaan pekerjaan konstruksi dari segi kualitas, kuantitas, dan laju pencapaian volume/realisasi fisik; d) Mengumpulkan data dan informasi di lapangan untuk memecahkan persoalan yang terjadi selama pelaksanaan konstruksi; e) Menyelenggarakan rapat-rapat lapangan secara berkala, membuat laporan mingguan dan bulanan pekerjaan pengawasan, dengan masukan hasil rapat-rapat lapangan, laporan harian, mingguan dan bulanan pekerjaan konstruksi yang dibuat oleh pelaksana konstruksi; f) Meneliti gambar-gambar untuk pelaksanaan (shop drawings) yang diajukan oleh pelaksana konstruksi; Pedoman Teknis Pembangunan BGN g) Meneliti gambar-gambar yang sesuai dengan pelaksanaan di lapangan (As Built Drawings) sebelum serah terima I; h) Menyusun daftar cacat/kerusakan sebelum serah terima I, mengawasi perbaikannya pada masa pemeliharaan, dan menyusun laporan akhir pekerjaan pengawasan; i) Menyusun berita acara persetujuan kemajuan pekerjaan, berita acara pemeliharaan pekerjaan, dan serah terima pertama dan kedua pelaksanaan konstruksi sebagai kelengkapan untuk pembayaran angsuran pekerjaan konstruksi; j) Bersama-sama penyedia jasa perencanaan menyusun petunjuk pemeliharaan dan penggu-naan bangunan gedung; k) Membantu pengelola kegiatan dalam menyusun Dokumen Pendaftaran; l) Membantu pengelola kegiatan dalam penyiapan kelengkapan dokumen Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dari Pemerintah Kabupaten/Kota setempat. d. Penyedia Jasa Pelaksanaan Konstruksi 1) Organisasi dan Tata Laksana a) Organisasi penyedia jasa pelaksanaan konstruksi disesuaikan dengan lingkup dan kompleksitas pekerjaan, seperti: i) Penanggung Jawab Kegiatan; ii) Penanggung Jawab di Lapangan; iii) Tenaga Ahli Arsitektur/Struktur/M&E; iv) Tenaga Ahli Estimasi Biaya; v) Tenaga Ahli K3; vi) Tenaga Ahli lainnya; vii) Pelaksana lapangan. b) Penyedia jasa pelaksanaan konstruksi adalah perusahaan yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk melakukan tugas pelaksanaan konstruksi fisik pembangunan gedung; 72 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 73 c) Penyedia jasa pelaksanaan konstruksi berfungsi membantu pengelola kegiatan untuk melakukan tugas pelaksanaan konstruksi fisik; d) Penyedia jasa pelaksanaan konstruksi mulai bertugas sejak waktu yang ditetapkan berdasarkan SPMK sampai dengan serah terima kedua pekerjaan pelaksanaan; e) Penyedia jasa pelaksanaan konstruksi dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab secara kontraktual kepada Kepala Satuan Kerja/Pejabat Pembuat Komitmen; f) Pengadaan Penyedia jasa pelaksanaan konstruksi harus berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam perpres R.I. tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah serta petunjuk teknis pelaksanaannya; g) Biaya Penyedia jasa pelaksanaan konstruksi dibebankan pada biaya untuk komponen kegiatan pelaksanaan konstruksi yang ditetapkan. 2) Kegiatan Konstruksi Fisik Kegiatan konstruksi fisik terdiri atas: a) Melakukan pemeriksaan dan penilaian dokumen untuk pelaksanaan konstruksi fisik, baik dari segi kelengkapan maupun segi kebenarannya; b) Menyusun program kerja yang meliputi jadwal waktu pelaksanaan, jadwal pengadaan bahan, jadwal penggunaan tenaga kerja, dan jadwal penggunaan peralatan berat; c) Melaksanakan persiapan di lapangan sesuai dengan pedoman pelaksanaan; d) Menyusun gambar pelaksanaan (shop drawings) untuk pekerjaan-pekerjaan yang memerlukannya; e) Melaksanakan pekerjaan konstruksi fisik di lapangan sesuai dengan dokumen pelaksanaan; f) Melaksanakan pelaporan pelaksanaan konstruksi fisik, melalui rapat-rapat lapangan, laporan harian, laporan mingguan, laporan bulanan, laporan kemajuan pekerjaan, laporan persoalan yang timbul/dihadapi, dan surat-menyurat; Pedoman Teknis Pembangunan BGN g) Membuat gambar-gambar yang sesuai dengan pelaksanaan di lapangan (as built drawings) yang selesai sebelum serah terima I (pertama), setelah disetujui oleh konsultan manajemen konstruksi atau konsultan pengawas konstruksi dan diketahui oleh konsultan perencana konstruksi; h) Melaksanakan perbaikan kerusakan-kerusakan yang terjadi di masa pemeliharaan konstruksi; i) Dalam hal satuan kerja mewajibkan menggunakan metode VE, maka pelaksana konstruksi dapat menyusun value-engineering change proposal (VECP) dalam rangka pemberian alternatif penawaran yang disertakan pada surat penawaran; j) Dalam penyusunan VECP, pelaksana konstruksi secara in-house, bagi yang memiliki tenaga ahli VE, atau bekerja sama dengan pemberi jasa keahlian VE, harus menggunakan metodologi yang sesuai dengan standar pelaksanaan studi VE yang lazim berlaku; k) Dalam hal terjadi penghematan karena penggunaan VECP dalam rangka pemberian alternatif penawaran tersebut, pengaturan biaya hasil penghematan (H) adalah sebagai berikut: ƒ 60 % dari H digunakan untuk meningkatkan mutu dan/atau menambah kegiatan pekerjaan konstruksi fisik atau disetor ke Kas Negara; ƒ 25 % dari H untuk tambahan biaya jasa pelaksana konstruksi dan pelaksana VE; ƒ 10 % dari H untuk tambahan biaya jasa konsultan perencana konstruksi; ƒ 5 % dari H untuk tambahan jasa konsultan manajemen konstruksi untuk kegiatan yang menggunakan jasa Konsultan Manajemen Konstruksi, sedangkan untuk kegiatan yang menggunakan Konsultan Pengawas Konstruksi, biaya penghematan ini ditambahkan untuk meningkatkanmutudanataum enam b ah 74 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 75 kegiatan pekerjaan konstruksi fisik, atau disetor ke Kas Negara. 3. HUBUNGAN KERJA PENYEDIA JASA KONSTRUKSI DENGAN KEPALA SATUAN KERJA/PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN Hubungan kerja antara penyedia jasa konstruksi dengan Kepala Satuan Kerja/Pejabat Pembuat Komitmen sebagai pengguna jasa konstruksi adalah hubungan kerjasama yang mempunyai kedudukan sama dan berasaskan kemitraan, yang diwujudkan dalam bentuk kontrak kerja konstruksi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Hubungan kerja antara penyedia jasa konstruksi dengan Kepala Satuan Kerja/Pejabat Pembuat Komitmen diatur sebagai berikut: a. Kepala Satuan Kerja/Pejabat Pembuat Komitmen bertanggung jawab atas pembayaran semua prestasi pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh penyedia jasa konstruksi berdasarkan perjanjian yang telah disepakati bersama; b. Para ahli penyedia jasa konstruksi bertanggung jawab atas hasil pekerjaan yang dilaksanakan terhitung dari serah terima pekerjaan; c. Kecuali ditentukan lain, hubungan kerja antara Kepala Satuan Kerja/Pejabat Pembuat Komitmen dengan pihak penyedia jasa konstruksi seperti: manajemen konstruksi/ pengawas konstruksi, perencana konstruksi, dan pelaksana konstruksi, masing-masing dilakukan secara kontraktual dalam bentuk Kontrak Lumpsum/Lumpsum Fixed Price Contract; d. Yang dimaksud dengan Kontrak Lumpsumadalah suatu kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu dengan jumlah harga total penawaran yang pasti dan tetap. Dengan demikian, semua risiko yang mungkin terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan tersebut sepenuhnya ditanggung oleh penyedia jasa yang melakukan kontrak tersebut, sepanjang lingkup pekerjaan atau gambar dan spesifikasi tidak berubah; Pedoman Teknis Pembangunan BGN e. Dalam pelaksanaan Kontrak Lumpsum, khusus untuk pelaksana konstruksi, daftar volume dan harga (bills of quantity/BQ) bersifat tidak mengikat dalam kontrak sehingga tidak dapat dijadikan dasar perhitungan untuk melakukan pembayaran. Tahap pembayaran dilakukan berdasarkan prestasi fisik pekerjaan yang kriterianya ditetapkan dalam kontrak yang bersangkutan. C. PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN TERTENTU 1. PELAKSANAAN PEMBANGUNAN LEBIH DARI SATU TAHUN ANGGARAN Untuk kegiatan yang karena kondisinya tidak dapat diselesaikan dalam satu tahun anggaran, sehingga memerlukan persetujuan multi-years project, maka pengadaan dokumen perencanaannya harus diselesaikan pada tahun anggaran pertama. Dalam menyusun program pembangunan bangunan gedung negara yang tidak selesai dalam satu tahun anggaran, maka harus disusun program pembangunan setiap tahunnya sesuai dengan lingkup pekerjaan yang bisa diselesaikan pada tahun yang bersangkutan. Sebagai pedoman program pelaksanaan dapat mengikuti pola sebagai berikut: a. Bangunan sampai dengan 2 lantai 1) Tahun pertama: penyusunan seluruh dokumen perencanaan, pelaksanaan pondasi dan struktur bangunan s.d. lantai 2; 2) Tahun kedua: pelaksanaan sisa pekerjaan. b. Bangunan lebih dari 3 lantai sampai dengan 5 lantai 1) Tahun pertama: penyusunan seluruh dokumen perencanaan, pelaksanaan pondasi dan struktur bangunan s.d. lantai 2; 2) Tahun kedua: pelaksanaan sisa pekerjaan. c. Bangunan 6 lantai sampai dengan 8 lantai 1) Tahun pertama: penyusunan seluruh dokumen perencanaan, pelaksanaan pondasi dan struktur bangunan s.d. lantai 1; 76 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 77 2) Tahun kedua: pelaksanaan struktur lantai 2 sampai dengan lantai 8, sebagian finishing lantai 1, 2, dan 3, sebagian pekerjaan mekanikal dan elektrikal; 3) Tahun ketiga: pelaksanaan sisa pekerjaan. Dalam penyusunan program dan pembiayaan pem-bangunan setiap tahunnya agar komponen biaya pembangunan yang tercantum dalam dokumen pem-biayaan disesuaikan berdasarkan tahapan pembangu-nannya. Untuk efektivitas dan efisiensi pelaksanaan, kegiatan multi-years projectdiusulkan mendapatkan persetujuan multi-years contractsebelum pelaksanaan kegiatan. Untuk bangunan bertingkat yang lebih dari 8 lantai, atau yang mempunyai spesifikasi lain, dalam menyusun program pembangunannya agar berkonsultasi kepada Instansi Teknis setempat. 2. PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DENGAN DISAIN BERULANG a. Disain berulang adalah penggunaan secara berulang terhadap produk disain yang sudah ada yang dibuat oleh penyedia jasa perencanaan yang sama, dan telah ditetapkan sebelumnya dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK); b. Disain berulang total adalah penggunaan secara berulang terhadap seluruh produk disain yang sudah ada yang dibuat oleh penyedia jasa perencanaan yang sama untuk pekerjaan lain pada tapak yang sama atau pada lokasi lain; c. Disain berulang parsial adalah penggunaan secara berulang terhadap sebagaian produk disain yang sudah ada yang dibuat oleh penyedia jasa perencanaan yang sama untuk pekerjaan lain pada tapak yang sama atau pada lokasi lain; d. Biaya perencanaan untuk disain bangunan yang berulang secara total ataupun parsial diperhitungkan sebagai berikut: 1) Pengulangan pertama : 75 % Pedoman Teknis Pembangunan BGN 2) Pengulangan kedua : 65 % 3) Pengulangan ketiga, dan seterusnya masing-masing sebesar : 50 % terhadap komponen biaya perencanaan. e. Untuk pekerjaan disain berulang penyedia jasa perencanaan dapat ditunjuk langsung. Dalam hal ini, biaya perencanaan yang dihemat dapat langsung ditambahkan kedalam biaya konstruksi fisik untuk penambahan kegiatan dan atau peningkatan mutu. Untuk daerah yang sukar terjangkau (remote area), penghematan biaya tersebut dapat digunakan untuk biaya perjalanan konsultasi dalam kegiatan survei, penjelasan pekerjaan (aanwijzing), pengawasan berkala, dan lain-lain dengan mengajukan revisi dokumen pembiayaan. 3. PELAKSANAAN PEMBANGUNAN DENGAN DESAIN PROTOTIPE Disain prototipeadalah penggunaan disain yang telah ditetapkan/dibakukan oleh pemerintah. a. Untuk bangunan rumah negara type 36, 50, 70, baik yang berbentuk rumah tunggal tidak bertingkat atau rumah susun serta gedung kantor klasifikasi sederhana dan gedung SD/SLTP/SMA/SMK yang sudah ada disain prototipenya, dibangun berdasarkan Dokumen Pelelangan disain prototipe daerah setempat yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya, atau disain prototipe daerah setempat yang ditetapkan oleh instansi teknis setempat yang bertanggung jawab terhadap pembinaan bangunan gedung; b. Penyesuaian dokumen pelelangan disain prototipe dapat dilakukan apabila dokumen pelelangan disain prototipe yang telah ditetapkan tersebut tidak sesuai dengan keadaan lokasi, bahan bangunan dan pelaksanaan di lapangan; c. Penyesuaian disain prototipe dapat dilakukan oleh penyedia jasa perencanaan dengan prosentase biaya perencanaan maksimum sebesar 50% dari biaya perencanaan; 78 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 79 d. Apabila penyesuaian disain prototipe dilakukan oleh unsur instansi teknis setempat yang bertanggung jawab terhadap pembinaan bangunan gedung, maka prosentase biaya perencanaan penyesuaian disain prototipe sama dengan 60 % x biaya perencanaan penyesuaian disain prototipe oleh penyedia jasa perencanaan; e. Tidak ada biaya tambahan untuk perencanaan bila menggunakan disain prototipe secara berulang; f. Dalam hal pengawasan pelaksanaan pembangunan dilakukan oleh unsur Instansi Teknis setempat, jumlah biaya pengawasannya adalah maksimum sebesar 60% x jumlah biaya pengawasan, dan dilaksanakan dalam rangka swakelola. D. PEMELIHARAAN/PERAWATAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA 1. UMUR BANGUNAN DAN PENYUSUTAN a. Umur bangunan adalah jangka waktu bangunan dapat tetap memenuhi fungsi dan keandalan bangunan, sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Untuk bangunan gedung negara (termasuk bangunan rumah negara) umur bangunan diperhitungkan 50 tahun; b. Penyusutan adalah nilai degradasi bangunan yang dihitung secara sama besar setiap tahunnya selama jangka waktu umur bangunan. Untuk bangunan gedung negara, nilai penyusutan adalah sebesar 2% per tahun untuk bangunan gedung dengan minimum nilai sisa (salvage value) sebesar 20%; c. Penyusutan bangunan gedung negara yang dibangun dengan konstruksi semi permanen, penyusutannya sebesar 4% per tahun, sedangkan untuk konstruksi darurat sebesar 10% per tahun dengan minimum nilai sisa (salvage value) sebesar 20%. Pedoman Teknis Pembangunan BGN 2. KERUSAKAN BANGUNAN Kerusakan bangunan adalah tidak berfungsinya bangunan atau komponen bangunan akibat penyusutan/berakhirnya umur bangunan, atau akibat ulah manusia atau perilaku alam seperti beban fungsi yang berlebih, kebakaran, gempa bumi, atau sebab lain yang sejenis. Intensitas kerusakan bangunan dapat digolongkan atas tiga tingkat kerusakan, yaitu: a. Kerusakan ringan, Kerusakan ringan adalah kerusakan terutama pada komponen non-struktural, seperti penutup atap, langit-langit, penutup lantai dan dinding pengisi. b. Kerusakan sedang, Kerusakan sedang adalah kerusakan pada sebagian komponen non struktural, dan atau komponen struktural seperti struktur atap, lantai, dll. c. Kerusakan berat, Kerusakan berat adalah kerusakan pada sebagian besar komponen bangunan, baik struktural maupun non-struktural yang apabila setelah diperbaiki masih dapat berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya. Penentuan tingkat kerusakan adalah setelah berkonsultasi dengan Instansi Teknis setempat yang bertanggung jawab terhadap pembinaan bangunan gedung. 3. PERAWATAN BANGUNAN a. Perawatan bangunan adalah usaha memperbaiki kerusakan yang terjadi agar bangunan dapat berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya. Perawatan bangunan dapat digolongkan sesuai dengan tingkat kerusakan pada bangunan yaitu: 1) Perawatan untuk tingkat kerusakan ringan; 2) Perawatan untuk tingkat kerusakan sedang; 80 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 81 3) Perawatan untuk tingkat kerusakan berat. b. Besarnya biaya perawatan disesuaikan dengan tingkat kerusakannya, yang ditentukan sebagai berikut: 1) Perawatan tingkat kerusakan ringan, biayanya maksimum adalah sebesar 30% dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung baru yang berlaku, untuk tipe/klas dan lokasi yang sama; 2) Perawatan tingkat kerusakan sedang, biayanya maksimum adalah sebesar 45% dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung baru yang berlaku, untuk tipe/klas dan lokasi yang sama; 3) Perawatan tingkat kerusakan berat, biayanya maksimum adalah sebesar 65% dari harga satuan tertinggi pembangunan bangunan gedung baru yang berlaku, untuk tipe/klas dan lokasi yang sama. c. Untuk perawatan yang memerlukan penanganan khusus atau dalam usaha meningkatkan wujud bangunan, seperti melalui kegiatan renovasi atau restorasi (misal yang berkaitan dengan perawatan bangunan gedung bersejarah), besarnya biaya perawatan dihitung sesuai dengan kebutuhan nyata dan dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Instansi Teknis setempat. 4. PEMELIHARAAN BANGUNAN a. Pemeliharaan bangunan adalah usaha mem-pertahankan kondisi bangunan agar tetap memenuhi persyaratan laik fungsi atau dalam usaha me-ningkatkan wujud bangunan, serta menjaga terhadap pengaruh yang merusak; b. Pemeliharaan bangunan juga merupakan upaya untuk menghindari kerusakan komponen/elemen bangunan akibat keusangan/kelusuhan sebelum umurnya berakhir; Pedoman Teknis Pembangunan BGN c. Besarnya biaya pemeliharaan bangunan gedung tergantung pada fungsi dan klasifikasi bangunan. Biaya pemeliharaan per m 2 bangunan gedung setiap tahunnya maksimum adalah sebesar 2% dari harga standar per m 2 tertinggi yang berlaku. 82 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 83 BAB VI PENDAFTARAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA Penyelenggaraan bangunan gedung negara, sebagaimana diatur dalam penjelasan ayat (8) pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1994 tentang Rumah Negara, bahwa Bangunan Gedung dan Rumah Negara yang sudah selesai dibangun harus didaftarkan oleh Kepala Satuan Kerja Kementerian/lembaga kepada Menteri Pekerjaan Umum c.q. Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum. A. TUJUAN PENDAFTARAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA Pendaftaran bangunan gedung negara dilaksanakan dengan tujuan untuk: 1. Terwujudnya tertib pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara; 2. Mengetahui status kepemilikan dan penggunaan gedung dan rumah negara; 3. Mengetahui secara tepat dan rinci jumlah aset negara yang berupa gedung dan rumah negara; 4. Menyusun program kebutuhan pembangunan, pemeliharaan, dan perawatan bangunan gedung dan rumah negara; 5. Menyusun perhitungan kebutuhan biaya pemeliharaan dan perawatan; 6. Mengetahui besarnya pemasukan keuangan kepada negara dari hasil sewa, penjualan, dan penghapusan gedung dan rumah negara. Pedoman Teknis Pembangunan BGN B. SASARAN DAN METODE PENDAFTARAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA 1. SASARAN PENDAFTARAN Sasaran pendaftaran bangunan gedung negara adalah semua bangunan gedung yang dikelola oleh setiap Kementerian/Lembaga yang diadakan dengan sumber pembiayaan yang berasal dari APBN, BUMN dan/atau APBD, BUMD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah (bantuan luar negeri, tukar menukar atau hibah) yang menjadi aset negara. 2. METODE PENDAFTARAN Pendaftaran bangunan gedung negara diselenggarakan dengan cara pendaftaran oleh Kementerian/Lembaga c.q. kepala kantor/satuan kerja kepada Departemen Pekerjaan Umum c.q. Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya. C. PELAKSANAAN PENDAFTARAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA 1. Setiap Kepala Satuan Kerja Kementerian/Lembaga wajib mendaftarkan bangunan gedung termasuk rumah negara yang telah selesai dibangun kepada Menteri Pekerjaan Umum cq Direktur Penataan Bangunandan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya, kecuali untuk bangunan gedung dan rumah negara yang terletak di luar DKI Jakarta pendaftarannya dilakukan melalui Dinas Pekerjaan Umum/Dinas Teknis Provinsi yang bertanggungjawab dalam pembinaan bangunan gedung; 2. Kelengkapan Pendaftaran Bangunan Gedung Negara: a. Surat permohonan pendaftaran bangunan gedung dan rumah negara; b. Daftar inventaris bangunan gedung dan rumah negara; c. Kartu legger bangunan gedung dan rumah negara; d. Gambar legger dan situasi; e. Photo bangunan (tampak depan, samping, belakang, dan persfektif); f. Lampiran *): 84 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 85 1) Fotokopi Dokumen Pembiayaan/DIPA (otorisasi pembiayaan); 2) Fotokopi sertifikat atau bukti kepemilikan/hak atas tanah; 3) Kontrak atau Perjanjian Pemborongan; 4) Berita Acara Serah Terima I dan II; 5) As built drawings (gambar sesuai yang dilaksanakan); 6) Fotokopi Surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF). *) Untuk pendaftaran bangunan gedung dan rumah negara di luar DKI Jakarta butir f disimpan/ didokumentasikan di Dinas Pekerjaan Umum/Dinas Teknis Provinsi yang bertanggungjawab dalam pembinaan bangunan gedung. D. PRODUK PENDAFTARAN BANGUNAN GEDUNG NEGARA 1. Produk pendaftaran bangunan gedung dan rumah negara bagi pemilik bangunan berupa Surat Keterangan Bukti Pendaftaran Bangunan Gedung Negara (SKBPBGN) dengan penetapan Huruf Daftar Nomor (HDNo); 2. Surat Keterangan Bukti Pendaftaran Bangunan Gedung Negara (SKBPBGN) dan Huruf Daftar Nomor (HDNo) selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam perencanaan anggaran pemeliharaan dan perawatan. Pedoman Teknis Pembangunan BGN BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN TEKNIS 1. Pembinaan dan pengawasan teknis pembangunan bangunan gedung negara dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum c.q. Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya kepada Pengguna Anggaran, Penyedia Jasa Konstruksi, dan pemangku kepentingan (stake holders) Lainnya. 2. Pembinaan teknis dilaksanakan melalui bimbingan teknis untuk menggunakan pedoman teknis Ini, Standar Nasional Indonesia (SNI), Dan Pedoman/Petunjuk Teknis yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum. 3. Pembinaan teknis antara lain dilaksanakan melalui pemberian bantuan teknis informasi dan bantuan tenaga teknis untuk menjadi: Kepala Satuan Kerja/Pejabat Pembuat Komitmen, panitia, pengelola teknis, tim teknis maupun tenaga ahli teknis lainnya. 4. Pembinaan teknis juga dilakukan melalui pemberian bantuan kegiatan untuk pembangunan bangunan gedung yang bersifat strategis sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum. 5. Pengawasan teknis dilaksanakan dengan melakukan pengawasan terhadap penerapan pedoman teknis ini, Standar Nasional Indonesia, dan Pedoman Teknis yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum, dengan tujuan agar sumber daya yang berupa tenaga manusia, biaya, peralatan dan manajemen yang tersedia dapat digunakan secara efektif dan efisien. 6. Pembinaan dan pengawasan teknis pembangunan bangunan gedung negara dilaksanakan sebagai berikut: a. Untuk tingkat nasional dan wilayah DKI Jakarta dilaksanakan oleh Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya; 86 Pedoman Teknis Pembangunan BGN 87 b. Untuk wilayah di luar DKI Jakarta (kecuali bangunan gedung fungsi khusus) dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum/Dinas Teknis Provinsi yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung. 7. Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan/Dinas Pekerjaan Umum/Dinas Teknis Provinsi yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung melaporkan hasil pembinaan dan pengawasan teknis pembangunan bangunan gedung negara di wilayahnya kepada Menteri Pekerjaan Umum. Pedoman Teknis Pembangunan BGN BAB VIII P E N U T U P Apabila terdapat permasalahan di dalam penerapan Pedoman Teknis ini, para petugas pemerintah yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung negara dapat berkonsultasi kepada : a. Direktorat Penataan Bangunandan Lingkungan, Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum untuk tingkat nasional dan wilayah DKI Jakarta; atau b. Dinas Pekerjaan Umum/Dinas Teknis Provinsi yang bertanggung jawab dalam pembinaan bangunan gedung untuk wilayah provinsi, di luar DKI Jakarta. 88 TABEL A1 SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN GEDUNG PEMERINTAH/LEMBAGA TINGGI/TERTINGGI NEGARA SEDERHANA TIDAK SEDERHANA KHUSUS A PERSYARATAN TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN 1. Jarak Antar Bangunan minimal 3 m 2. Ketinggian Bangunan maksimum 2 lantai 3. Ketinggian Langit-langit min. 2,80 m min. 2,80 m sesuai fungsi 4. Koefisien Dasar Bangunan 5. Koefisien Lantai Bangunan 6. Koefisien Dasar Hijau 7. Garis sempadan 8. Wujud Arsitektur sesuai fungsi & kaidah arsitektur sederhana sesuai fungsi & kaidah arsitektur sesuai fungsi & kaidah arsitektur 9. Pagar Halaman **) 10. - parkir kendaraan - aksesibiltas - drainase - pembuangan sampah - pembuangan limbah - penerangan halaman tersedia drainase sesuai SNI yang berlaku tersedia tempat pembuangan sampah sementara tersedia penerangan halaman Sesuai ketentuan Peraturan Daerah setempat Sesuai ketentuan Peraturan Daerah setempat Sesuai ketentuan Peraturan Daerah setempat Sesuai ketentuan Peraturan Daerah setempat Berdasarkan pertimbangan keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan, serta ketentuan dalam Peraturan Daerah setempat tentang Bangunan atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan untuk lokasi yang bersangkutan. Dihitung berdasarkan kebutuhan sesuai fungsi bangunan dan SNI/ketentuan yang berlaku. tersedia sarana aksesibilitas bagi penyandang cacat maksimum 8 lantai (di atas 8 lantai harus mendapat rekomendasi Menteri Pekerjaan Umum KLASIFIKASI 89 minimal 3 m, untuk bangunan bertingkat dihitung berdasarkan pertimbangan keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan. NO. KETERANGAN URAIAN Menggunakan bahan dinding batu bata/bataco (1/2 batu) , besi, baja , kayu, dan bahan lainnya yang disesuaikan dengan rancangan wujud arsitektur bangunan. Kelengkapan Sarana dan Prasarana Lingkungan *) minimal 1 parkir kendaraan untuk 60 m 2 luas bangunan gedung tersedia sarana pengolahan limbah, khususnya untuk limbah berbahaya TABEL A1 SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN GEDUNG PEMERINTAH/LEMBAGA TINGGI/TERTINGGI NEGARA SEDERHANA TIDAK SEDERHANA KHUSUS KLASIFIKASI NO. KETERANGAN URAIAN B PERSYARATAN BAHAN BANGUNAN 1. Bahan Penutup Lantai keramik, vinil, tegel PC marmer lokal, keramik, vinil, kayu marmer lokal, keramik, vinil, kayu 2. Bahan Dinding Luar 3. Bahan Dinding Dalam 4. Bahan Penutup Plafond kayu-lapis dicat gipsum, kayu-lapis dicat gipsum, kayu-lapis dicat 5. Bahan Penutup Atap genteng, asbes, seng, sirap genteng keramik, aluminium gelombang dicat genteng keramik, aluminium gelombang dicat 6. Bahan Kosen dan Daun Pintu kayu dicat/aluminium kayu dipelitur, anodized aluminium kayu dipelitur, anodized aluminium C PERSYARATAN STRUKTUR BANGUNAN 1. Pondasi batu belah, kayu, beton-bertulang K-200 batu belah, kayu, beton-bertulang K-225 atau lebih batu belah, kayu, beton-bertulang K-225 atau lebih 2. Struktur Lantai (khusus untuk bangunan gedung bertingkat) beton bertulang K-200, baja, kayu klas kuat II beton bertulang K-225 atau lebih,baja,kayu klas kuat II beton bertulang K-225 atau lebih,baja,kayu klas kuat II 3. Kolom beton bertulang K-200, baja, kayu klas kuat II beton bertulang K-225 atau lebih,baja,kayu klas kuat II beton bertulang K-225 atau lebih,baja,kayu klas kuat II 4. Balok beton bertulang K-200, baja, kayu klas kuat II beton bertulang K-225 atau lebih,baja,kayu klas kuat II beton bertulang K-225 atau lebih,baja,kayu klas kuat II 5. Rangka Atap kayu klas kuat II, baja kayu klas kuat II, baja dilapis anti karat kayu klas kuat II, baja dilapis anti karat 6. Kemiringan Atap genteng min. 30 , sirap min.22.5, seng min 15 genteng min. 30 , sirap min.22.5, seng min 15 genteng min. 30 , sirap min.22.5, seng min 15 bata, batako diplester dicat/dilapis keramik, kaca, partisi gipsum Diupayakan menggunakan bahan bangunan setempat/ produksi dalam negeri, termasuk bahan bangunan sebagai bagian dari sistem pabrikasi komponen. Apabila bahan tersebut sukar diperoleh atau harganya tidak sesuai, dapat diganti dengan bahan lain yang sederajat tanpa mengurangi persyaratan fungsi dan mutu dengan pengesahan Instansi Teknis Setempat. bata, batako diplester dicat/dilapis keramik, kaca, partisi gipsum 90 bata, batako diplester dan dicat, kaca, partisi kayu lapis bata, batako diplester dicat/dilapis keramik, kaca, panil beton ringan bata, batako diplester dicat/dilapis keramik, kaca, panil beton ringan bata, batako diplester dan dicat, kaca Khusus untuk daerah gempa, harus direncanakan sebagai struktur bangunan tahan gempa. TABEL A1 SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN GEDUNG PEMERINTAH/LEMBAGA TINGGI/TERTINGGI NEGARA SEDERHANA TIDAK SEDERHANA KHUSUS KLASIFIKASI NO. KETERANGAN URAIAN D PERSYARATAN UTILITAS dan PRASARANA DAN SARANA DALAM BANGUNAN 1. Air Bersih PAM, sumur pantek PAM, sumur pantek PAM, sumur pantek 2. Saluran air hujan talang, saluran lingkungan talang, saluran lingkungan talang, saluran lingkungan 3. Pembuangan Air Kotor bak penampung bak penampung bak penampung 4. Pembuangan Kotoran bak penampung bak penampung bak penampung 5. Bak SeptikTank & resapan berdasarkan kebutuhan berdasarkan kebutuhan berdasarkan kebutuhan 6. Sarana Pengamanan thp. Bahaya Kebakaran *) 7. Sumber daya listrik *) 8. Penerangan penerangan alam dan buatan 9. Tata Udara 6-10% bukaan atau dengan tata udara buatan (AC*) 6-10% bukaan atau dengan tata udara buatan (AC*) 6-10% bukaan atau dengan tata udara buatan (AC*) dihitung sesuai SNI yang berlaku. 10. Sarana Transportasi Vertikal *) tidak diperlukan dihitung sesuai kebutuhan dan fungsi bangunan 11. Aksesibilitas bagi penyandang cacat*) 12. Telepon *) sesuai kebutuhan sesuai kebutuhan sesuai kebutuhan 13. Penangkal petir penangkal petir lokal penangkal petir lokal penangkal petir lokal E PERSYARATAN SARANA PENYELAMATAN 1. Tangga Penyelamatan (khusus untuk bangunan bertingkat) lebar minimal = 1, 20 m, dan bukan tangga putar lebar minimal = 1, 20 m, dan bukan tangga putar lebar minimal = 1, 20 m, dan bukan tangga putar jarak antar tangga maksimum 45 m (bila menggunakan sprinkler jarak bisa 1,5 kali) 2. Tanda Penunjuk Arah 3. Pintu 4 Koridor/selasar lebar min.=1,80 m lebar min.=1,80 m lebar min.=1,80 m *)pembiayaannya tidak termasuk dalam standar harga satuan tertinggi per-m 2 , dan dianggarkan tersendiri sebagai biaya non-standar. **)pembiayaannya tidak termasuk dalam standar harga satuan tertinggi per-m 2 bangunan gedung negara, dan dianggarkan tersendiri sesuai dengan harga satuan tertinggi per-m' bangunan pagar gedung negara jelas, dasar putih huruf hijau lebar min.=0,90 m, satu ruang minimal 2 pintu dan membuka keluar Sesuai ketentuan dalam Per.Men. PU No. 30/KPTS/2006, minimal ramp untuk bangunan klasifikasi sederhana. untuk bangunan di atas 4 lantai dapat menggunakan Lift sesuai SNI yang berlaku. 100-215 lux/m 2 , dihitungberdasarkan kebutuhan dan fungsi bangunan/fungsi ruangserta SNI yangberlaku Mengkuti ketentuan dalam Kep. Meneg. PU No. 10/KPTS/2000 dan Kep. Meneg. PU No. 11/KPTS/2000, serta Standar Nasional Indonesia (SNI) yang berlaku. 91 PLN, Generator (Penggunaan daya listrik harus memperhatikan prinsip hemat energi) TABEL A2 SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN RUMAH NEGARA KLASIFIKASI Khusus & Tipe A Tipe B Tipe C,D, dan E A PERSYARATAN TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN 1. Jarak Antar Bangunan 2. Ketinggian Bangunan 3. Ketinggian Langit-langit min. 2,70 m min. 2,70 m min. 2,70 m 4. Koefisien Dasar Bangunan 5. Koefisien Lantai Bangunan 6. Koefisien Dasar Hijau 7. Garis sempadan 8. Wujud Arsitektur sesuai fungsi rumah & kaidah arsitektur sesuai fungsi rumah & kaidah arsitektur sesuai fungsi & kaidah arsitektur sederhana 9. Pagar Halaman Biayanya mengikuti standar harga satuan per-m' pagar 10. Tandon Air Bersih min. 3 m 3 min. 2 m 3 min. 1 m 3 B PERSYARATAN BAHAN BANGUNAN 1. Bahan Penutup Lantai 2. Bahan Dinding 3. Bahan Penutup Plafond 4. Bahan Penutup Atap genteng, asbes, seng, sirap 5. kayu dipelitur/dicat kayu dicat kayu dicat 92 Sesuai ketentuan Peraturan Daerah setempat asbes semen/kayu-lapis dicat asbes semen/kayu-lapis dicat Bahan Kosen dan Daun Pintu/ Jendela NO. URAIAN bata, batako diplester dan dicat tembok marmer lokal, keramik, vinil, kayu genteng keramik berglazuur, asbes, seng, sirap gipsum, asbes semen/kayu-lapis dicat Sesuai ketentuan Peraturan Daerah setempat Sesuai ketentuan Peraturan Daerah setempat Sesuai ketentuan Peraturan Daerah setempat KETERANGAN minimal 3 m. untuk bangunan bertingkat dihitung berdasarkan pertimbangan keselamatan, kesehatan, dan kenyamanan. bata, batako diplester dan dicat tembok Menggunakan bahan dinding batu bata/bataco (1/2 batu), besi, baja , kayu, dan bahan lainnya yang disesuaikan dengan rancangan wujud arsitektur bangunan rumah negara. bata, batako diplester dan dicat tembok Terutama berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah setempat tentang Bangunan atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota untuk lokasi yang bersangkutan. Diupayakan menggunakan bahan bangunan setempat/ produksi dalam negeri, termasuk bahan bangunan sebagai bagian dari sistem pabrikasi komponen. keramik, vinil keramik, vinil, tegel PC genteng, asbes, seng, sirap TABEL A2 SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN RUMAH NEGARA KLASIFIKASI Khusus & Tipe A Tipe B Tipe C,D, dan E NO. URAIAN KETERANGAN C PERSYARATAN STRUKTUR BANGUNAN 1. Pondasi 2. 3. Kolom 4. Balok 5. Rangka Atap kayu klas kuat/awet II, baja kayu klas kuat/awet II, baja kayu klas kuat/awet II, baja 6. Kemiringan Atap genteng min. 30 , sirap min.22.5, seng min 15 genteng min. 30 , sirap min.22.5, seng min 15 genteng min. 30 , sirap min.22.5, seng min 15 D PERSYARATAN UTILITAS 1. Air Bersih PAM, sumur pantek PAM, sumur pantek PAM, sumur pantek 2. Saluran air hujan talang, saluran lingkungan talang, saluran lingkungan talang, saluran lingkungan 3. Pembuangan Air Kotor bak penampung bak penampung bak penampung 4. Pembuangan Kotoran bak penampung bak penampung bak penampung 5. Bak SeptikTank & resapan 6 m 3 5 m 3 2-4 m 3 6. Sarana Pengamanan BahayaKebakaran *) 7. Sumber daya listrik *) PLN, 2200-4400 VA PLN, 1350-2200 VA PLN, 450-1350 VA 8. Penerangan (alam & buatan) 100-215 lux/m 2 100-215 lux/m 2 100-215 lux/m 2 9. Tata Udara 6-10% bukaan atau dengan tata udara buatan (AC)*) 6-10% bukaan 6-10% bukaan 10. Telepon *) sesuai kebutuhan sesuai kebutuhan tidak disyaratkan 11. Penangkal petir penangkal petir lokal penangkal petir lokal tidak disyaratkan Untuk Rumah Negara yangdibangun dalam 1 kompleks menggunakan septiktank Komunal beton bertulang K-200, baja, kayu klas kuat/awet II beton bertulang K-200, baja, kayu klas kuat/awet II Mengkuti ketentuan dalam Kep. Meneg. PU No. 10/KPTS/2000 dan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang berlaku. beton bertulang K-200, baja, kayu klas kuat/awet II 93 Khusus untuk daerah gempa, harus direncanakan sebagai struktur bangunan tahan gempa. batu belah, kayu klas kuat/ awet II, beton-bertulang batu belah, kayu klas kuat/ awet II, beton-bertulang batu belah, kayu klas kuat/ awet II, beton-bertulang beton bertulang K-200, baja, kayu klas kuat/awet II Struktur Lantai (khusus untuk bangunan gedung bertingkat) beton bertulang K-200, baja, kayu klas kuat/awet II beton bertulang K-200, baja, kayu klas kuat/awet II beton bertulang K-200, baja, kayu klas kuat/awet II beton bertulang K-200, baja, kayu klas kuat/awet II beton bertulang K-200, baja, kayu klas kuat/awet II TABEL A2 SPESIFIKASI TEKNIS BANGUNAN RUMAH NEGARA KLASIFIKASI Khusus & Tipe A Tipe B Tipe C,D, dan E NO. URAIAN KETERANGAN E PERSYARATAN SARANA PENYELAMATAN 1. Tangga Penyelamatan (khusus untuk yang bertingkat) lebar min.=1, 20m lebar min.=1, 20m lebar min.=1, 20m 2. Tanda Penunjuk Arah Keluar tidak dipersyaratkan tidak dipersyaratkan tidak dipersyaratkan 3. Pintu lebar min.=0,90 m lebar min.=0,90 m lebar min.=0,90 m 4. Koridor/selasar lebar min.=1,80 m lebar min.=1,80 m lebar min.=1,80 m *) pembiayaannya tidak termasuk dalam standar harga satuan tertinggi per-m 2 , dan harus dianggarkan tersendiri sebagai biaya non-standar. --untuk bangunan rumah negara yang dibangun dalam bangunan gedung bertingkat banyak (rumah susun), maka ketentuan-ketentuan teknisnya mengikuti ketentuan teknis untuk bangunan gedung negara sesuai ketentuan yang berlaku. apabila bahan-bahan tersebut sukar diperoleh atau harganya tidak sesuai, dapat diganti dengan bahan lain yang sederajat tanpa mengurangi persyaratan fungsi dan mutu dengan pengesahan Instansi Teknis Setempat. -94 untuk Rumah Negara klas C, D, dan E, pelaksanaan pembangunannya disamping seperti ketentuan pada tabel tersebut diatas, dibangun berdasarkan "Dokumen Pelelangan Disain Prototip Daerah Setempat" yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya atau menggunakan disain Perum Perumnas yang telah disetujui oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya. Download PDF
Gallery Permen Pu No 45 Tahun 2007
Shrimp Farms Fire Or Palm Oil Changing Causes Of Proboscis
Perpustakaan Biro Hukum Kementerian Pekerjaan Umum
Aspek Hukum By Ridho Waldi On Prezi
Perpustakaan Biro Hukum Kementerian Pekerjaan Umum
Pdf Spesifikasi Umum 2018 Pdf Heri Yanuar Tabar
Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara Permen Pu
Permenpupr22 2018 Pembangunan Bgnrn
Spesifikasi Teknis Bangunan Gedung Negara Menurut Permen Pu
Cordoba Argentina Pdf Free Download
Ijgi Free Full Text Assessing Spatial Information Themes
Permen 45 2007
Analisa Biaya Proyek Bahan Ajar Diklat Ditjen Anggaran
Download Permen Pupr Nomor 22 Tahun 2018
Ppt Analisa Biaya Proyek Powerpoint Presentation Free
Pplp Cipta Karya Produk Hukum Pedoman
Permen Pu 45 2007
Permen Pu No 45 Tahun 2007 Standar Biaya Umum
Food And Nutrition Security In Indonesia A Strategic Review
Construction Safety Performance Assessment On Construction
Perpustakaan Biro Hukum Kementerian Pekerjaan Umum
New Modul 08 Al Manajemen Konstruksi Pembangunan Iplt Dan
Cara Mencari Interpolasi Linier Biaya Pembangunan Gedung
World Bank Document
Gusti Noviar Kusuma Januari 2016
0 Response to "Permen Pu No 45 Tahun 2007"
Post a Comment