Permenkes 31 Tahun 2016



Ulasan Lengkap Surat Izin Praktik Dan Surat Izin Kerja

“PERMENKES 31 TAHUN 2016” PROFESI APOTEKER DI ALAM NYATA

By: Chazali H.Situmorang/Apoteker berpraktek

Memang kalau dipikir-pikir profesi Apoteker itu uniq. Dia ada dimana-mana tapi tidak tampak dimana-mana. Dia ada di apotik, tapi yang pasien tahu di apotik adalah asisten apoteker ( dalam pikiran mereka itulah apotekernya). Dia ada di rumah sakit, tapi yang orang tahu di rumah sakit itu dokter, bidan dan perawat. Dia ada di industri farmasi,  tapi pasien ngak tahu yang membuat obat itu apoteker. Dia ada di distributor farmasi (PBF), tapi  yang dikenal masyarakat adalah pengusaha sehingga namanyanya pun Pedagang Besar Farmasi.

Apakah ada spoteker yang jadi pedaang besar farmasi jawabannya ada sedikit, apakah ada apoteker menjadi pemilik apotik ada tidak banyak, apakah ada apoteker pemilik PBF jawaban ada juga tidak banyak, apakah ada apoteker yang jadi pemilik rumah sakit jawabanya nyaris tidak ada, apakah ada apoteker yang punya pabrik farmasi jawabannya dapat dihitung dengan jari.

Jadi dimana beradanya apoteker dan jadi apa setelah tamat yang jumlahnya sudah puluhan ribu itu?. Sebagian besar menjadi pekerja,  dan pegawai negeri, jadi guru SMK, dan menjadi ibu rumah tangga ( karena sekitar 70% wanita), dan sekali-kali ke apotik lihat-lihat dan menerima honor sebagai apoteker penanggungjawab yang jumlah honornya ala kadarnya.

Apakah pemerintah (Kemenkes) menempatkan profesi apoteker dalam sistem pelayanan kesehatan secara profesional dan proporsional. Jawabannya belum dan belum.  Dalam persoalan ini saya punya pengalaman yang menguatkan jawaban belum tersebut. Pada akhr tahun 2014, dalam kapasitas saya sebagai Ketua DJSN waktu itu, rapat di Kemenkes dengan pejabat Eselon 1 Kemenkes, dan stakeholder terkait membicarakan remunerasi dana kapitasi yang diberikan untuk Puskesmas sebagai FKTP. Pihak Kemenkes membuat rumusan bobot / grade remunerasi yang paling tinggi dokter, kemudian Bidan dan apoteker dimasukan dalam kelompok tenaga kesehatan lainnya bersama perawat dan sarjana kesehatan  masyarakat. Saya protes, bahwa apoteker itu adalah profesi yang diperoleh setelah melalui pendidikan sarjana farmasi. Saya minta disejajarkan dengan dokter, akhirnya setelah berargumentasi grade remunerasinya di naikkan tapi tetap dibawah dokter. Sekjen Kemenkes waktu itu nyeletuk “ wah ini karena Ketua DJSN nya Apoteker”.  Seharusnya Kemenkes yang punya tanggungjawab moral menempatkan profesi apoteker pada tempat sesuai dengan harkat kehormatan profesi.

Indikasi lain, pada rekruitmen tenaga kesehatan di Puskesmas. Dari 9500 Puskesmas, tidak sanpai 30% apoteker dipekerjakan di Puskesmas. Di Badan POM, namanya Badan Pengawas Obat dan Makanan tapi yang menjadi Kepala Badan POM bukan Apoteker, bahkan backgroundnya jauh dari dunia kesehatan. Belum lagi di Pemda-Pemda, dalam setiap penerimaan pegawai BKDnya banyak yang ngak ngerti perlunya apoteker (atau pura-pura tidak ngerti), sehingga formasi yang dibuka sangat-sangat terbatas sekali.

Namun demikian, industri pendidikan kefarmasian meningkat terus. Setiap tahun ribuan apoteker dihasilkan,  mulai dari perguruan tinggi abal-abal sampai dengan yang bermutu. Setelah mendapatkan apoteker mereka disumpah untuk melaksanakan profesinya berdasarkan kemanusiaan, non diskriminatif. Dengan wajah berseri-berseri memegang ijazah apoteker dan membayangkan bekerja dengan gaji yang lumayan. Harapannya dalam waktu singkat biaya  pendidikan yang sudah cukup besar dkeluarkan dapat diperoleh kembali dengan gaji yang diterima. Sampai hari ini, harapan itu rupanya masih dalam bentuk harapan, belum menjadi kenyataan.

Dalam situasi seperti itu, ternyata aturan-aturan yang terkait dengan menjalankan profesi apoteker semakin memperberat sang apoteker. Berlapis-lapis syarat untuk mendapat Surat Ijin Apotik, Surat Tanda Registrasi Apoteker, Surat Izin Pengelolaan Apotik, dan berbagai jenis rekomendasi lainnya. Bahkan di beberapa daerah ada organisasi profesi itu sendiri (ditingkat cabang), membuat mekanisme rekomendasi yang berbelit-belit. Harus bayar registrasi keanggotaan dengan membayar iuran 2 tahun atau 3 tahun. Masya Allah padahal mereka itu belum bekerja. Jadi kalau istilah di Medan itu, “kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah”. Hebat kan?.

Permenkes 31/2016 dan aturan pelaksanaannya, solusi kah?

Mari kita simak pasal-pasal dalam Permenkes 31/ 2016.  Dalam Permenkes tersebut hanya memuat 4 pasal, sebagai perbaikan pada pasal-pasal di Permenkes 886/2011. Dalam Permenkes 886/2011 istilah apoteker pendamping yang dapat dilakukan pada 3 tempat fasilitas pelayanan kefarmasian, dalam Permenkes 31/2016, diganti dengan isitilah boleh mempunyai SIPA  di tiga tempat fasilitas pelayanan kefarmasian.  Bedanya dimana?. Secara pekerjaan, tidak ada bedanya. Yang berbeda dari sisi tanggungjawab. Jika apoteker pendamping sebagai peanggungjawab adalah apoteker pemegang SIPA di instalasi farmasi tersebut.  Jika model SIPA dengan istilahnya SIPA 1, 2, dan 3, apoteker yang bersangkutan bertanggungjawab penuh di ketiga tempat praktek profesinya.

Sekarang mari kita buat simulasinya. Apotik buka dari jam 8.00 s/d 22.00 malam. Berarti 14 jam. Apoteker yang bekerja di tiga tempat, setiap lokasi jam kerjanya 4 jam, non stop nyambung  dari satu apotik ke apotik lainnya. Apotik harus mengeluarkan biaya profesi apoteker setiap hari untuk 3 orang apoteker yang berbeda, apa sanggup?. Umumnya apotik banyak dikunjungi sore dan malam hari. Yang giliran pagi dan siang apa mau dibayar lebih rendah?. Berapakah omzet apotik rata-rata di Indonesia. Berapa banyak resep yang masuk ke apotik saat sekarang ini, apalagi dengan adanya JKN /BPJS Kesehatan. Ada saja resep bernilai 10-20 % dari omzet sudah bagus, nahkan banyak sekarang apotik buka dari pagi sampai malam tidak ada resep yang singgah. Yang terjadi banyak pasien yang datang ke apotik membeli obat-obat ethical tanpa resep dokter. Berapa banyak apotik yang menolak permintaan pasien tersebut?, nyaris nihil. Berapa besar kemampuan apotik membayar honor profesi apoteker perbulan. Kalau dibisikkan kepada gajah angkanya, Gajah akan ikut sedih dan menetesken air matanya.

Bagaimana dengan kehadiran apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian, khususnya di apotik?. Ini sebenarnya sudah cerita lama, organisasi  IAI sudah mencanangkan dan mengkampanye melalui berbagai event, slogan “No farmasis, no service”. Hasil memang ada peningkatan kehadiran apoteker di apotik, tetapi belum signikant jumlahnya. Kalau apotiknya sepi apotekernya juga malas datang. Kalau apotiknya ramai yang belanja obat apotekernya ada juga yang malas datang karena honornya  tidak proporsional.  Jadi interaksi komunikasi, komitmen dengan pemilik apotik  dan panggilan profesi merupakan faktor penting kehadiran apoteker di apotik.

Kalau kita cermati Permenkes 886/2011 tentang  Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, tidak ada satu pasal yang mewajibkan apoteker berada di apotik sepanjang apotik buka. Demikian juga pada Permenkes 31/2016 tentang Perubahan Atas Permenkes 886/2011,  tidak ada pasal yang menyebutkan kewajiban kehadiran apoeker di fasilitas pelayanan kefarmasian sepanjang waktu bukanya.

Tetapi yang hebatnya, pada Surat Edaran Nomor HK.02.02./Menkes/24/2017, tentang Petunjuk Pelaksanaan Permenkes 31/2017, pada Bagian A, ayat J berbunyi”Fasilitas pelayanan kefarmasian hanya dapat memberikan pelayanan kefarmasian sepanjang apoteker berada di tempat dan memberikan pelayanan langsung kepada pasien”.  Ayata J ini tidak ada hubungannya, dan tidak menjelaskan tentang apa yang belum jelas di Permenkes 31/2016.  Menurut pendapat beberapa teman apoteker, ayat J, sangat tidak konsisten dengan pasal-pasal yang ada di Permenkes 31/2016. Walaupun semua pihak sepakat hal ini merupakan upaya untuk mendorong kehadiran apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian, tetapi ditempuh dengan cara yang tidak fair.

Banyak yang memperdebatkan maksud “memberikan pelayanan langsung kepada pasien”, sedangkan yang datang ke apotik misalnya, bukan pasien langsung, bahkan pembantu rumah tangganya, apa tidak dilayani, atau harus apoteker datang kerumah dan menyerahkan langsung kepada pasien.

Intinya banyak regulasi yang mengatur tentang pelayanan kesehatan yang diketemukan tidak konsisten satu sama lain.  Bisa jadi hal ini karena tidak ditanganinya secara profesional oleh para pejabat yang diberikan tanggungjawab untuk menyiapkan regulasi. Kelemahan harmonisasi sangat terasa sekali, sehingga suatu hal yang jamak kalau banyak Permenkes yang tambal sulam, dan ditambah lagi dengan Surat Edaran yang terkadang semakin tidak jelas atau membingungkan seperti hal ang diuraikan diatas.

Penyelesaian masalah yang sifatnya simpomatik, inilah hasilnya. Dan yang paling merasakan akibatnya, ya tenaga kesehatan, pemodal, masyarakat penikmat pelayanan kesehatan.

Di berbagai kesempatan,  saya sering mengutarakan, persoalan fasilitas pelayanan kefarmasian, misalnya apotik, agar apoteker mencintai profesinya, menekuninya dan meanganinya dengan sungguh-sungguh,  maka diterbitkan regulasi yang menegaskan bahwa di apotik  tidak adalagi istilah pemilik sarana apotik atau pemodal. Setiap apoteker yang buka apotik harus atas nama dan modal apoteker itu sendiri. Jika tidak ada modal, kewajiban Pemerintah menyediakan modal dengan kredit tanpa jaminan asset kalau tidak ada asset. Jaminannya ya ijazah apoteker dengan back – up  jaminan dari Pengurus Organisasi profesi (IAI). Memang ini tidak mudah memerlukan kemauan politik Pemerintah. Dan Kemenkes juga diharapkan ikut memberikan jaminan sebagai penguat bagi perbankan.

Insya Allah akan banyak apoteker yang mau dan semangat “menongkrongi” apotiknya dan bersemangat memberikan penuluhan dan advokasi kemasyarakat untuk membiasakan pola hidup sehat dengan memeriksakan kesehatan ke dokter, dan mengambil obatnya ke apotik. Konsultasi obat meupakan potensi in-come yang menjanjikan bagi apoteker yang telaten dan betah di apotik. Sudah banyak conoh apoteker yang rame apotiknya karena rajin melayani konsultasi obat pasien yang datang ke apotik.

Yang penting lainnya, adalah landasan hukum profesi apoteker harus sudah ada. Perlu diperjuangkan Undang-Undang tentang Praktek Kefarmasian, sebagai payung hukum yang kuat untuk memberikan jaminan pelayanan obat yang bermutu kepada masyarakat dan praktek kefarmasian yang dilindungi dengan Undang-Undang sehigga akan membangun rasa ketenangan dan kenyaman dalam melaksanakan profesinya.  Sudah saatnya kita pikirkan dan kerjakan!!.

Cibubur, 9 Maret 2017

Silahkan share jika bermanfaat

Gallery Permenkes 31 Tahun 2016

Permenkes No 21 Tahun 2013 Penanggulangan Hivaids Tt Logo

Permenkes No 31 Thn 2016 Tentang Registrasi Ijin Praktek

Permenkes 43 Tahun 2016 Tentang Spm

Menteri Perdagangan Republik Indonesia Peraturan Menteri

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 31 Tahun 2013 Tentang

Pc Pafi Muara Enim Permenkes 31 Tahun 2016 Tentang

Dasar Hukum

Se Hk 02 02 Menkes 24 2017 Juklak Registrasi Izin Praktik

Pc Pafi Muara Enim Permenkes 31 Tahun 2016 Tentang

Peraturan Menteri Kesehatan 44 Tahun 2016

Pc Pafi Muara Enim Permenkes 31 Tahun 2016 Tentang

Pc Pafi Muara Enim Permenkes 31 Tahun 2016 Tentang

Permenkes No 31 Thn 2016 Yg Baru Pdf

Kementerian Kesehatan Lembaran Negara Republik Indonesia

Banyuwangi Merdeka Com Ikatan Apoteker Indonesia

Se Hk 02 02 Menkes 24 2017 Juklak Registrasi Izin Praktik

Lampiran Permendagri Nomor 31 Tahun 2016 On232xk7y3l0

Download Kumpulan Permenkes 2015 2017 2018 Filenya

Se Hk 02 02 Menkes 24 2017 Juklak Registrasi Izin Praktik

Ada Apa Dengan Sia Dan Sipa Pharmacist Writer

Permenkes No 44 Tahun 2016 Tentang Manajemen Puskesmas

Hisfarkesmas Hisfarkesmas Shared A Post Facebook

Pro Dan Kontra Permenkes Terbaru No 31 Tahun 2016 3 Pasal

Permenkes No 31 Th 2016 Terkait Perubahan Registrasi Izin

Mengurus Sipa Apoteker Bagi Penanggung Jawab Industri


0 Response to "Permenkes 31 Tahun 2016"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel