Hadits Tentang Niat – Segala puji bagi Allah, kita memuji, memohon pertolongan, dan memita ampun hanya kepada-Nya Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya, serta para pengikutnya hingga hari kiamat.
Adapun pada kesempatan kali ini, kita akan mempelajari bersama hadits pertama dari kitab arba'in nawawi, yaitu hadits tentang niat. Pada artikel ini kita akan mengetahui apa maksud dari hadits tersebut, serta faedah apa saja yang dapat kita ambil. Berikut ulasannya :
عَنْ أَمِيرِ المُؤمِنينَ أَبي حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضيَ اللهُ تعالى عنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله تعالى عليه وعلى آله وسلم يَقُولُ: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلى اللهِ وَرَسُوله فَهِجْرَتُهُ إلى اللهِ وَرَسُوله، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَو امْرأَة يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ إِلَيْه
Dari Amirul Mukminin, Abu Hafs Umar bin Al Khattab radhiyallaahu ‘anhu ta’ala, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa ‘alaa aalihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang mendapat apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan atau karena wanita yang ingin ia nikahi maka hijrahnya pada apa yang ia niatkan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh kedua imam hadits, yakni imam Bukhari dan imam Muslim di dalam kedua kitab shahihnya yang mana keduanya merupakan kitab paling shahih yang pernah disusun.
Hadits ini merupakan salah satu hadits yang menjadi inti ajaran Islam. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa ia berkata : “Hadits ini merupakan sepertiganya ilmu, dan hadits ini masuk di dalam tujuh puluh bab fikih.”[1] Imam Ahmad juga mengatakan : “Pokoknya Islam (dibangun) atas tiga hadits : (yaitu)
(1) haditsnya Umar : [Amal itu tergantung niatnya],
(2) haditsnya ‘Aisyah : [Barang siapa yang membuat perkara baru dalam agama yang tidak ada dasarnya, maka ia tertolak],
(3) dan haditsnya Nu’man bin Basyir : [Halal itu jelas dan haram itu jelas]” [2] Bahkan sebagian ulama terdahulu mengatakan bahwa hadits ini sepantasnya diletakkan di bagian pertama dalam kitab-kitab ilmu.
Karena itulah imam Bukhari juga menempatkan hadits ini di bagian yang pertama dalam kitab shahihnya. Tujuannya adalah mengingatkan pembaca kitab tersebut agar mengikhlaskan niatnya ketika mempelajari suatu ilmu.
Yang dimaksud “إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ” adalah : Bahwa amal-amal itu bisa menjadi rusak atau tidak, diterima atau ditolak, diberi pahala atau tidak itu disebabkan oleh niatnya.
Adapun niat secara bahasa berarti al-qashdu (القصد) yang berarti maksud atau tujuan. Sedangkan niat secara syar’i adalah tekat dalam mengerjakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.
Niat letaknya di dalam hati, dan ia merupakan amalan hati. Niat sama sekali tidak ada hubungannya dengan lisan maupun anggota badan. Sehingga niat seseorang tidak dapat dinilai dari lisan dan perbuatan pelakunya.
Yang mengetahui niat seseorang hanyalah ia sendiri dan Allah ta’ala. Maka salah apabila niat itu kita ucapkan. Bahkan para ulama menilainya sebagai perbuatan bid’ah. Karena, tidaklah dijumpai sama sekali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengucapkan niat tatkala hendak shalat atau hendak mengamalkan suatu amalan.
Yang dimaksud “وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى” bahwa manusia akan mendapatkan sesuatu dari apa yang ia niatkan. Apabila ia beribadah diniatkan sebagai ibadah maka ibadahlah yang ia dapatkan. Namun, apabila ibadah diniatkan hanya sekedar rutinitas maka hanya rutinitaslah yang ia dapatkan.
Niat adalah pembeda antara ibadah dan rutinitas, dan pembeda antara ibadah satu dengan ibadah yang lainnya. Apabila kita makan atau minum karena memenuhi keinginan saja maka makan dan minum kita dinilai sebagai rutinitas.
Namun, apabila kita makan atau minum karena memenuhi perintah Allah – “makan dan minumlah” (QS. Al-A’raf : 31) – maka makan dan minum kita dinilai sebagai ibadah. Ini menunjukkan bahwa niat bisa menjadikan pembeda antara ibadah dan rutinitas.
Karena itulah para ahli ilmu mengatakan bahwa ibadahnya orang yang lalai hanyalah bernilai sebagai rutinitas, sedangkan rutinitasnya orang yang tersadar bernilai sebagai ibadah.
Kemudian, niat juga menjadi pembeda antara ibadah satu dengan ibadah yang lainnya. Apabila ada seseorang yang shalat dua rakaat dan yang ia niatnya adalah shalat sunnah maka shalat itu dinilai sebagai shalat sunnah.
Namun, bila ada seseorang yang shalat dua rakaat dan niatnya adalah sebagai shalat wajib maka shalat itu dinilai sebagai shalat wajib. Ini menunjukkan bahwa niat bisa menjadi pembeda antara satu ibadah dengan ibadah lainnya, walaupun ibadah itu sama dari sisi cara dan gerakannya.
Setelah disebutkannya tentang masalah niat, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberi contoh dalam masalah niat ini dengan kasus hijrah.
Hijrah secara bahasa berarti meninggalkan. Adapun secara syar’i hijrah berarti berpindah dari negeri kafir menuju negeri islam.
Adapun maksud dari “فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلى اللهِ وَرَسُوله فَهِجْرَتُهُ إلى اللهِ وَرَسُوله” adalah bahwa barang siapa yang niat hijrahnya ikhlash karena mengharapkan wajahnya Allah agar Allah terima hijrahnya dan Allah catat sebagai golongan orang yang berhijrah, serta hijrah karena mengamalkan sunnah rasul-Nya maka hijrahnya ini kepada Allah dan Rasul-Nya.
Perlu ditekankan lagi bahwa nilai yang diambil dari hijrah tersebut bukan dari apa yang tampak pada hijrahnya. Namun, nilai yang diambil adalah dari maksud, tujuan atau niat hijrahnya.
Apabila niat hijrahnya untuk menolong agama Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya dinilai sebagai hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Hijrah yang seperti inilah yang diterima oleh Allah dan ia diberi pahala atas hijrahnya.
Apabila ia telah keluar berhijrah dengan niat tersebut lantas ternyata ia meninggal dunia di tengah perjalanan hijrahnya maka ia dicatat oleh Allah sebagai orang yang berhijrah. Allah ta’ala berfirman :
وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah.[3] Maksud dari “وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَو امْرأَة يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ” adalah barang siapa yang niat hijrahnya dari negeri kafir menuju negeri Islam kepada selain Allah, yakni karena ketamakannya terhadap dunia, atau karena ingin menjumpai wanita yang ingin ia nikahi agar bisa menikahinya, maka hasil atau nilai dari hijrahnya hanya kepada apa yang ia niatkan.
Ia tidak akan mendapatkan pahala di sisi Allah azza wa jalla dan ia juga tidak akan dicatat oleh Allah sebagai orang yang berhijrah. Meskipun tampaknya ia berhijrah dari negeri islam ke negeri kafir maka sama sekali tidak diberi pahala oleh Allah dan tidak dicatat oleh Allah sebagai orang yang berhijrah. Maka ia hanya akan mendapatkan dunia dan wanita yang jadi tujuan hijrahnya.
Dalam hadits tersebut kita mengetahui bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menyinggung masalah seorang yang hijrahnya bertujuan untuk dunia dan menikahi wanita.
Penyebab beliau menyinggung masalah itu adalah adanya seorang yang hijrah dari Mekah ke Madinah untuk menikahi wanita yang konon bernama Ummu Qois. Karena itulah kisah ini dikenal dengan kisah Muhajir Ummu Qois.
Namun, menurut Ibnu Rajab dalam kitabnya Jami’ul Ulum wal Hikam, riwayat yang menyebutkan kisah ini banyak ditulis dalam kitab-kitab mutaakhhiriin dan beliau tidak menjumpai sanad yang shahih tentang riwayat kisah ini.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa hadits ini merupakan poros atau inti dari ajaran Islam. Para ulama menjelaskan bahwa inti dari ajaran Islam terdapat dalam dua hadits, yaitu haditsnya Umar tentang niat, dan haditsnya Aisyah tentang tertolaknya amalan bid’ah.
Kedua hadits ini tidak dapat terpisahkan. Karena hadits tentang niat merupakan timbangan amalan hati, sedangkan hadits tentang tertolaknya amalan bid’ah merupakan penopang amalan anggota badan.
Maka dapat dikatakan bahwa syarat diterimanya amalan ada dua, yaitu :
- Niatnya ikhlas karena Allah
- Ittiba' atau mengikuti apa yang sudah disyariatkan
- Apabila ada seseorang mengamalkan ibadah dengan niat ikhlas karena Allah, akan tetapi ibadah yang diamalkannya merupakan amalan bid’ah, maka apabila ditinjau dari niatnya dapat dikatakan niatnya sudah baik. Akan tetapi apabila ditinjau dari amalannya maka ini bukanlah amalan yang baik. Maka ia tidak mendapatkan pahala atas amalan yang dikerjakannya bahkan berdosa. Karena telah jelas bahwa amalan bid’ah adalah amalan yang tertolak.
- Apabila ada seseorang melaksanakan shalat dan sudah sesuai dengan apa yang disyariatkan dalam Islam tanpa menambah-nambahnya, akan tetapi ia niatkan shalat itu karena mencari perhatian orang lain, maka apabila ditinjau dari sisi amalannya dapat dikatakan amalannya sudah baik. Akan tetapi apabila ditinjau dari niatnya maka niatnya bukanlah niat yang baik. Maka ia juga tidak mendapatkan pahala dari shalat yang dikerjakannya.
Apabila kita ingin melaksanakan suatu ibadah, hendaknya kita menata niat terlebih dahulu dan tidak menyamakan niat antara ibadah satu dengan ibadah lainnya. Maka kita wajib memisahkan niat antara satu ibadah dengan ibadah lainnya.
- Apabila seseorang ingin melaksanakan shalat dhuhur maka ia wajib meniatkan shalatnya sebagai shalat dhuhur. Jangan sampai ia berniat pada niat shalat yang lainnya, atau bahkan tidak terbesit niat sama sekali di dalam hatinya. Karena setiap shalat niatnya berbeda-beda, dan shalat tanpa diiringi niat maka akan dinilai sebagai rutinitas.
Lalu, apabila ada seseorang keluar di waktu dhuhur dalam keadaan sudah berwudhu lalu ia memasuki masjid, akan tetapi tidak ada terbesit di dalam hatinya bahwa ia mau melaksanakan shalat dhuhur, dan hanya terbesit di hatinya bahwa ia ke masjid karena sudah memasuki waktu shalat wajib, maka apakah ini sudah mencukupi?
Maka ada dua jawaban dalam masalah ini :
- Menurut madzhab hambali, ini tidak cukup. Karena ia tidak menentukan atau menegaskan shalat apa yang ingin ia kerjakan.
- Menurut yang lain, tidaklah dipersyaratkan untuk menegaskan sesuatu yang sudah tertentu. Maka cukuplah bagi dia meniatkan shalat itu dan menentukan shalat dengan ketentuan waktunya.
Menurut Syaikh Al Utsaimin, dalam kitabnya Syarah Arbain Nawawi, pendapat yang benar dalam masalah ini adalah pendapat yang kedua. Terkadang seseorang datang dengan tergesa-gesa untuk mengikuti shalat berjamaah namun tidak terbesit di dalam hatinya bahwa ia berniat shalat dhuhur.
Akan tetapi yang terbesit dalam hatinya hanyalah berniat bahwa ia melaksanakan shalat wajib di waktu itu, dan tidaklah ia keluar dari rumahnya untuk shalat berjamaah kecuali dengan niat shalat tersebut. Kasus seperti inilah yang banyak terjadi dalam keseharian kita.
Dalam hadits tersebut terdapat anjuran bagi kita agar kita senantiasa ikhlas semata mengharapkan ridha Allah azza wa jalla dalam beribadah. Hal ini dikarenakan ikhlas merupakan penopang utama terpenting yang mana manusia diciptakan untuk itu. Allah ta’ala berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.[4] Dari hadits tersebut kita mengetahui bahwa hijrah merupakan amal shalih apabila dikerjakan dengan tujuan Allah dan Rasul-Nya. Setiap amalan yang dimaksudkan untuk Allah dan Rasul-Nya maka ia adalah amal shalih. Hal ini dikarenakan niatnya ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan setiap amalan yang mendekatkan diri kepada Allah adalah ibadah.
Hijrah hukumnya wajib bagi setiap mukmin yang tidak mampu menjalankan agamanya dengan baik dinegeri kafir sehingga keislamannya tidak bisa sempurna kecuali dengan hijrah.
Hukum wajibnya hijrah ini tidak hanya dikhususkan untuk Nabi dan para sahabatnya saja. Hukum hijrah ini terus berlaku hingga menjelang datangnya hari kiamat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
لَا تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ، وَلَا تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
Hijrah ini tidak terputus sampai kesempatan bertaubat terputus, dan kesempatan bertaubat tidak akan terputus sampai matahari terbit dari tempat terbenamnya.[5] Lalu, bagaimana apabila ia masih mampu menjalankan agamanya?
Jawabannya : Apabila ia berada di negeri kafir akan tetapi ia tetap mampu menjalankan agamanya dengan baik, sementara pemerintah setempat dan orang-orang di negeri tersebut tidak ada yang mencegah dirinya untuk menjalankan agamanya, maka hukumnya mustahabbah.
Adapun apabila ia berada di negeri fasik yang tampak dan jelas kefasikannya, maka apabila ia khawatir dirinya terjerumus pada kefasikan tersebut maka ia wajib berhijrah. Namun, apabila ia tidak khawatir terjerumus maka tidak wajib.
Bahkan apabila masih ada perbaikan di negeri tersebut maka ia wajib memperbaiki negeri tersebut dengan cara berdakwah, memerintahkan kepada kebaikan, dan mencegah kemungkaran.
Demikianlah hadits tentang niat dan artinya beserta penjelasan dan faedahnya. Semoga bermanfaat dan barokah.
[1] Lihat : Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam (Bairut: Dar Ibn Katsir) hlm. 31 [3] QS. An-Nisa’ ayat 100 [4] QS. Adz-Dzaariyat ayat 56 [5] HR. Abu Dawud no. 2479
0 Response to "Hadits Arbain Ke 1"
Post a Comment