Uu 26 Tahun 2000



Uu Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Ham

UU No.24 Thn 2000 - Perjanjian Internasional

Dalam melaksanakan politik luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah Republik Indonesia melakukan berbagai upaya termasuk membuat perjanjian internasional dengan negara lain, organisasi internasional, dan subjek-subjek hukum internasional lain.

Perkembangan dunia yang ditandai dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan intensitas hubungan dan interdependensi antarnegara. Sejalan dengan peningkatan hubungan tersebut, maka makin meningkat pula kerja sama internasional yang dituangkan dalam beragam bentuk perjanjian internasional.

Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional melibatkan berbagai lembaga negara dan lembaga pemerintah berikut perangkatnya. Agar tercapai hasil yang maksimal, diperlukan adanya koordinasi di antara lembaga-lembaga yang bersangkutan. Untuk tujuan tersebut, diperlukan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur secara jelas dan menjamin kepastian hukum atas setiap aspek pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional.

Pengaturan mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional yang ada sebelum disusunnya undang-undang ini tidak dituangkan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang jelas sehingga dalam praktiknya menimbulkan banyak kesimpang-siuran.

Pengaturan sebelumnya hanya menitikberatkan pada aspek pengesahan perjanjian internasional. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang mencakup aspek pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional demi kepastian hukum.

Undang-undang tentang Perjanjian Internasional merupakan pelaksanaan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945 bersifat ringkas sehingga memerlukan penjabaran lebih lanjut. Untuk itu, diperlukan suatu perangkat perundang-undangan yang secara tegas mendefinisikan kewenangan lembaga eksekutif dan legislatif dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional serta aspek-aspek lain yang diperlukan dalam mewujudkan hubungan yang dinamis antara kedua lembaga tersebut.

Perjanjian internasional yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Bentuk dan nama perjanjian internasional dalam praktiknya cukup beragam, antara lain : treaty, convention, agreement, memorandum of understanding, protocol, charter, declaration, final act, arrangement, exchange of notes, agreed minutes, summary records, process verbal, modus vivendi, dan letter of intent. Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya. Namun demikian, secara hukum, perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang di dalam suatu perjanjian internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian internasional, pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait serta dampak politiknya bagi para pihak tersebut.

Sebagai bagian terpenting dalam proses pembuatan perjanjian, pengesahan perjanjian internasional perlu mendapat perhatian mendalam mengingat pada tahap tersebut suatu negara secara resmi mengikatkan diri pada perjanjian itu. Dalam praktiknya, bentuk pengesahan terbagi dalam empat kategori, yaitu (a). ratifikasi (ratification) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian. (b). aksesi (accesion) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian. (c). penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval) adalah pernyataan menerima atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian internasional tersebut. Selain itu, juga terdapat perjanjian-perjanjian internasional yang tidak memerlukan pengesahan dan langsung berlaku setelah penandatanganan.

Pengaturan mengenai pengesahan perjanjian internasional di Indonesia selama ini dijabarkan dalam Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tertanggal 22 Agustus 1960, kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, yang telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional, yaitu pengesahan melalui undang-undang atau keputusan presiden, bergantung kepada materi yang diaturnya. Namun demikian, dalam praktik selama ini telah terjadi berbagai penyimpangan dalam melaksanakan surat presiden tersebut, sehingga perlu diganti dengan Undang-undang tentang Perjanjian Internasional.

Pokok materi yang diatur dalam undang-undang ini disusun dengan sistematika sebagai berikut :

Gallery Uu 26 Tahun 2000

Mekanisme Domestik Untuk Mengadili Pelanggaran Ham Elsam

Proses Pembahasan Uu 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Ham

Uu No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Ham Federasi Kontras

Pengertian Pelanggaran Ham Berat Menurut Uu No 26 Tahun 2000

Pelanggaran Ham Dalam Hukum Keadaan Darurat Di Indonesia

Kasus Cebongan

Seri Bahan Bacaan Kursus Ham Untuk Pengacara Xi Tahun

Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Ham

Ham Untuk Semua On Twitter Seluruh Respon Komnas Ham

Voluntary National Reviews Vnr

Agricultural Land Conversion And Food Policy In Indonesia

Bab Ii Nasional

Hak Dan Kewajiban Dalam Profesi Ppt Download

Materi Kelas 3 Sma Kasus Kasus Pelanggaran Ham Dalam Perspektif Pancasila

Uu Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Ham

Undang Undang No 26 Tahun 2000

Pemeriksaan Permulaan Perkara Pelanggaran Ham Yang Elsam

Bab I Napak Tilas Penegakan Ham Di Indonesia

Uu Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Ham


0 Response to "Uu 26 Tahun 2000"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel