Tindak Pidana Pencucian Uang
Kelebihan Dan Kelemahan Metode Pembalikan Beban Pembuktian
Makalah Tindak Pidana Khusus Pencucian Uang
Tindak Pidana Khusus Pencucian Uang
Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana Khusus
Dosen Pengampu Sukartono
Damar Ritonga
1509117225
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
2017 / 2018
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Tindak Pidana Khusus Pencucian Uang”. Dan Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Sukartono selaku Dosen mata kuliah Hukum Pidana Khusus di Universitas Riau (UNRI) yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, dan saran serta usulan demi perbaikan makalah yang telah penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang berkurang berkenaan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
Pekanbaru, 15 Juni 2017
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar .....................................................................................................i
Daftar Isi ..............................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah ..........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan .....................................................................................1
Bab II Pembahasan
2.1 Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang .....................2
2.2 Proses Pencucian Uang ............................................................................10
Bab III Penutup .....................................................................................................15
Daftar Pustaka .......................................................................................................16
1.1 Latar Belakang
Dana-dana yang berasal dari berbagai macam kejahatan pada umumnya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan. Sebab konsekuensinya akan mudah dilacak oleh aparat penegak hukum mengenai sumber memperolehnya. Biasanya, dana yang terbilang besar dari hasil kejahatan dimasukkan terlebih dahulu ke dalam sistem keuangan, terutama dalam sistem perbankan. Model perbankan inilah yang sangat menyulitkan untuk dilacak oleh penegak hukum, para pelaku kejahatan tersebut seringkali menanamkan uang hasil kejahatannya ke dalam berbagai macam bisnis legal, seperti cara-cara membeli saham perusahaan-perusahaan besar di bursa efek yang tentu memiliki keabsahan yuridis dalam operasionalnya seolah-olah terlihat bahwa kekayaan para penjahat yang diputar melalui proses-proses sepertinya menjadi sah adanya.
1. Apa pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang dan bagaimana pengaturan hukum TPPU?
2. Bagaimana Proses Pencucian Uang?
3. Sanksi apa saja yang dijatuhkan pada pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang?
4. Apa saja kewajiban Penyedia Jasa Keuangan?
5. Apa saja peranan PPATK terkait Tindak Pidana Pencucian Uang?
6. Bagaimana perlindungan bagi pelapor dan saksi?
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang dan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Tindak Pidana Khusus.
Pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah. Sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang No.8 Tahun 2010, Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana
Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak yang serius terhadap stabilitas sistem keuangan maupun perekonomian secara keseluruhan. Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana multi-dimensi dan bersifat transnasional yang seringkali melibatkan jumlah uang yang cukup besar.
Pada tahun 1988, United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau lebih dikenal UN Drugs Convention ditandatangani 106 negara, dan Indonesia menjadi salah satu negara anggota yang kemudian baru meratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.
Selanjutnya pada tahun 1989 dan 1990 negara-negara yang tergabung dalam Group 7 melahirkan The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) yang bertujuan mendorong Negara-negara agar menyusun peraturan perundang-undangan untuk mencegah mengalirnya uang hasil perdagangan narkotik baik melalui bank maupun lembaga keuangan bukan bank. Pada bulan April 1990, FATF memperluas pesertanya mencakup pusat keuangan 15 negara yang kemudian mengeluarkan rekomendasi yang paralel dengan UN Drug Convention agar Negara-negara menciptakan peraturan perundang-undangan mengawasi money laundering.
Upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius ini diikuti dengan upaya pemberantasan pencucian uang dalam skala internasional karena kegiatan pencucian uang kerap kali digunakan untuk menutupi hasil perdagangan obat bius yang diwujudkan dalam pembentukan konvensi The International Anti-Money Laundering Legal Regime. Konvensi ini mewajibkan Negara-negara penandatangan menjadikan pencucian uang sebagai suatu tindakan kriminal dan tergolong kejahatan berat. Selanjutnya pada tahun 1998 dibentuk Basle Committee on Banking Regulations dan Supervisory Practices yang terdiri dari perwakilanperwakilan Bank Sentral dan badan-badan pengawas negara-negara industri, dimana bank harus mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang dikenal dengan Know Your-Customer Rule. Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah diubah kedua kali dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003.
Walaupun secara de jure BI telah mengeluarkan peraturan BI No. 3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Pengenalan Nasabah namun peraturan ini sulit diterapkan untuk memberantas transaksi money laundering. Penerapan ini dibatasi oleh UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya kecuali untuk kepentingan perpajakan, untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, atau dalam hal si nasabah meninggal dunia sehingga ahli waris yang sah wajib diberitahukan mengenai simpanan nasabah yang bersangkutan.
Akan tetapi, penerbitan Peraturan Bank Indonesia ini belum dianggap cukup oleh FATF untuk menanggulangi pencucian uang. FATF sendiri sudah mengeluarkan beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan praktek pencucian uang. Rekomendasi tersebut mempunyai tiga ruang lingkup yaitu mengenai peningkatan sistem hukum nasional, peningkatan peranan system finansial, dan memperkuat kerjasama internasional. Semua rekomendasi FATF ini menjadi standar internasional untuk mengukur apakah anggota FATF telah mematuhi rekomendasi itu dan memberikan usulan-usulan untuk perbaikan upaya pemberantasan pencucian uang, dan Indonesia dipandang belum mendukung upaya pemberantasan pencucian uang.
Indonesia dimasukkan dalam daftar Negara wilayah yang tidak bekerjasama Non Cooperative Countries and Teritories (NCCTs) pada bulan Juni 2001 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dari FATF, dan hal ini berlangsung sampai dengan Februari 2002 mengingat FATF menganggap kurang ada upaya Indonesia dalam memerangi pencucian uang, yang dibuktikan dengan belum adanya program penegakan hokum pencucian yang efektif, belum ada tindakan hukum terhadap para pelaku kejahatan money laundering, belum adanya peningkatan kerja dalam lembaga keuangan untuk memerangi praktek money laundering, belum adanya sistem yang mewajibkan pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan, belum adanya kerja sama dengan Negara-negara lain, institusi-institusi internasional atau belum adanya identifikasi nasabah dan belum ada perangkat hukum untuk mengatasi praktek money laundering yang dibuktikan dengan belum adanya Undang-Undang Anti Pencucian Uang.
Baru pada Februari 2005, Indonesia dikeluarkan dari daftar hitam setelah FTAF mengadakan review langsung ke Indonesia dengan mengadakan wawancara dengan para pemimpin instansi yang menangani money laundering, kemudian Presiden mengutus beberapa Menteri ke Negara Amerika, Inggris, Perancis, Australia, Jepang untuk menjelaskan keseriusan Pemerintah Indonesia menangani kasus money laundering. Pada tanggal 17 April 2002 telah diundangkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang melalui Lembaran Negara No. 30. UU ini tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pencucian uang, hanya dalam penjelasan dinyatakan bahwa upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagai pencucian uang (money laundering).
Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Undang-Undang ini yakni harta kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai setara yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan korupsi; penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga kerja; penyeludupan imigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan budak, wanita, dan anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian; penggelapan; penipuan, yang dilakukan baik di wilayah RI atau di luar wilayah RI dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Berbeda dengan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, perubahan UU ini yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan definisi tentang pencucian uang mendefinisikan pencucian uang sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamar asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1).
Perubahan dalam UU No. 25 Tahun 2003 antara lain meliputi :
a. Pengertian Penyedia Jasa Keuangan yang diperluas meliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan guna mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk penyedia jasa keuangan yang ada di masyarakat namun belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan munculnya bentuk penyedia jasa keuangan baru.
Hal ini tampak dari ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 15 Tahun 2002:
“Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi”, yang kemudian diubah menjadi Pasal 1 angka 5 UU No. 25 Tahun 2003 :
“Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, custodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos”.
b. perluasan definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan, yakni:
Pasal 1 angka 6 UU No. 15 Tahun 2002: “Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini”, menjadi:
Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2003:
Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah:
1. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
2. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau
3. transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
c. Pembatasan jumlah hasil tindak pidana yang diperoleh dari tindak pidana dihapus karena penentuan suatu perbuatan dapat dipidana tidak bergantung besar kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh, sebagaimana diatur berdasarkan:
Pasal 2 UU No. 15 Tahun 2002:
“Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan”:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. penyelundupan barang;
d. penyelundupan tenaga kerja;
e. penyeludupan imigran;
f. perbankan;
g. narkotika;
h. psikotropika;
i. perdagangan budak, wanita, dan anak;
j. perdagangan senjata gelap;
k. penculikan;
l. terorisme;
m. pencurian;
n. penggelapan;
o. penipuan;
yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia, menjadi Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003, yakni:
1. Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. penyelundupan barang;
d. penyelundupan tenaga kerja;
e. penyelundupan imigran;
f. di bidang perbankan;
g. di bidang pasar modal;
h. di bidang asuransi;
i. narkotika;
j. psikotropika;
k. perdagangan manusia;
l. perdagangan senjata gelap;
m. penculikan;
n. terorisme;
o. pencurian;
p. penggelapan;
q. penipuan;
r. pemalsuan uang;
s. perjudian;
t. prostitusi;
u. di bidang perpajakan;
v. di bidang kehutanan;
w. di bidang lingkungan hidup;
x. di bidang kelautan.
2. Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatana terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
d. Ruang lingkup tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan dimana pelaku tindak pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak pidana namun perbuatan tersebut tidak dipidana. Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait yang mempidana tindak pidana asal antara lain:
a. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
c. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
d. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
e. Jangka waktu penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dipersingkat, dengan tujuan agar harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang dapat segera dilacak, sebagaimana diatur berdasarkan:
- Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2002 : (2) “Penyampaian Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diketahui oleh Penyedia Jasa Keuangan”, menjadi:
- Pasal 13 UU No. 25 Tahun 2003 : (2) “Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsure Transaksi Keuangan Mencurigaka”.
f. Terdapat ketentuan baru yang menjamin adanya kerahasiaan penyusunan dan penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK atau penyidik (anti-tipping off) bahkan dengan disertai sanksi pidana penjara, dengan tujuan untuk mencegah berpindahnya hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang, sebagaimana diatur berdasarkan:
Pasal 10A UU No. 25 Tahun 2003:
- Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.
- Sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib dirahasiakan dalam persidangan pengadilan.
- Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
- Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
g. Penjabaran lebih rinci dan lebih tegas dalam beberapa pasal mengenai ketentuan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal assistance), merupakan bukti bahwa Pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas internasional untuk bersama-sama mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.
Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003
Dimuat dalam : Pasal 3 ( 1 ) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
f. membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah). (2) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6 (1) Setiap orang yang menerima atau menguasai:
1. penempatan;
2. pentransferan;
3. pembayaran;
4. hibah;
5. sumbangan;
6. penitipan; atau
7. penukaran.
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia Jasa Keuangan yang melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. Pasal 7 Setiap Warga Negara Indonesia dan/atau korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Dari pasal-pasal di atas, ditunjukkan adanya pengaturan terhadap jenis-jenis tindak pidana sebagai berikut :
1. Tindak pidana pencucian uang : yaitu tindakan untuk menempatkan,mentransfer, membayar/membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga lainnya, atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut.
2. Tindak pidana percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang.
3. Tindak pidana menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, atau penukaran atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Selain itu juga ditemukan adanya pengaturan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang :
1. penyedia jasa keuangan yang sengaja tidak menyampaikan laporan yang diwajibkan kepada PPATK atas transaksi keuangan mencurigakan atau transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, bila dilakukan dalam 1 (satu) kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja;
2. setiap orang yang membawa uang tunai ke dalam atau keluar wilayah Negara Republik Indonesia berupa rupiah sejumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih untuk melapor kepada Dirjen Bea dan Cukai;
3. bagi direksi, pejabat atau pegawai penyedia jasa keuangan yang memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik secara langsung atau tidak langsung dengan cara apapun mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK;
4. larangan bagi saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan di sidang pengadilan untuk menyebut nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.
1. Sekalipun terdapat berbagai macam modus operandi pencucian uang, namun pada dasarnya proses pencucian uang dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap kegiatan, yaitu:
a. Placement adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan. Bentuk kegiatan ini antara lain:
1. Menempatkan dana pada bank. Kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan kredit/pembiayaan.
2. Menyetorkan uang pada PJK sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail.
3. Menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain.
4. Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa kredit/pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi kredit/pembiayaan.
5. Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan/hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui PJK.
b. Layering adalah memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut. Bentuk kegiatan ini antara lain:
1. Transfer dana dari satu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/negara.
2. Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah.
3. Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell company.
c. Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.
Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh, dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman. Ketiga kegiatan tersebut di atas dapat terjadi secara terpisah atau simultan, namun umumnya dilakukan secara tumpang tindih.
2. Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada tahap placement, layering, maupun integration, sehingga penanganannyapun menjadi semakin sulit dan membutuhkan peningkatan kemampuan (capacity building) secara sistematis dan berkesinambungan. Pemilihan modus operandi pencucian uang tergantung dari kebutuhan pelaku tindak pidana.
2.3 Sanksi Tindak Pidana Pencucian Uang
Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Berdasarkan Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dendapaling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)
Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2.4 Kewajiban Penyedia Jasa Keuangan
Penyedia Jasa Keuangan terbagi menjadi :
1. Perbankan
Perbankan merupakan suatu bentuk usaha yang memiliki keleluasaan dalam menghimpun dan menyalurkan dana, sehingga sangat strategis untuk digunakan sebagai sarana pencucian uang baik melalui placement, layering maupun integration. Selain itu transfer dana secara elektronis juga dapat dimanfaatkan oleh pencuci uang untuk mengalihkan dana secara cepat dan relatif murah serta aman ke rekening pihak lain, baik di dalam maupun di luar negeri;
2. Lembaga Keuangan Non Bank
Perhatian terhadap PJK yang berbentuk asuransi dan usaha investasi lainnya diperlukan sebagai upaya untuk memastikan tidak dimanfaatkannya produk dan jasa PJK tersebut untuk kegiatan pencucian uang.
3. Perusahaan Efek, Pengelola Reksa Dana dan Bank Kustodian
Selain perbankan, asuransi dan usaha investasi lainnya, bentuk PJK lainnya dalam pedoman ini adalah perusahaan efek, pengelola reksa dana dan bank kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 15 Tahun 2002.
Perusahaan efek, pengelola reksa dana dan bank kustodian wajib memiliki prosedur yang memadai untuk membuktikan dan memverifikasi identitas nasabah/calon nasabah, beneficial owner atau beneficiary nasabahnya. Apabila perusahaan efek, pengelola reksa dana dan bank kustodian tidak mengetahui secara pasti identitas nasabah/calon nasabah, maka hubungan usaha dengan nasabah/calon nasabah tersebut dapat ditolak.
4. Penyedia Jasa Keuangan Lainnya
PJK lainnya misalnya pedagang valuta asing (money changer) serta lembaga penyimpanan dan penyelesaian wajib menyampaikan laporan kepada PPATK untuk hal-hal sebagai berikut:
a. Transaksi keuangan mencurigakan;
b. Transaksi yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa transaksi dalam 1 (satu) hari kerja sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 15 Tahun 2002, Bab 3 huruf C angka 3 pedoman ini dan ketentuan lainnya yang ditetapkan oleh masing-masing lembaga pengawas.
Peraturan perundang-undangan mewajibkan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) untuk:
1. Melaksanakan prosedur identifikasi nasabah, atau biasa disebut Prinsip Mengenal Nasabah (know your customer principles), merupakan hal yang sangat penting. Setiap PJK harus menerapkan prinsip mengenal nasabah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh lembaga pengawas masing-masing PJK.
2. Menyimpan catatan dan dokumen mengenai identitas nasabah sampai dengan 5 (lima) tahun sejak berakhirnya hubungan usaha dengan PJK. Dalam hal ini yang dimaksud dengan identitas antara lain adalah nama, alamat, jenis kelamin, umur dan pekerjaan. Dokumen ini diluar dokumen keuangan yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.
3. Menyampaikan laporan kepada PPATK untuk hal-hal sebagai berikut:
a. Transaksi keuangan mencurigakan;
b. Transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai yang setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja.
c. Kewajiban pelaporan bagi PJK tersebut di atas berlaku sejak Oktober 2003 dengan mengacu pada pedoman pelaporan yang akan dikeluarkan oleh PPATK.
4. Bagi PJK yang berbentuk bank, kewajiban pelaporan tersebut di atas dikecualikan dari ketentuan rahasia bank, sehingga bank dan petugas pelapor tidak melanggar ketentuan rahasia bank.
PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) adalah sebuah lembaga independen yang terbentuk bersamaan dengan UU No. 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang.
Peranan PPATK yakni:
Dalam UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, ppatk memiliki peranan strategis Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang termasuk berbagai tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan yang tidak sah.
Untuk menunjang peranan tersebut ppatk memiliki tugas pokok adalah membantu penegak hukum dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana berat lainnya dengan cara menyediakan informasi intelijen yang dihasilkan dari analisis terhadap laporan-laporan yang disampaikan kepada PPATK.
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, PPATK berkewajiban antara lain membuat pedoman bagi Penyedia Jasa Keuangan (“PJK”) dalam mendeteksi perilaku pengguna jasa keuangan yang melakukan transaksi keuangan mencurigakan. Dalam pedoman ini yang dimaksud dengan PJK adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, bank kustodian, pedagang valuta asing, dana pensiun dan perusahaan asuransi.
A. Perlindungan bagi Pelapor
1. Pelaksanaan pelaporan oleh PJK yang berbentuk bank, dikecualikan dari ketentuan rahasia bank sebagaimana diatur oleh Undang-undang Perbankan;
2. Pelapor tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporannya;
3. PPATK, penyidik, penuntut umum atau hakim wajib merahasiakan identitas pelapor;
4. Setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang, wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya.
5. Disidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor.
B. Perlindungan bagi Saksi
1. Setiap orang yang memberikan kesaksian dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya.
2. Saksi tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana atas kesaksian yang diberikan oleh yang bersangkutan.
Dengan dikeluarkannya UU No. 25 tahun 2003 tentang pencucian uang, berarti menganggap perbuatan pencucian uang sebagai tindak pidana (kejahatan) yang harus ditindak tegas oleh para penegak hukum yang berwenang.
Dengan adanya perangkat hukum yang tegas hal ini bisa dijadikan sebagai perwujudan rasa keadilan. Sanksi tindak pidana pencucian uang berupa pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Selain itu pihak yang terlibat seperti pelapor dan saksi memiliki perlindungan hukum dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya. Dalam kasus money laundering kepolisian dan penuntut umum juga memiliki kesulitan dalam membuktikan terjadinya tindak pidana pencucian uang karena modusnya yang bervariasi dan biasanya tidak ditemukan adanya cukup alat bukti.
Gallery Tindak Pidana Pencucian Uang
Faktor Penyebab Tindak Pidana Pencucian Uang Money
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Perspektif Hukum Progresif Yudi Kristiana
Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang
Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia Ilmu Hukum Indonesia
Buku Money Laundering Toko Buku Online Bukukita
Tipologi Dan Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang Yunus Husein
Tindak Pidana Pencucian Uang Ppt Download
Praktik Tindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia E Jurnal
Kewajiban Merahasiakan Pihak Pelapor Tindak Pidana Pencucian
Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang
Mengenal Tindak Pidana Pencucian Uang Indonesia Baik
Icjr Tindak Pidana Pencucian Uang
Penilaian Risiko Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Tindak
Indeks Tindak Pidana Pencucian Uang Di Ri Menengah Tinggi
Ini Isi Perpres Pencegahan Pencucian Uang Yang Diteken
Training Money Laundering Tindak Pidana Pencucian Uang Dan
Ditjen Pajak Seret Pelaku Kejahatan Pajak Ke Ranah Tindak
Melawan Money Laundering Mengenal Mencegah Dan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang
Hkum4308 Hukum Perbankan Dan Tindak Pidana Pencucian Uang
Pengenalan Anti Pencucian Uang Pt Bpr Berlian Bumi Arta
Kepala Bnpt Hadiri Rapat Komite Koordinasi Nasional
Analisa Yuridis Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering Kanal
Mengenal Tindak Pidana Pencucian Uang Indonesia Baik
Pengkinian Penilaian Risiko Indonesia Terhadap Pencucian
0 Response to "Tindak Pidana Pencucian Uang"
Post a Comment