Pp 74 Tahun 2011
Jawaban Soal Latihan Kup 12 2017
Pp 74-2011
-
Be the first to like this
- 1. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN Menimbang Mengingat za. :1. PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa untuk lebih memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat dalam memahami dan memenuhi hak serta kewajiban perpajakan perlu mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang—Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam humf a, dam untuk melaksanakan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pembahan Keempat Atas Undang—Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan; Pasal 5 ayat (2) Undar1g—Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang . . .
- 2. Menetapkan 2. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -2- Undang—Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagairnana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang—Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang—Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang—Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999); MEMUTUSKAN: : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pernerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Undang—Undang adalah Undang—Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang—Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pernerintah Pengganti Undang—Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang—Undang. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pernbayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. 3. Penelitian . . .
- 3. ti‘) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -3- Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-Iampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya. Verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan . kewajiban subjektif dan objektif atau penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak, rnenerbitkan/ rnenghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/ atau mengukuhkan/ mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan petugas Verifikasi atas hasil Verifikasi yang dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, dan berisi koreksi baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan rnenghirnpun dan mengolah data, keterangan, dan/ atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/ atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak atas temuan Perneriksaan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, clan berisi korcksi baik yang clisetujui maupun yang tidak disetujui. 8. Pemeriksaan . . .
- 4. 10. 11. 12. 13. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -4- Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak. Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) yang selanjutnya disebut MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B. Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan P3B oleh pejabat yang berwenang dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B sehubungan dengan MAP yang telah dilaksanakan. Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) yang selanjutnya disebut APA adalah perjanjian tertulis antara: a. Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak; atau b. Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas pajak pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B yang melibatkan Wajib Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang- Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya untuk menyepakati kn'teria—kriteria dan/ atau menentukan harga wajar atau laba wajar dimuka. BABII. ..
- 5. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -5- BAB II NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN, PENGUNGKAPAN KETIDAKBENARAN, (1) (2) (3) (4) DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK Bagian Kesatu Nomor Pokok Wajib Pajak Pasal 2 Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang—undangan di bidang perpajakan Wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepada Wajib Pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. Kewajiban mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap Wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau) dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta. Wanita kawin yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang— undangan di bidang perpajakan dan: a. tidak hidup terpisah; atau b. tidak melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis, hak dan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya. Wanita kawin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. (5) Dalam . . .
- 6. (5) (5) tit? ) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -6- Dalam hal Wanita kawin yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. Ketentuan Iebih Ianjut mengenai tata Cara pendaftaran dan pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wanita kawin diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 3 Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak dalam kedudukannya sebagai subjek pajak menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dari orang pribadi yang meninggalkan warisan tersebut dan diwakili oleh: a. b. C. (1) (2) (3) (4) salah seorang ahli waris; pelaksana wasiat; atau pihak yang mengurus harta peninggalan. Pasal 4 Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak, dapat melakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/ atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/ atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan Pemeriksaan atau Verifikasi. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/ atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu. Ketentuan lebih Ianjut mengenai tata cara penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/ atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Bagian . . .
- 7. (U (Q Q) N) U) QE PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -7- Bagian Kedua Surat Pemberitahuan Pasal 5 Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan: a. Verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pwah b. Pemeriksaan; atau c. Pemeriksaan Bukti Permulaan. Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan. Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau Iebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebeluni daluwarsa penetapan. Ketentuan Iebih Ianjut mengenai tata Cara pembetulan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 6 Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat: Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, atas Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) Undang- Undang, dengan menyampaikan pernyataan tertulis. (2) Pernyataan . . .
- 8. (2) (3) (4) (5) (6) 3}} PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA _8_' Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan yang menyatakan rugi fiskal berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan. Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. Jangka waktu 3 (tiga) bulan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung sejak tanggal stempel pos pengiriman, atau dalam hal diterima secara langsung, jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung sejak tanggal diterimanya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali oleh Wajib Pajak. ' Dalam hal Wajib Pajak tidak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak memperhitungkan rugi fiskal menurut surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penerbitan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, dan Surat Keputusan Pembetulan. Apabila Wajib Pajak tidak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak menghitung kembali kompensasi kerugian dalam Surat Pemberitahuan Tahunan secara jabatan berdasarkan rugi fiskal sesuai_ dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. (7) Ketentuan . . .
- 9. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA _g_ (7) Ketentuan Iebih Ianjut mengenai tata Cara pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Bagian Ketiga Pengungkapan Ketidakbenaran Pasal 7 (1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, yaitu: a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak Iengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sepanjang mulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (2) Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan: a. penghitungan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang dalam format Surat Pemberitahuan; b. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak; dan c. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pembayaran sanksi administrasi berupa denda sebesar 150% (seratus lima puluh persen). (3) Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang dilakukan-Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, terhadap Wajib Pajak tidak dilakukan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. (4) Apabila . . .
- 10. (4) (5) (1) (2) (3) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -10- Apabila setelah Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) masih ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut, terhadap Wajib Pajak tetap dapat dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Ketentuan Iebih Ianjut mengenai tata Cara pengungkapan ketidakbenaran perbuatan oleh Wajib Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 8 Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Undang—Undang, sepanjang pemeriksa pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan. Laporan tersendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan: . . a. penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format Surat Pemberitahuan; b. Surat Setoran Pajak atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan c. Surat Setoran Pajak atas pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen). Untuk membuktikan kebenaran pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil Pemeriksaan tersebut diterbitkan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut serta memperhitungkan pokok pajak yang telah dibayar. (4) Dalam . . .
- 11. (4) (5) (6) (7) (8) (1) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -11- Dalam ha] hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, surat ketetapan pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan yang sebenamya tersebut. Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)~ Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan bukti pembayaran sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) terkait dengan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan. Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (8) huruf i Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. Ketentuan Iebih Ianjut mengenai tata cara mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Bagian Keempat Tata Cara Pembayaran Pajak Pasal 9 Wajib Pajak wajib- membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran. (2) Pembayaran . . .
- 12. (2) (3) (1) (2) (3) (1) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -12- Pembayaran dan penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan dengan menggunakan sarana administrasi Iain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak. Ketentuan mengenai sarana administrasi Iain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. BAB III PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN Pasal 10 Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen Iain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line Wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan. Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan para pihak yang rnempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak, kewajiban menyimpan dokumen Iain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen dan/ atau informasi tambahan untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang rnempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelazirnan usaha, Ketentuan Iebih Ianjut mengenai jenis dokumen dan/ atau informasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata Cara pengelolaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 11 Wajib Pajak yang diperiksa wajib: a. memperlihatkan dan/ atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen Iain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau obj ek yang terutang paj ak; b. memberikan . . .
- 13. (2) (3) (4) (5) (5) (7) ‘Ir PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA . .13_ b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; dan/ atau c. memberikan keterangan lain yang diperlukan. Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan Iain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan. Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang diperiksa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajaknya dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang—undangan di bidang perpajakan. Dalam hal Wajib Pajak badan yang diperiksa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajaknya dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang— undangan di bidang perpajakan. Dalam hal penghasilan kena pajak dihitung secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemeriksa pajak dapat mempertimbangkan dokumen yang diberikan oleh Wajib Pajak. Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terbatas pada: a. dokumen yang terkait dengan penghitungan peredaran usaha atau penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan neto secara jabatan; dan b. dokumen kredit pajak Penghasilan. sebagai pengurang Paj ak Pasal 12 . . .
- 14. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -14- Pasal 12 (1) Apabila pada saat Pemeriksaan ditemukan adanya indikasi (2) (3) tindak pidana di bidang perpajakan, Pemeriksaan ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Dalam hal Pemeriksaan ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksaan ditangguhkan sampai dengan: a. Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan karena Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang- Undang; Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang- Undang; Pemeriksaan Bukti Permulaan dihentikan karena Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia; Pemeriksaan Bukti Permulaan dihentikan karena tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan; Penyidikan dihentikan sesuai dengan ketentuan Pasal 44A Undang—Undang atau Pasal 44B Undang—Undang; atau Putusan Pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Paj ak. Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilanjutkan apabila: 8.. Pemeriksaan Bukti Permulaan dihentikan karena Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia; Pemeriksaan Bukti Permulaan dihentikan karena tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan; Penyidikan dihentikan karena Pasal 44A Undang- Undang; atau d. Putusan . . .
- 15. (4) (5) (1) (2) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -15- d. Putusan Pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Paj ak. Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihentikan apabila: a. Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan karena Wajib Pajak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) Undang- Undang; b. Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan karena terhadap Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang—Undang; atau c. Penyidikan dihentikan karena Pasal 44B Undang- Undang. Direktur Jenderal Pajak masih dapat melakukan Pemeriksaan apabila setelah Pemeriksaan dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdapat data selain yang diungkapkan dalam Pasal 8 ayat (3) Undang—Undang atau Pasal 44B Undang—Undang. Pasal 13 Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (I) huruf cl Undang—Undang dapat membatalkan surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan Pemeriksaan atau Verifikasi yang dilaksanakan tanpa melalui prosedur: a. penyampaian surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil Verifikasi, dan/ atau b. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi. Surat ketetapan pajak yang dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), proses Pemeriksaan atau Verifikasi dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur yang belum dilaksanakan, berupa: a. penyampaian surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil Verifikasi; dan/ atau b. Pembahasan . . .
- 16. (3) (1) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -15- b. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi. Pemeriksaan yang dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang—Undang, dilanjutkan dengan penerbitan: a. surat ketetapan pajak sesuai dengan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan apabila jangka waktu 12 bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang—Undang belum terlewati; atau b. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sesuai dengan Surat Pemberitahuan apabila jangka waktu 12 bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang—Undang terlewati. BAB IV PENETAPAN DAN KETETAPAN Pasal 14 Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan: a. hasil Verifikasi terhadap keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Undang—Undang; b. hasil Pemeriksaan terhadap: 1) Surat Pemberitahuan; atau 2) kewajiban perpajakan Wajib Pajak karena Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Undang—Undang, dan setelah ditegur secara tertulis Surat Pemberitahuan tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; c. hasil. . .
- 17. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -17- c. hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan terhadap Wajib Pajak yang melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 13A Undang—Undang. (2) Keterangan Iain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan data konkret yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak yang berupa: a. hasil k1arifikasi/ konfirmasi faktur pajak; b. bukti pemotongan Pajak Penghasilan; c. data perpajakan terkait dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Undang—Undang dan setelah ditegur secara tertulis Surat Pemberitahuan tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; atau d. bukti transaksi atau data perpajakan yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak. (3) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil Verifikasi terhadap Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau (tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Pasal 15 (1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan: a. hasil Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang terhadap data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang, termasuk data yang semula belum terungkap; b. hasil Verifikasi, Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang atas data baru berupa Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap Wajib Pajak yang dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara; c. hasil . . .
- 18. (2) (3) (4) (5) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA _ 13 - c. hasil Verifikasi atas data baru berupa hasil klarifikasi/ konfirmasi faktur paj ak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a, yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang; atau d. hasil Verifikasi atas keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) Undang—Undang. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Verifikasi, Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang terhadap Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Verifikasi, Pemeriksaan atau Pemeriksaan ulang terhadap Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tetap dapat diterbitkan setelah jangka waktu 5 (lima) tahun terlampaui sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. Jumlah pajak yang kurang dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan hasil Verifikasi atas keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d harus sesuai dengan jumlah kekurangan bayar berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak. Pasal 16 . . .
- 19. (1) (2) (1) lit) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -19- Pasal 16 Jurnlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) atau ayat (3) ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar tersebut. Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar tersebut. Pasal 17 Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil berdasarkan hasil Pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak. Pasal 18 Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar berdasarkan: a. hasil Verifikasi terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) Undang—Undang terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; b. hasil Pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar Iebih besar daripada jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) Undang- Undang; atau c. hasil Pemeriksaan terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang—Undang terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar Iebih besar daripada jumlah paj ak yang terutang. (2) Surat . . .
- 20. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -20- (2) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) masih dapat diterbitkan lagi apabila terdapat data baru, termasuk data yang semula belum terungkap, apabila ternyata pajak yang Iebih dibayar jumlahnya Iebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan. Pasal 19 Penerbitan surat ketetapan pajak berdasarkan hasil Verifikasi harus dilakukan melalui Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, kecuali penerbitan: a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Verifikasi atas keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf d; dan b. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar berdasarkan hasil Verifikasi terhadap kebenaran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a. Pasal 20 (1) Hasil Verifikasi, Pemeriksaan, Pemeriksaan" ulang, atau Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, dan Pasal 18, dituangkan dalam laporan hasil Verifikasi, laporan hasil Pemeriksaan, laporan hasil Pemeriksaan ulang atau laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan. (2) Berdasarkan laporan hasil Verifikasi, laporan hasil Pemeriksaan, laporan hasil Pemeriksaan ulang atau laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat nota penghitungan. (3) Berdasarkan nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan paj ak. Pasal 2 1 Ketentuan Iebih Ianjut mengenai tata Cara Verifikasi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 22 . . .
- 21. (1) (2) vii’? * PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -21- r‘ Pasal 22 Dalam hal ketetapan dan/ atau keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam melaksanakan peraturan perundang—undangan di bidang perpajakan diketahui rusak, tidak terbaca, hilang atau tidak dapat ditemukan Iagi, karena keadaan di luar kekuasaannya, Direktur Jenderal Pajak karena, jabatannya, menerbitkan kembali ketetapan dan/ atau keputusan sebagai pengganti ketetapan dan/ atau keputusan yang rusak, tidak terbaca, hilang atau tidak dapat ditemukan lagi tersebut. Ketetapan dan/ atau keputusan yang diterbitkan kembali oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan ketetapan dan/ atau keputusan yang telah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Pasal 23 Ketentuan Iebih Ianjut mengenai tata cara penerbitan surat ketetapan pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. (1) (2) Pasal 24 Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/ atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/ atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila diperoleh data dan/ atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak. Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/ atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelurn dan/ atau setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, apabila setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, diperoleh data dan/ atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak. (3) Surat . . .
- 22. (3) (4) (1) (2) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -22- Surat ketetapan pajak dan/ atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/ atau ayat (2) diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, kecuali terhadap Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya yang dapat mengakibatkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan Iebih Ianjut mengenai tata cara penerbitan surat ketetapan pajak dan/ atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 25 Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak berdasarkan: a. hasil Penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang; b. hasil Penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D ayat (1) Undang—Undang; atau c. hasil Penelitian terhadap kebenaran pembayaran pajak atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang—Undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984 dan perubahannya. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lama: a. 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara Iengkap untuk Pajak Penghasilan; atau b. 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara Iengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai. Pasal 26 . . .
- 23. (1) (2) (1) (2) 43% air PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -23- Pasal 26 Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984 dan perubahannya dikembalikan, dengan ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang—Undang. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang—Undang Pajak Pertambahan Nilai Tahun 1984 dan perubahannya. Pasal 27 Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (3) Undang—Undang dicabut penetapannya sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dalam hal Wajib Pajak: a. dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka atau tindakan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; b. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut—turut; c. terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender; atau d. terlambat menyampaikan Surat Tahunan. Pemberitahuan Ketentuan Iebih Ianjut mengenai tata cara pencabutan penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. BABV. ..
- 24. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -24- BAB V KEBERATAN, PEMBETULAN, PEN GURANGAN, PENGHAPUSAN, PEMBATALAN, DAN GUGATAN (1) (2) (3) Bagian Kesatu Keberatan Pasal 28 Keberatan atas surat ketetapan pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang—Undang harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal: a. surat ketetapan pajak dikirim; atau b. pemotongan atau pemungutan pajak, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di Iuar kekuasaannya. Keadaan di Iuar kekuasaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bencana alam; b kebakaran; c. huru—hara/ kerusuhan massal; d diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan yang mengakibatkan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tertera dalam surat ketetapan pajak berubah, kecuali Surat Keputusan Pembetulan yang diterbitkan akibat hasil Persetujuan Bersama; atau e. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal terdapat penerbitan Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan Wajib Pajak belum mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak masih dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak tersebut dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim Surat Keputusan Pembetulan. Pasal 29 . . .
- 25. (1) (2) (3) (1) (2) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA _ 25 _ Pasal 29 Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi isinya tidak benar atau tidak Iengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak. Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak tidak dapat mengajukan: a. keberatan; b. pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi; dan c. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. ' Pasal 30 Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur J enderal Paj ak atas suatu: a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; c. Surat Ketetapan Pajak N ihil; d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang—undangan di bidang perpaj akan. Wajib Pajak yang mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengajukan permohonan: a. pengurangan . . .
- 26. (3) (4) (5) (1) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -25- a. pengurangan, penghapusan, atau pembatalan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan; b. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar; atau c. pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan atau Verifikasi yang dilaksanakan tanpa: 1) penyampaian surat Pemeriksaan atau surat Verifikasi; atau 2) Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dengan Wajib Pajak. Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum tanggal diterima surat pemberitahuan untuk hadir oleh Wajib Pajak. Wajib Pajak yang mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar. pemberitahuan hasil pemberitahuan hasil Ketentuan Iebih Ianjut mengenai tata cara pencabutan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 3 1 Dalam hal pengajuan keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan" pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (9) Undang—Undang. (2) Sanksi . . .
- 27. (2) (3) (4) (1) (2) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -27- Sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam hal keputusan keberatan atas pengajuan keberatan Wajib Pajak menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar. Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) atau pengajuan keberatan tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak karena tidak memenuhi persyaratan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (3) atau ayat (3a) Undang-Undang, Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan. Dalam hal Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak. Pasal 32 Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5d) Undang—Undang dalam hal Putusan Banding: a. menolak; b. mengabulkan sebagian; c. menambah pajak yang harus dibayar; atau d. membetulkan kesalahan tulis dan/ atau kesalahan hitung yang menambah pajak yang masih harus dibayar. Dalam hal Putusan Banding berupa tidak dapat diterima, pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Pasal 33 . . .
- 28. air PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -28- Pasal 33 (1) Direktur J enderal Pajak Wajib menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang—Undang. (2) Jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sebagaimana (1) dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal surat pengajuan keberatan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak sampai dengan tanggal Surat Keputusan Keberatan diterbitkan. Bagian Kedua Pembetulan Pasal 34 Atas permohonan Wajib Pajak, atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/ atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang—undangan di bidang perpajakan. Kesalahan hitung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. kesalahan yang berasal dari penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan/ atau pembagian suatu bilangan; atau b. kesalahan hitung yang diakibatkan oleh adanya penerbitan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, surat keputusan atau putusan yang terkait dengan bidang perpajakan. (3) Dalam . . .
- 29. (3) (4) (5) (1) graft? PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -29- Dalam hal terdapat kekeliruan pengkreditan Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai pada surat keputusan atau surat ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembetulan atas kekeliruan tersebut hanya dapat dilakukan apabila terdapat perbedaan besarnya Pajak Masukan yang menjadi kredit pajak dan Pajak Masukan tersebut tidak rnengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ketentuan Iebih Ianjut mengenai tata cara pembetulan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Bagian Ketiga Pengurangan, Penghapusan, atau Pembatalan Pasal 35 Direktur Jenderal Pajak karena permohonan Wajib Pajak dapat: jabatan atau atas mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak, atau bukan karena kesalahannya; 8. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar; mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang—Undang, yang tidak benar; atau membatalkan surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan atau Verifikasi, yang dilaksanakan tanpa: hasil h asil pemberitahuan pemberitahuan surat atau surat 1) penyampaian Pemeriksaan Verifikasi; atau 2) Pembahasan . . .
- 30. (2) (3) (4) (5) (1) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA _ 30 _ 2) Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dengan Wajib Pajak. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak apabila: a. Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak; atau b. Wajib Pajak mengajukan keberatan tetapi keberatannya tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak karena tidak memenuhi persyaratan. Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf b tidak dapat diajukan dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3). Pada saat penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Direktur Jenderal Pajak dapat mempertimbangkan buku, catatan atau dokumen yang diberikan dalam proses penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan paj ak yang tidak benar tersebut. Ketentuan Iebih Ianjut mengenai tata cara pengurangan, penghapusan, dan pembatalan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 36 Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan- peraturan perundang—undangan di bidang perpaj akan dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang—Undang. (2) Dalam . . .
- 31. (2) (3) (4) ‘ill PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -31- Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan terhadap sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (2a) Undang—Undang, yang dikenakan melebihi jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan, atas permohonan tersebut dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sehingga besarnya sanksi administrasi sebesar 2% (dua persen) per bulan dikenakan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan terhadap sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2a) dan ayat (2b) Undang—Undang atau Pasal 19 ayat (1) Undang—Undang, ketentuan pada ayat (2) berlaku untuk permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak setelah tanggal 31 Desember 2011 sampai dengan tanggal 31 Desember 2013. Direktur Jenderal Pajak secara jabatan mengurangkan atau membatalkan sanksi administrasi dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sebagai akibat dari penerbitan surat ketetapan pajak yang diajukan keberatan, banding, peninjauan kembali, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak dan telah diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, Putusan Peninjauan Kembali, Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak. Bagian Keempat Gugatan Pasal 37 Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan yang diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang- Undang meliputi keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak selain: 8.. b. surat ketetapan pajak yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan; Surat Keputusan Pembetulan; c. Surat . . .
- 32. E3‘(l°5"’. ":°- (1) (2) (3) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -32- Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya telah sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan; Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi; Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi; Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; dan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Pasal 38 Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang—undangan di bidang perpajakan dapat diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf d Undang—Undang. Surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak didasarkan pada: a. hasil Verifikasi; b. hasil Pemeriksaan; c. hasil Pemeriksaan ulang; atau d. hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan terkait dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A Undang—Undang. Termasuk dalam pengertian surat ketetapan pajak yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat ketetapan pajak yang menetapkan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak tidak sesuai dengan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak ‘atau Tahun Pajak yang dilakukan Verifikasi, Pemeriksaan, Pemeriksaan ulang, atau Pemeriksaan Bukti Permulaan. Pasal 39.. .
- 33. (1) (2) (1) (2) 5} PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -33- Pasal 39 Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang—undangan di bidang perpajakan dapat diajukan gugatan kepada badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf d Undang—Undang. Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya tidak didahului dengan penyampaian surat pemberitahuan untuk hadir kepada Wajib Pajak. Pasal 40 Dalam hal terdapat Putusan Gugatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti Putusan Gugatan dengan menerbitkan kembali surat ketetapan pajak sesuai dengan prosedur atau tata Cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) atau ayat (3). Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menerbitkan kembali surat ketetapan pajak yang terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang—Undang sebagai akibat dari Putusan Gugatan, penerbitan kembali surat ketetapan pajak tersebut dilakukan dengan ketentuan: a. apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang—Undang belum terlewati, surat ketetapan pajak diterbitkan sesuai dengan prosedur atau tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (2) dan ayat (3); dan b. apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang—Undang terlewati, Surat. Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sesuai dengan Surat Pemberitahuan. Pasa141. . .
- 34. (1) (2) (3) at PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -34- Pasal 4 1 Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menerima Putusan Gugatan atas Surat Keputusan Keberatan yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata- cara penerbitan, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti Putusan Gugatan tersebut dengan menerbitkan kembali Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan prosedur atau tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2). Dalam hal badan peradilan pajak mengabulkan gugatan Wajib Pajak atas surat dari Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) Undang—Undang, Direktur Jenderal Pajak menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam jangka Waktu paling lama 12 (dua belas) bulan. Jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung sejak Putusan Gugatan diterima oleh Direktur J enderal Pajak. Bagian Kelima Surat Pelaksanaan Putusan Banding, Putusan Peninjauan Kembali, dan Putusan Gugatan (1) (2) (3) Pasal 42 Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan Putusan Banding setelah menerima Putusan Banding. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan Putusan Peninjauan Kembali setelah menerima Putusan Peninj auan Kembali. Direktur J enderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan Putusan Gugatan setelah menerima Putusan Gugatan. BABVI. ..
- 35. (1) (2) (3) (4) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -35- BAB VI IMBALAN BUNGA Pasal 43 Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A Undang—Undang, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Apabila pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Nihil dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dikabulkan sebagian atau seluruhnya dan menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A Undang—Undang, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Apabila terdapat Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang mengabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (la) Undang—Undang, kelebihan pembayaran dimaksud dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Imbalan bunga juga diberikan atas pembayaran Iebih sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang—Undang dan/ atau bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang- Undang berdasarkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Paj ak. (5) Imbalan . . .
- 36. PRESIDEN REPUBLIK iNDONE5|A -36- (5) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan terhadap: (6) a. kelebihan pembayaran akibat Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan kembali atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, dan telah dibayar sebelum mengajukan keberatan; atau kelebihan pembayaran akibat Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas jumlah pajak yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, namun dibayar sebelum pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali, atau sebelum diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. Pelaksanaan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, imbalan bunga diberikan apabila terhadap Surat Keputusan Keberatan tidak diajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak; dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, imbalan bunga diberikan apabila terhadap Putusan Banding tidak diajukan permohonan Peninj auan Kembali ke Mahkamah Agung; atau dalam hal atas Putusan Banding diajukan permohonan Peninjauan Kembali, imbalan bunga diberikan apabila Putusan Peninjauan Kembali telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak dari Mahkamah Agung. Pasal 44 . . .
- 37. (1) (2) (3) ta’ 1%}? PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -37- Pasal 44 Dalam hal Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) yang seluruhnya tidak disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang diterbitkan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan Iebih bayar, kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruhnya dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan yang dihitung dari jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. Dalam hal Surat Ketetapan Pajak Nihil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) yang tidak disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang diterbitkan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan Iebih bayar, kelebihan pembayaran pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruhnya dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan yang dihitung dari jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. Pasal 45.. .
- 38. {1} PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -38- Pasal 45 Apabila permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya, selama pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya yang telah dibayar menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A Undang—Undang, kelebihan pembayaran pajak tersebut dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, yang dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan tanggal diterbitkannya Putusan Banding. BAB VII PENAGIHAN Pasal 46 (1) Ketentuan mengenai jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) Undang—Undang, Pasal 18 ayat (1) Undang—Undang, Pasal 19 ayat (1) Undang—Undang, Pasal 20 ayat (1) Undang—Undang, Pasal 21 ayat (4) Undang—Undang, dan Pasal 26 ayat (3) Undang—Undang termasuk pajak yang seharusnya tidak dikembalikan. (2) Surat pelaksanaan Putusan Banding atau surat pelaksanaan Putusan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) atau ayat (2) juga diterbitkan akibat Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan pembayaran atas pajak yang seharusnya tidak dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 47 Dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran, jangka Waktu hak mendahulu selama 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) huruf b Undang—Undang, dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan atau sejak tanggal jatuh tempo angsuran terakhir. Pasal 48 . . .
- 39. (1) (2) (3) (4) (5) (6) ‘er ‘fir & PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -39- Pasal 48 Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan dan tidak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak yang belum dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) Undang—Undang dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak yang belum dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) Undang—Undang dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) Undang—Undang. Dalam hal Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3a) Undang—Undang. Dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam jangka Waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), pajak yang masih harus dibayar tersebut ditagih dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran. Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). (7) Dalam . . .
- 40. (7) (8) (9) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -40- Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengaj uan keberatan. Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan permohonan banding. Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding. (10) Apabila sanksi administrasi dalam Surat Tagihan Pajak dikenakan sebagai akibat diterbitkan surat ketetapan pajak, yang pajak terutangnya tidak disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi dan atas surat ketetapan pajak diajukan keberatan dan/ atau banding, tindakan penagihan atas Surat Tagihan Pajak tersebut ditangguhkan sampai dengan surat ketetapan pajak tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap. (11) Ketentuan Iebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan penagihan pajak atas jumlah pajak yang masih harus dibayar diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. BAB VIII. ..
- 41. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -41- BAB VIII KUASA WAJIB PAJAK, RAHASIA J ABATAN, DAN PERMINTAAN KETERANGAN KEPADA PIHAK KETIGA (1) (2) (3) (4) (1) Pasal 49 Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- unclangan di bidang perpajakan. Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi konsultan pajak dan bukan konsultan pajak. Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. menguasai ketentuan peraturan perundang—undangan di bidang perpajakan; b. memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa; c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; d. telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir; dan e. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit memuat: a. nama, alamat, dan tandatangan di atas meterai serta Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak pemberi kuasa; b. nama, alamat, dan tandatangan serta Nomor Pokok Wajib Pajak penerima kuasa; dan c. hak dan/ atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan. Pasal 50 Seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 tidak dapat rnelirnpahkan kuasa yang diterima dari Wajib Pajak kepada orang lain. (2) Dalam . . .
- 42. (2) (3) (1) (2) (3) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -42- Dalam melaksanakan hak dan/ atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan, dengan surat penunjukan, seorang kuasa hanya dapat meminta orang lain atau karyawannya untuk menyampaikan dan/ atau menerima dokumen perpajakan tertentu yang diperlukan kepada dan/ atau dari pegawai Direktorat Jenderal Pajak. Orang lain atau karyawan yang ditunjuk oleh seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus menyerahkan surat penunjukan kepada pegawai Direktorat Jenderal Pajak pada saat melaksanakan tugasnya. Pasal 51 Seorang kuasa hanya mempunyai hak dan/ atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan Wajib Pajak sesuai dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) huruf b. Dalam melaksanakan hak dan/ atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu, seorang kuasa Wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang—undangan di bidang perpajakan. Seorang kuasa tidak dapat melaksanakan hak dan/ atau kewajiban Wajib Pajak yang dikuasakan kepadanya apabila dalam melaksanakan hak dan/ atau memenuhi kewajiban perpajakannya: a. melanggar ketentuan peraturan perundang—undangan di bidang perpajakan; b. menghalang—halangi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang—undangan di bidang perpajakan; atau c. dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindak pidana lainnya. Pasal 52 Ketentuan Iebih Ianjut mengenai syarat serta hak dan kewajiban konsultan pajak yang . dapat ditunjuk sebagai kuasa diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 53 . . .
- 43. (1) (2) (3) (4) (5) (6) "3: it E? PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -43- Pasal 53 Setiap pejabat dan tenaga ahli dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya. Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat dan/ atau tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) supaya memberikan keterangan dan/ atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak tertentu yang ditunjuk dalam izin tertulis Menteri Keuangan tersebut. Pihak tertentu yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2): a. hanya dapat meminta keterangan dan/ atau bukti tertulis mengenai keterangan dan/ atau bukti tertulis yang tercantum dalam izin tertulis Menteri Keuangan; b. wajib merahasiakan segala keterangan dan/ atau bukti tertulis yang diketahui atau diperoleh dari Pejabat dan/ atau Tenaga Ahli; dan c. hanya dapat memanfaatkan keterangan dan/ atau bukti tertulis sesuai dengan tujuan diajukannya permintaan keterangan dan/ atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak. Apabila pihak tertentu yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak tertentu tersebut dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pejabat dan/ atau tenaga ahli yang memberikan keterangan dan/ atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang—undangan di bidang perpajakan, dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Ketentuan Iebih Ianjut mengenai tata cara pemberian izin tertulis kepada pejabat dan/ atau tenaga ahli diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 54 . . .
- 44. (1) (2) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -44- Pasal 54 Dalam pelaksanaan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, penagihan pajak, atau proses keberatan, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta keterangan atau bukti kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) Undang- Undang. Dalam hal pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, penagihan pgtjak, dan proses keberatan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan berdasarkan permintaan secara tertulis dari: a. Direktur Jenderal Pajak; atau b. Menteri Keuangan kepada Gubernur Bank Indonesia dalam hal keterangan atau bukti yang diminta terikat kerahasiaan sebagaimana diatur dalam Undang—Undang di bidang perbankan. BAB IX PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA Pasal 55 Pemerintah Indonesia terikat P3B yang dilakukan dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B. (1) (9) Pasal 56 Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pertukaran informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan dengan otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B sesuai dengan ketentuan P3B yang berlaku. Direktur Jenderal Pajak dapat meminta informasi kepada Wajib Pajak atau pihak lain mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan yang akan dipertukarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Wajib. . .
- 45. (3) (4) (1) (2) (3) (4) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -45- Wajib Pajak atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Wajib memenuhi permintaan informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perpajakan. Dalam hal Wajib Pajak atau pihak lain tidak memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak atau pihak lain dikenai sanksi sesuai dengan Undang- Undang. Pasal 57 Pelaksanaan MAP dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak dan otoritas pajak negara atau yurisdiksi mitra P3B. Permintaan pelaksanaan MAP dapat diajukan oleh: a. Wajib Pajak melalui Direktur Jenderal Pajak; b. Direktur Jenderal Pajak; atau c. otoritas pajak negara mitra P3B atau yurisdiksi mitra P3B, dalam batas Waktu pelaksanaan MAP ditetapkan dalam P3B. Permintaan pelaksanaan IMAP oleh pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan bersamaan dengan permohonan Wajib Pajak untuk mengajukan: sebagaimana a. keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang~Undang; b. permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Undang—Undang; atau c. permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang- Undang. Direktur (Jenderal Pajak berwenang untuk meneliti permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf c untuk menentukan dapat atau tidaknya dilaksanakan MAP. (5) Dalam . . .
- 46. (5) (6) (7) (8) (1) (2) (3) ‘A’ PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA _46_ Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama setelah surat ketetapan pajak diterbitkan tetapi tidak diajukan keberatan atau tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan atas surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang—Undang. Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan tetapi tidak diajukan banding atau Wajib Pajak mengajukan banding tetapi dicabut, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan atas Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang—Undang. Apabila pelaksanaan MAP dilakukan bersamaan dengan proses banding dan sampai dengan Putusan Banding diucapkan pelaksanaan MAP belum menghasilkan Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menghentikan MAP. Dalam hal pelaksanaan MAP tidak menghasilkan Persetujuan Bersama, berlaku surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. Pasal 58 APA berlaku dan mengikat bagi: a. Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak; atau b. Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak dan otoritas paj ak negara mitra P3B atau yurisdiksi mitra P3B, selama j angka Waktu APA. Direktur Jenderal Pajak tidak dapat melakukan koreksi atas ha1—hal yang disepakati dalam APA. Dalam hal proses APA tidak menghasilkan kesepakatan antara pihak—pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokumen Wajib Pajak yang dipergunakan selama proses penentuan APA harus dikembalikan sepenuhnya kepada Wajib Pajak. (4) Dokumen . . .
- 47. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -47- (4) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat Ketentuan digunakan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Pasal 59 lebih Ianjut mengenai tata cara pelaksanaan pertukaran informasi, MAP, dan APA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. BAB X PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN DAN PENYIDIKAN Pasal 60 (1) Berdasarkan hasil pengembangan dan analisis terhadap (2) (3) (4) (5) infomasi, data, laporan, dan pengaduan, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43A Undang—Undang. Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertutup atau secara terbuka. Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dilakukan tanpa pemberitahuan kepada Wajib Pajak. Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak. Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, pejabat yang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka berwenang: a. meminjam dan memeriksa buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Paj ak, atau objek yang terutang pajak; b. mengakses dan/ atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik; c. memasuki . . .
- 48. (5) (7) g. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -43- memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/ atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/ atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; melakukan penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/ atau barang tidak bergerak; meminta keterangan dan/ atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan melalui Direktur J enderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54; meminta keterangan kepada pihak yang berkaitan dan dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan; dan melakukan tindakan lain yang diperlukan dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan. Ketentuan mengenai tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Pemeriksaan bukti permulaan harus ditindaklanjuti dengan: a. Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dalam hal ditemukan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan; pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak bahwa Wajib Pajak tidak dilakukan Penyidikan dalam hal Wajib Pajak telah mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan Pasal 13A Undang—Undang; penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia; atau penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal tidak ditemukan adanya bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan. Pasal61.. .
- 49. (1) (2) (3) (4) (1) (2) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -49- Pasal 6 I Dalam hal berdasarkan Pemeriksaan Bukti Permulaan diduga terjadi tindak pidana di bidang perpajakan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jenderal Pajak melakukan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 Undang- Undang. Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) Undang- Undang, penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain. ' Jenis bantuan yang diminta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. bantuan teknis; b. bantuan taktis; c. bantuan upaya paksa; dan/ atau d. bantuan konsultasi dalam rangka penyidikan. Aparat penegak hukum lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memberikan bantuan sesuai dengan permintaan berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan. Pasal 62 Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dalam jangka Waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. Permintaan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila Wajib Pajak telah melunasi jumlah kerugian pada pendapatan negara sebesar: a. jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan; atau b. jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, buku" pemotongan pajak, dan/ atau bukti setoran pajak, ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak tersebut. (3) Jumlah . . .
- 50. 451? at PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -50- (3) Jumlah pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah kerugian pada pendapatan negara yang dihitung berdasarkan berita acara pemeriksaan ahli sebelum dilakukan pelunasan dalam rangka pengajuan permintaan penghentian Penyidikan oleh Menteri Keuangan. Pasal 63 Ketentuan Iebih lanjut mengenai tata cara permintaan penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 64 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, terhadap pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang belum diselesaikan yang berkaitan dengan: a. penyelesaian permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7) Undang—Undang dan/ atau penyelesaian permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (9) Undang- Undang untuk permohonan yang diterima secara Iengkap setelah tanggal 31 Desember 2007; b. penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang melalui Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) Undang—Undang untuk permohonan yang diterima secara Iengkap setelah tanggal 31 Desember 2007; c. pembetulan terhadap Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) Undang—Undang untuk penerbitan Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga setelah tanggal 31 Desember 2007; d. batas Waktu bagi Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) Undang—Undang untuk pengajuan permohonan yang diterima setelah tanggal 31 Desember 2007; e. tata cara . . .
- 51. 451-? PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -51- tata cara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Undang-Undang dan permohonan pembatalan hasil Pemeriksaan atau surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang—Undang untuk Pemeriksaan yang dimulai setelah tanggal 31 Desember 2007; proses penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang—Undang dan Pasal 26A Undang- Undang untuk pengajuan keberatan yang diterima setelah tanggal 31 Desember 2007; pengajuan gugatan terhadap penerbitan surat ketetapan pajak berdasarkan Pemeriksaan yang dimulai setelah tanggal 31 Desember 2007 yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang—undangan di bidang perpajakan; pengajuan gugatan terhadap penerbitan Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang—undangan di bidang perpajakan, untuk pengajuan keberatan yang diterima setelah tanggal 31 Desember 2007; persyaratan dan prosedur pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (la), dan ayat (6) Undang—Undang untuk pembetulan Surat Pemberitahuan yang disampaikan setelah tanggal 31 Desember 2011; persyaratan dan prosedur pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 untuk pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang disampaikan setelah tanggal 31 Desember 2011; persyaratan dan prosedur pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) Undang—Undang untuk pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang disampaikan setelah tanggal 31 Desember 201 1; permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan‘ pajak, permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya yang diajukan setelah tanggal 31 Desember 2011; atau m. permintaan . . .
- 52. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA .52. I11. permintaan keterangan atau bukti kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, penagihan pajak, atau proses keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 yang dilakukan setelah tanggal 31 Desember 2011, berlaku ketentuan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 65 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang~Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4797) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 66 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang—Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4797), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 67 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1Januari 2012. Agar. ..
- 53. ‘Ir PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -53- Agar Setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 201 1 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 162 Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Perekonomian,
- 54. I. 33: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 201 1 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN UM UM Sistem perpajakan yang diatur dalam Undang—Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang—Undang Nomor 16 Tahun 2009 bertujuan untuk memberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang Iebih besar kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, berkewajiban memberikan pelayanan, penyuluhan, dan pembinaan serta melakukan pengawasan dan penegakan hukum, agar Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang—undangan di bidang perpajakan. Dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 48 Undang~Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang—Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang—Undang Nomor 28 Tahun 2007. Selanjutnya untuk Iebih memberikan kemudahan dan kejelasan bagi masyarakat dalam memahami dan memenuhi hak serta kewajiban perpajakan serta untuk menyelaraskan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Undang—Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang—Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, perlu mengganti tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 agar sesuai dengan perkembangan hukum dan masyarakat. II. PASAL . . .
- 55. I21 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -2- II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Pada dasarnya kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak melekat pada setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Yang dimaksud dengan “persyaratan subjektif’ adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Yang dimaksud dengan “persyaratan objektif” adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/ pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang—Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pada prinsipnya sistem administrasi perpajakan di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, sehingga dalam satu keluarga hanya terdapat satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Dengan demikian, terhadap Wanita kawin yang tidak dikenai pajak secara terpisah, pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan suami sebagai kepala keluarga. Dalam hal Wanita kawin telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, Wanita kawin tersebut harus mengajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dengan alasan bahwa pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya. Tidak termasuk dalam pengertian hidup terpisah adalah suami istri yang hidup terpisah antara lain karena tugas, pekerjaan, atau usaha. Contoh: . . .
- 56. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -3- Contoh: Suami istri berdomisili di Salatiga. Karena suami bekerja di Pekanbaru, yang bersangkutan bertempat tinggal di Pekanbaru sedangkan istri bertempat tinggal di Salatiga. Demikian halnya terhadap “anak yang belum dewasa” sebagaimana diatur dalam Undang—Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya, yaitu yang belum berumur 18 tahun dan belum pernah menikah, kewajiban perpajakan anak yang belum dewasa tersebut digabung dengan orang tuanya. Ayat (4) Pada dasarnya wanita kawin yang tidak hidup terpisah atau tidak melakukan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta secara tertulis, melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama suaminya. Namun demikian, dalam hal wanita kawin ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, maka wanita kawin tersebut harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. Contoh: Bapak Bagus yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak 12.345.678.9—XXX.0O0 menikah dengan Ibu Ayu yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib) Pajak. Ibu Ayu memperoleh penghasilan dan ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya. Oleh karena itu, Ibu Ayu harus mendaftarkan diri ke kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan diberi Nomor Pokok Wajib Pajak baru dengan nomor 98.765.432.1-XXX.000. Ayat (5) Apabila wanita kawin yang ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara terpisah dari kewajiban perpajakan suaminya telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, maka Nomor Pokok Wajib Pajak yang telah dimiliki sebelum kawin tersebut digunakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara terpisah dari suaminya, sehingga wanita kawin tersebut tidak perlu mendaftarkan diri lagi untuk memperoleh Nomor ‘Pokok Wajib Pajak. ' Contoh: . . .
- 57. 431? PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -4- Contoh: Lisa memperoleh penghasilan dan telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dengan nomor 56.7 89.012.3—XYZ. OO0. Lisa kemudian menikah dengan Hengki yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak 78.901.234.5—XYZ.0OO. Apabila Lisa setelah menikah memilih untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secaraterpisah dari suaminya, maka Lisa tidak perlu mendaftarkan diri lagi untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tetap menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak 56.789.012.3—XYZ. O0O dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat ( 1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pada prinsipnya penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/ atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan. Namun demikian, terhadap Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu, penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/ atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dapat dilakukan berdasarkan Verifikasi. Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu pada ayat ini, antara lain: a. Orang pribadi telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan; b. Bendahara Pemerintah yang tidak lagi memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak karena yang bersangkutan sudah tidak lagi melakukan pembayaran; c. Orang pribadi yang telah meninggalkan Indonesia untuk selama—lamanya; d. Wajib . . .
- 58. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -5- d. Wajib Pajak memiliki lebih dari 1 (satu) Nomor Pokok Wajib Pajak untuk menentukan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dapat digunakan sebagai sarana administratif dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; e. Wajib Pajak badan kantor perwakilan perusahaan asing yang tidak mempunyai kewajiban Pajak Penghasilan Badan yang telah menghentikan kegiatan usahanya; f. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak sudah selesai dibagi; g. Wanita yang sebelumnya telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan menikah tanpa membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan serta tidak ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya; h. Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap yang telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; i. Pengusaha Kena Pajak yang telah dipusatkan tempat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai di tempat lain; j. Pengusaha Kena Pajak yang pindah alamat ke wilayah kerja kantor Direktorat Jenderal Pajak lainnya; atau k. Pengusaha Kena Pajak yang sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak. Verifikasi dilakukan untuk mengetahui apakah Wajib Pajak benar- benar tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan Pemeriksaan. Yang dimaksud dengan “mu1ai melakukan tindakan Pemeriksaan” adalah pada saat surat pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. Kesempatan . . .
- 59. I11 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA _6_ Kesempatan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan juga masih dapat dilakukan oleh Wajib Pajak apabila Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka, yaitu pada saat surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. Tindakan Pemeriksaan pada prinsipnya dilaksanakan dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak. Oleh karena itu, meskipun Direktur Jenderal Pajak belum melakukan Pemeriksaan atau Pemeriksaan Bukti Permulaan, namun Direktur Jenderal Pajak telah menyampaikan surat pemberitahuan hasil Verifikasi maka Wajib Pajak tidak memiliki kesempatan lagi untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuannya. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat ( 1) Apabila Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang berdampak pada perhitungan rugi fiskal dalam Surat Pemberitahuan Tahunan maka Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang terkait dengan rugi fiskal tersebut. Untuk memperjelas ketentuan ini, diberikan contoh sebagai berikut: Pl‘ Sukses telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2012 yang menyatakan: Penghasilan . . .
Gallery Pp 74 Tahun 2011
Developing A Functional Definition Of Small Scale Fisheries
Krause S Food The Nutrition Care Process 8589632542956
Cisco Visual Networking Index Global Mobile Data Traffic
Rethinking Schooling For The 21st Century The State Of
Electric Car Use By Country Wikipedia
Academic Onefile Document Estimating Aboveground Biomass
Pdf Factors Associated With Student Performance In
The Effectiveness Of Synthetic Phonics In The Development Of
Archives Financial Results Shareholders Investors News
Quantum Dot Sensitized Solar Cells Chemical Society
A Food Systems Perspective On Food And Nutrition Security In
International Journal Of Communication
Hiv Among People Aged 50 And Over Age Hiv By Group Hiv
Penagihan Direktorat Jenderal Pajak
Species Accounts Part Ii Ecology Conservation And
Decentralisation Policy As Recentralisation Strategy Forest
Indonesian National Armed Forces Wikipedia
Human Resource Management Academic Research Society
Gugatan Undang Undang Nomor 14 Tahun Ppt Download
Open Access Proceedings Journal Of Physics Conference Series
U S Air Force The Heritage Foundation
Sparkline In Excel With Examples
Prospect Of Fe Non Heme On Coffee Flour Made From Solid
Tugas Hak Dan Kewajiban Serta Sanksi Wp Fiskus
0 Response to "Pp 74 Tahun 2011"
Post a Comment