A. Seni Budaya Lokal sebagai Bagian dari Tradisi Islam
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia bukan sebuah proses yang sekali jadi. Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia memerlukan tahap berliku dan waktu yang lama. Jalan berliku, rumit, dan panjang harus dilalui hingga akhirnya Islam dapat berkembang dengan pesat di Nusantara. Islam di Indonesia dalam proses perkembangaannya dapat berinteraksi dengan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya, kehidupan ekonomi, ilmu pengetahuan, hukum, dan berbagai aspek lainnya.
|
Grebeg Suro |
Interaksi Islam dengan masyarakat melahirkan kebudayaan dan tradisitradisi yang bernapaskan Islam. Kebudayaan dapat diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia. Kebudayaan memiliki arti yang luas bukan hanya terpaku pada bidang seni, tetapi berbagai aspek kehidupan. Kebudayaan lokal dapat diartikan dengan kebudayaan yang bersifat lokal dan berkembang di berbagai tempat dalam wilayah Nusantara. Oleh karena bersifat lokal, kebudayaan tersebut memiliki ciri-ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh daerah lain. Luasnya wilayah Nusantara menyebabkan budaya lokal yang berkembang di berbagai daerah sangat beragam.
Budaya lokal yang ada di berbagai daerah Nusantara dalam perjalanannya akan bersentuhan dengan unsur-unsur luar. Misalnya kebudayaan animisme, dinamisme, Hindu, Buddha, dan Islam. Unsur dari luar tersebut memberikan warna dan sentuhan-sentuhan pada budaya lokal. Sebagaimana kita ketahui bahwa sebelum agama Islam masuk, penduduk Nusantara mempercayai animisme dan dinamisme. Mereka menyembah pohon-pohon besar, roh nenek moyang, benda-benda tertentu yang dianggap keramat, dan beberapa benda lain. Kebiasaan tersebut semakin kental dengan masuknya agama Hindu dan Buddha ke tanah air.
Masuknya Islam ke Nusantara menyebabkan kepercayaan animisme dan dinamisme lambat laun memudar. Kebiasaan-kebiasaan tersebut mulai sirna dengan masuknya Islam yang mengajarkan bahwa hanya Allah Swt. yang berhak untuk disembah. Seiring dengan memudarnya kebiasaan-kebiasaan tersebut, Islam yang telah dipeluk oleh penduduk berinteraksi dengan kebudayaan yang menghasilkan kebudayaan Islam. Dengan demikian, kebudayaan Islam merupakan kebudayaan yang bernapaskan atau memuat nilai-nilai ajaran Islam.
Aspek kebudayaan telah banyak terpengaruh oleh masuknya Islam ke Indonesia. Salah satunya adalah bidang seni. Sentuhan budaya lokal dengan Islam telah melahirkan bentuk seni baru yang memiliki kekhasan. Beberapa seni budaya lokal yang telah ada sebelum masuknya Islam mendapat pengaruh Islam. Seni baru tersebut selain berfungsi sebagai ekspresi keagamaan juga sebagai ekspresi budaya.
Ada banyak seni budaya lokal yang mendapatkan banyak pengaruh dari Islam. Salah satu buktinya adalah gamelan di Jawa yang bunyinya berbeda dengan gamelan di Bali. Gamelan Jawa terdengar lebih pelan dan lembut. Hal ini disebabkan oleh pengaruh Islam. Para wali yang menyebarkan Islam di Jawa mengakomodasi budaya lokal dengan sentuhan-sentuhan Islam. Gamelan di Bali dipergunakan sebagai iringan untuk persembahan kepada dewa sehingga irama dan alunannya terdengar lebih cepat. Gamelan Jawa terdengar lebih lembut dan pelan sehingga pendengarnya dapat bertafakur, berzikir, dan merenungi kekuasaan Allah Swt.
Bukti lain budaya lokal yang telah tersentuh oleh Islam adalah seni arsitektur. Bangunan masjid menjadi bukti akulturasi budaya lokal dengan Islam. Arsitektur masjid agung Demak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dengan model bangunan Majapahit. Model tersebut berpadu dengan bentuk rumah tradisional Jawa. Kemiripan arsitektur masjid Demak dengan model bangunan Majapahit dapat dilihat dari bentuk atapnya. Masjid Demak tidak memiliki kubah yang merupakan ciri tempat ibadah umat Islam. Bentuk atapnya mengadopsi bentuk bangunan peribadatan agama Hindu. Hal ini merupakan upaya untuk membumikan masjid sebagai pusat penyebaran agama Islam di tengah masyarakat Hindu. Masjid Sunan Ampel di Jawa Timur berarsitektur Jawa Kuno dengan nuansa Arab yang kental. Masjid agung Banten memiliki atap susun lima mirip dengan pagoda di Cina.
Sentuhan Islam terhadap seni arsitektur juga dapat dilihat pada istana. Istana Pagaruyung, Istana Sultan Deli, Istana Kesultanan Ternate, dan Keraton Yogyakarta merupakan contoh perpaduan budaya lokal dengan Islam. Seni rupa tidak luput dari sentuhan Islam. Contohnya adalah seni ukir. Ukiran yang ada di keraton atau masjid merupakan perpaduan budaya lokal dengan Islam. Ukiran yang ada di keraton atau masjid ada yang menggabungkan budaya lokal dengan seni kaligrafi. Kaligrafi adalah seni menulis indah berbentuk huruf Arab. Ukiran tersebut ada juga yang berbentuk simbol dan mengandung pesan ajaran Islam.
Sentuhan Islam juga dapat dilihat pada seni pertunjukan. Pada pertunjukan wayang dapat ditemukan sentuhan Islam di dalamnya. Wayang pada awalnya adalah peninggalan Hindu. Para wali memasukkan unsur-unsur Islam ke dalamnya. Dalam alur cerita dikenalkan dengan jimat ”Kalimasada”. Kalimasada sesungguhnya adalah kalimat syahadat, kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Swt. dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Pertunjukan wayang menjadi sarana penyebaran agama Islam.
Seni tradisi Genjring di Banyumas dan sekitarnya merupakan contoh lain kesenian Islam. Kesenian tradisi ini lebih banyak berbasis di masjid. Dalam seni tradisi Islam ini, syiiran salawat dilantunkan dengan diiringi rebana tanpa tarian. Kesenian ini menggunakan dasar kitab al-Barzanji. Pada saat ini Genjring dimanfaatkan untuk mengarak khitanan.
Salawat rodat merupakan contoh lain kesenian Islam yang berasal dari Yogyakarta. Kesenian salawat rodat berkembang seiring dengan peringatan maulid Nabi Muhammad saw. Kesenian salawat rodat menggunakan syair yang ada dalam kitab alBarzanji. Ciri khas kesenian ini adalah tarian mengiringi syair yang dilagukan dengan iringan musik rebana dinyanyikan secara bersama-sama. Tarian inilah yang disebut ”rodat”. Tarian rodat ditarikan sambil duduk.
Hampir sama dengan salawat rodat, salawat maulud merupakan tradisi pembacaan salawat pada peringatan maulid Nabi Muhammad saw. Dalam perkembangannya, salawat maulud menjadi kesenian yang dibacakan dalam acara khitanan, akikah, maupun acara rutin yang diadakan oleh masyarakat. Tari Angguk merupakan jenis tarian yang bernafaskan Islam. Tari Angguk dibawa oleh para mubalig penyebar agama Islam yang datang dari wilayah Mataram, Bagelen. Disebut Angguk sebab penarinya sering memainkan gerakan mengangguk-anggukkan kepala. Kesenian Angguk yang bercorak Islam ini mulanya berfungsi sebagai salah satu alat untuk menyiarkan agama Islam. Syair lagu-lagu tari Angguk diambil dari kitab al-Barzanji.
Tari Seudati adalah nama tarian yang berasal dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Seudati berasal dari kata syahadat, yang berarti bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah. Tarian ini juga termasuk kategori tribal war danceatau tari perang, yang syairnya berusaha membangkitkan semangat pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan. Oleh karena itu, tarian ini sempat dilarang pada zaman penjajahan Belanda. Akan tetapi, sekarang tarian ini diperbolehkan kembali dan menjadi kesenian nasional Indonesia.
B. Tradisi dan Upacara Adat Kesukuan Nusantara
Upacara adat yang telah dijalankan oleh masyarakat di Nusantara banyak yang terpengaruh oleh kebudayaan lama. Sebelum kedatangan Islam penduduk Nusantara memeluk kepercayaan animisme atau dinamisme. Macam-macam upacara adat yang telah berlangsung lama di tengah masyarakat sangat beragam. Ada upacara daur ulang kehidupan seperti upacara kelahiran, usia dewasa, pernikahan, dan kematian. Ada juga upacara yang dilaksanakan ketika hendak menanam tanaman, membangun rumah, dan berbagai hajatan lainnya. Tujuan melaksanakan upacara tersebut hampir sama, yaitu memohon perlindungan dan keselamatan kepada para dewa. Hal tersebut tentu bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan bahwa hanya Allah Swt. Tuhan yang harus kita sembah.
Setelah Islam masuk ke Nusantara dan dianut oleh masyarakat, telah mengubah kepercayaan lama. Akan tetapi, tidak semua upacara lama tersebut ditinggalkan. Ada upacara yang diubah orientasinya, tidak memohon kepada dewa, tetapi memohon kepada Allah Swt. Perubahan orientasi ini ditunjukkan dengan pembacaan doa sesuai dengan agama Islam. Berkaitan dengan peralatan upacara yang dipergunakan, ada yang tetap dipertahankan dan ada pula yang dihilangkan.
Di antara upacara adat yang mendapat pengaruh Islam adalah upacaraupacara yang dilaksanakan untuk memperingati hari besar Islam. Upacara memperingati maulid Nabi Muhammad dilaksanakan secara berbeda-beda di berbagai daerah. Di Yogyakarta dan Surakarta upacara menyambut peringatan maulid Nabi Muhammad saw. disebut sekaten. Sekaten berasal dari kata syahadatain (dua kalimat syahadat). Upacara Sekaten pada masa para wali dijadikan sebagai sarana menyebarkan ajaran Islam. Puncak upacara Sekaten adalah Grebeg Maulud. Upacara Sekaten masih berlangsung hingga sekarang.
Di Bima, Nusa Tenggara Barat terdapat upacara untuk memperingati maulid Nabi Muhammad saw. Upacara yang disebut dengan Hanta Ua Pua ini dilaksanakan pada tanggal 12 Rabiul Awal. Selain memperingati maulid Nabi Muhammad, upacara ini dimaksudkan untuk memperingati masuknya Islam ke Bima, Nusa Tenggara Barat. Upacara ini juga menjadi ajang silaturahmi bagi masyarakat.
Di Cirebon terdapat upacara untuk memperingati maulid Nabi Muhammad yang disebut Panjang Jimat. Tradisi Muludan itu terdapat di Keraton Kasepuhan, Keraton Kesultanan Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Panjang Jimat terdiri atas dua kata, yaitu Panjang dan Jimat. Panjang berarti terus-menerus tanpa terputus. Jimat merupakan akronim dari bahasa Jawa, yaitu siji kang dirumat atau satu yang dipelihara. Jimat yang dimaksud adalah syahadatain. Umat Islam harus berpegang pada syahadatain secara terus-menerus tanpa terputus.
Di Klaten, Jawa Tengah, pada bulan Safar diadakan upacara Ya Qawiyu. Upacara ini oleh penduduk setempat disebut dengan Saparan. Upacara Ya Qowiyu ditandai dengan penyebaran kue apem. Kue apem merupakan kue berbentuk bundar yang terbuat dari tepung beras dengan potongan kelapa di tengahnya. Kue apem disebarkan dari menara. Konon apem berasal dari kata afwun yang berarti Allah Swt. Maha Pemaaf. Upacara Ya Qawiyu masih dilaksanakan hingga saat ini.
Di Sumatra terdapat upacara Hoyak Tabuik (Tabut). Upacara ini dilaksanakan satu tahun sekali pada setiap tanggal 10 Muharam. Upacara ini berhubungan dengan sejarah kepahlawanan Husain bin Abi Talib, cucu Nabi Muhammad saw. Husain bin Ali bin Abi Talib wafat di Padang Karbala pada tahun 61 H. Di dalam upacara ini terkandung unsur agama, sejarah, dan kesenian. Upacara Hoyak Tabuik atau mengarak usungan (tabut) yang dilambangkan sebagai keranda jenazah Imam Husain yang gugur di Padang Karbala yang dilaksanakan masyarakat. Di Padang Pariaman, Sumatra Barat dan masyarakat Bengkulu upacara Tabut dimulai dari hari pertama bulan Muharam hingga kesepuluh memiliki kemiripan dengan yang dilakukan masyarakat Syi’ah di berbagai negara. Bahkan, istilah-istilah yang digunakan pun sama, seperti matam dan panja.
Di Minangkabau terdapat upacara Kekah (akikah). Akikah merupakan syariat agama Islam. Upacara Kekah dimaksudkan sebagai upacara syukuran atas titipan Allah Swt. berupa anak kepada kedua orang tuanya. Waktu pelaksanaannya bermacam-macam. Upacara dilaksanakan di rumah ibu si anak atau bakonya. Acara dimulai dengan pembukaan. Selanjutnya, seekor kambing disembelih, dibersihkan, dan dimasak. Acara dilanjutkan dengan doa kemudian makan bersama.
Upacara Tamaik Kaji (khatam Al-Qur’an) terdapat di Minangkabau. Upacara ini dilaksanakan jika seorang anak yang telah mengaji di surau sebelumnya tamat membaca Al-Qur’an. Acara diadakan di rumah ibu si anak, surau, atau masjid tempat anak itu mengaji. Anak yang sudah khatam AlQur’an disuruh membaca Al-Qur’an di hadapan seluruh orang yang hadir, dilanjutkan dengan makan bersama. Acara ini biasa pula dilakukan beramairamai. Upacara-upacara yang disebutkan di depan hanya sebagian kecil dari upacara yang ada di Nusantara. Tiap-tiap daerah memiliki upacara dengan ciri khas daerah tersebut. Sebagai generasi penerus, bagaimana kita bersikap terhadap upacara dan budaya lokal? Dalam menyikapinya kita harus berhati-hati. Ada upacara yang dianggap tidak sesuai dengan syariat Islam. Akan tetapi, setelah ditelusuri ternyata upacara tersebut pada awalnya dipergunakan oleh pendahulu untuk menyebarkan agama Islam.
Membuka diri dengan budaya lokal dan menerima akulturasi budaya menjadi salah satu penyebab Islam mudah diterima. Seni dan budaya merupakan sarana yang dipergunakan oleh para pendahulu untuk menyebarkan Islam. Oleh karena itu, kita harus berusaha untuk melestarikan seni dan budaya yang pada awalnya dipergunakan untuk menyebarkan Islam. Jika upacara tersebut telah melenceng dari ajaran Islam, kita harus meluruskannya kembali.
Salah satu barang yang dijual pada perayaan Sekaten adalah kinang atau kapur sirih. Barang ini mengandung lima unsur yang melambangkan lima rukun Islam, seperti berikut.
- Daun sirih melambangkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Sisi bagian atas dan bawah daun sirih berbeda warnanya, tetapi jika dikunyah memiliki rasa yang sama. Hal ini memiliki makna bahwa mengucapkan kalimat syahadat harus dibaca lengkap, tidak boleh hanya syahadat tauhid atau syahadat rasul.
- Injet (gamping atau kapur). Barang ini berwarna putih, melambangkan salat fardu untuk mendapatkan kesucian, sebagaimana warna putih yang bersih.
- Gambir. Barang ini memiliki rasa yang sangat pahit. Sedikit saja sudah cukup, melambangkan zakat yang oleh sebagian orang (terutama yang bersifat kikir/pelit) dirasa ’pahit’ sebab harus mengeluarkan sebagian harta untuk orang lain.
- Susur (tembakau). Barang ini tidak boleh dimakan. Tembakau melambangkan ibadah puasa (tidak boleh makan dan minum).
- Jambe (buah pinang). Untuk mendapatkan buah pinang ini sangat sulit sebab harus memanjat pohon pinang yang terkenal licin. Hal ini melambangkan ibadah haji yang memerlukan perjuangan yang keras dan sulit.
0 Response to "Tradisi Islam Di Nusantara"
Post a Comment