Pmk 169 Tahun 2015



Konsultan Pajak Posts Facebook

Kajian PMK Nomor 169/PMK.010/2015 dan PMK Nomor 191/PMK.010/2015

A. Pendahuluan

          Dalam waktu yang cukup berdekatan, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Keuangan merilis 2 (dua) Peraturan Menteri Keuangan (yang selanjutnya disebut sebagai "PMK") yang langsung menjadi current issues, khususnya di bidang akuntansi dan perpajakan Indonesia. Kedua topik ini bahkan menjadi bahan kajian khusus baik di dunia praktik maupun akademis. Ruang lingkup kajian juga berkembang secara komprehensif, dimana banyak pihak mulai menganalisa latar belakang, kecenderungan perusahaan saat ini, kaitannya dengan realisasi penerimaan pajak, cost-benefit dari aplikasinya, kesesuaian dengan standar akuntansi, strategic action plan untuk comply kepada aturan terkait sampai kepada dampak-dampaknya terhadap pelaporan akuntansi dan perpajakan.

          PMK No. 169 mengatur tentang penentuan besarnya rasio DER (Debt-to-Equity) atau utang dan modal untuk keperluan perhitungan pajak penghasilan dan ditetapkan tanggal 9 September 2015, sedangkan PMK No. 191 mengatur tentang penilaian kembali aktiva tetap untuk tujuan perpajakan dan ditetapkan tanggal 15 Oktober 2015. Keduanya diyakini merupakan skema Pemerintah dalam mengakselerasi realisasi penerimaan pajak tahun fiskal 2015, dimana secara praktis tinggal tersisa 3-4 bulan lagi sejak PMK ini ditetapkan.

          Artikel saya tidak akan mengupas pasal-pasal aturan kedua PMK ini karena secara detail, hal tersebut dapat dilihat dalam PMK Nomor 169/PMK.010/2015 dan PMK Nomor 191/PMK.010/2015. Terkait definisi, ruang lingkup, pengecualian, aturan khusus sampai kepada pedoman aplikasi juga terdapat di kedua PMK tersebut. Lebih lanjut lagi, hal-hal khusus tentang tata cara pengajuan permohonan dan pengadministrasian sesuai PMK Nomor 191 diatur dalam PER-37/PJ/2015.

B. Pembahasan

B1. PMK Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan

          Penerbitan PMK No 169 dilatarbelakangi oleh praktik thin capitalization. Praktik tersebut membuat penerimaan negara yang bersumber dari pajak menurun karena aktivitas perusahaan yang menambah permodalan, mendanai ekspansi dan memperluas operasi komersialnya dilakukan melalui berhutang atau melakukan pinjaman, bukan dengan menambah modal/ ekuitas murni. Sebagai dampak lanjutannya, konsekuensi atas hutang/ pinjaman adalah biaya pinjaman (borrowing cost), dimana biaya ini merupakan biaya yang dapat dikurangkan (deductible expense) dalam perhitungan PPh perusahaan. Memang, di sisi lain, pembayaran atas biaya pinjaman tersebut, atau saya persempit ke jenis yang paling umum, yaitu biaya bunga merupakan objek PPh juga, namun jika dibandingkan head-to-head dengan kapitalisasi modal dari penambahan saham atau saham bonus, maka penerimaan pajak akan lebih kecil. Ilustrasinya adalah sebagai berikut:
          Diasumsikan bahwa data EBIT (Earnings Before Interest and Taxes) kedua perusahaan di atas adalah sama dan khusus untuk case A, perusahaan meminjam dana sebesar 100,000,000,000 IDR (terbilang: seratus milyar rupiah) dengan fixed interest rate 12.5% p.a. Selain itu, asumsi untuk case B adalah perusahaan membayar dividen kas sebesar 50,000,000,000 IDR (terbilang: lima puluh milyar rupiah). Jumlah ini sudah termasuk hak dividen atas pemegang saham baru di tahun yang bersangkutan. Berdasarkan asumsi tersebut, maka diperoleh hasil perhitungan pajak sebagai berikut:
          Secara sederhana, dapat disimpulkan bahwa perusahaan dalam case A melakukan praktik thin capitalization dan terbukti hasil penerimaan pajaknya (baris no 8) lebih kecil jika dibandingkan perusahaan membagikan dividen. Dalam ilustrasi di atas, terdapat selisih 6,250,000,000 IDR (terbilang: enam milyar dua ratus lima puluh juta rupiah). PPh yang dikenakan atas dividen dalam hal ini adalah PPh 4(2) bersifat final dengan tarif 10%, bukan PPh 23 dengan tarif 15% karena penerima dividen adalah OP. Dividen juga bukan unsur pengurang dalam PKP, karena secara penjurnalan akuntansi 'pun dividen diambil dari hasil penutupan laba rugi ke dalam laba ditahan, bukan diakui sebagai expense terpisah.           Oleh karena itu, PMK No 169 membatasi rasio DER dan atas kelebihannya, perusahaan harus melakukan koreksi proporsional atas biaya pinjaman yang timbul selama tahun pajak yang bersangkutan. Artinya, atas kelebihannya akan dilakukan koreksi fiskal positif yang akan berdampak kepada semakin besarnya PKP/ DPP dalam perhitungan PPh Badan. Cara penentuan rasio DER sesuai PMK ini sudah dituangkan dalam lampiran PMK terkait. Ilustrasi di bawah ini hanya menunjukkan perhitungan proporsional dan dampaknya terhadap PPh Badan (Note: angka hanya bersifat ilustrasi dan tidak ada kaitannya dengan contoh perusahaan untuk case di atas).
          Jadi, di dalam kertas kerja rekonsiliasi fiskal, harus dilakukan review tambahan khusus untuk biaya bunga dan biaya pinjaman lainnya. Sebagai tambahan, tentu perbedaan antara komersial dan fiskal ini termasuk dalam permanent difference (beda tetap) karena konsekuensi atas perbedaan hanya berlaku di tahun pajak terkait saja.   

B2. PMK Nomor 191/PMK.010/2015 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan yang Diajukan pada Tahun 2015 dan Tahun 2016

          PMK ini termasuk dalam paket kebijakan ekonomi jilid V Pemerintahan Presiden Joko Widodo, dimana fokusnya adalah akomodasi insentif pajak guna mendorong perekonomian nasional. Key points dalam PMK ini adalah adanya fasilitas khusus bagi WP yang ingin melakukan revaluasi aktiva tetapnya (term aktiva tetap di sini sama dengan aset tetap menurut akuntansi, karena perpajakan Indonesia sampai saat ini masih menggunakan term aktiva, berbeda dengan akuntansi yang mengacu kepada IFRS dengan term aset). Fasilitas khusus tersebut berupa pemotongan tarif PPh final atas surplus revaluasi dari awalnya sebesar 10% (lihat PMK Nomor 79/PMK.03/2008 pasal 5) menjadi 3%/4%/6% tergantung tenggat waktu permohonan revaluasi kepada Dirjen Pajak. Common practicenya, tentu perusahaan yang ingin mengajukan revaluasi akan menargetkan PPh final 3%, bukan 4% apalagi 6%.

          Hal yang penting adalah surplus revaluasi sebagai DPP tersebut ditentukan dengan membandingkan hasil penilaian kembali yang dilakukan oleh penilai publik dengan nilai buku fiskal, bukan komersial. Bukan juga dibandingkan dengan nilai tercatat (carrying amount) karena fiskal tidak mengenal akumulasi rugi penurunan nilai (impairment losses), hanya terbatas pada akumulasi depresiasi saja. Namun, di sisi lain, surplus revaluasi yang diakui dalam pendapatan komprehensif lain (OCI - Other Comprehensive Income) adalah surplus revaluasi komersial, bukan fiskal. Jadi, surplus revaluasi fiskal hanya sebagai DPP dalam perhitungan PPh final, sedangkan yang termasuk dalam ekuitas adalah surplus revaluasi komersial. Artikel ini tidak membahas sampai perbedaan revaluasi aset tetap menurut komersial (dalam hal ini acuan utamanya adalah PSAK 16 (2011) - Aset Tetap) dan revaluasi aset tetap menurut fiskal. Hal ini akan dibahas secara spesifik dalam penulisan artikel lainnya.

B3. Korelasi Antara PMK Nomor 169/PMK.010/2015 dan PMK Nomor 191/PMK.010/2015

          Terdapat opini bahwa aplikasi dari PMK Nomor 191 memiliki banyak keuntungan. Sekurang-kurangnya terdapat 5 (lima) significant advantage bagi perusahaan yang menjalankannya di penghujung tahun 2015 ini, diantaranya adalah:

  • Insentif tarif PPh final sangat signifikan, dari 10% menjadi 3% (diskon 7%)
  • Surplus revaluasi akan meningkatkan ekuitas perusahaan dan akuntabilitas serta konsekuensinya tidak setinggi menerbitkan saham baru, seperti mengubah susunan pemegang saham, membayar dividen, dsb.
  • Mendapatkan manfaat pajak di masa yang akan datang karena biaya penyusutan menggunakan dasar nilai yang baru, yaitu nilai revaluasi sehingga DPP akan lebih kecil juga
  • Surplus revaluasi dapat dikapitalisasi menjadi saham bonus, dimana hal tersebut bukan objek pajak
  • Nilai ekuitas akan semakin tinggi karena surplus revaluasi akan diakui sebagai OCI dan pada akhirnya menjadi ekuitas sehingga memperbaiki posisi DER dan dapat terhindar dari koreksi fiskal biaya pinjaman
         Saya akan berfokus kepada keuntungan di point no. 4 dan 5 karena 3 (tiga) keuntungan sebelumnya bersifat mutlak tanpa perlu diperdebatkan terlalu jauh. Memang benar bahwa surplus revaluasi dapat diconvert menjadi saham bonus dan akan menambah ekuitas, yang artinya juga memperbaiki DER, tapi seberapa besar impactnya bagi perhitungan DER itu sendiri. Dengan kata lain, no doubt tentang tingkat signifikansi recognitionsnya, tapi bagaimana dengan measurementnya (pengukuran).

          Jawaban utama atas aspek pengukuran ini terletak di PMK No 191 pasal 9 ayat 1, dimana surplus revaluasi yang dimasukkan sebagai komponen modal dalam neraca komersial adalah surplus revaluasi komersial. Hal ini tentu konsisten dengan konsep perbedaan akuntansi dan perpajakan sejak awal sampai kepada perkembangannya, yang hanya meliputi komponen penghasilan dan beban (UU PPh No. 36 tahun 2008 vs. PSAK/ISAK terkait) dan juga nilai aset dan liabilitas (PSAK 46). Artinya, ada laba-rugi komersial dan laba-rugi fiskal, selain itu, ada juga neraca komersial dan neraca fiskal. Hanya saja, neraca fiskal ini tidak disajikan atau diungkapkan dimanapun, termasuk dalam pelaporan perpajakan sendiri. Neraca ini hanya dibuat dalam kaitannya dengan menentukan temporary differences sesuai PSAK 46 (hanya sebagai dasar perhitungan saja), misalnya dalam menentukan perbedaan transaksi capital lease antara komersial dan fiskal berdasarkan balance sheet approach. Dapat disimpulkan bahwa secara resmi, ekuitas komersial akan sama dengan fiskal, sesuai dengan ketentuan ayat 1. Selain itu, ketentuan ayat 3 juga menyatakan bahwa saham bonus yang dapat dikapitalisasi hanya sebesar surplus revaluasi komersial jika surplus revaluasi komersial lebih kecil dibandingkan surplus revaluasi fiskal. Apa dampaknya terhadap pengukuran akan ditunjukkan dalam ilustrasi di bawah.
          Selanjutnya, sesuai dengan judul sub-bab ini, maka ilustrasi berikut akan menyajikan korelasi antara kedua PMK yang dibahas dan apa dampak dari pengakuan ekuitas menurut komersial untuk diperhitungkan dalam PMK No 169 serta perhitungan PPh final menurut surplus fiskal dalam PMK No 191 bagi penerimaan negara. Perbedaan data awal antara komersial dan fiskal dalam ilustrasi ini terletak di estimasi masa manfaat aset tetap. Perbedaan ini sudah mengakomodir common practice di dunia bisnis bahwa biasanya (sekali lagi, biasanya) masa manfaat komersial paling tidak sama dengan atau lebih besar dari masa manfaat pajak.
          Asumsi di atas bahwa tidak ada akumulasi rugi penurunan nilai dalam perusahaan sehingga contra-account dari biaya perolehan terbatas pada akumulasi depresiasi. Depresiasi tersebut sudah berjalan selama 1 tahun (1 Jan 15 s.d 31 Des 15), namun dengan perbedaan masa manfaat antara komersial dan pajak. Tentu, dalam hal ini pajak mengikuti aturan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh, dimana jenis harta yang termasuk dalam kelompok tertentu diatur sesuai Lampiran PMK Nomor 96/PMK.03/2009.            
         Setelah itu, sesuai kedua PMK terkait, maka surplus revaluasi komersial dan fiskal akan diperlakukan sebagai berikut:
          Dapat dilihat dengan jelas bahwa total penerimaan pajak bersumber dari kedua PMK ini dengan syarat-syaratnya menjadi lebih besar. Menyambung aspek pengukuran dalam point keuntungan no. 4 dan 5 di atas, maka dapat disimpulkan:
  • Memang benar surplus revaluasi dapat memperbaiki DER, tapi tidak optimal, dalam arti hanya sebesar surplus revaluasi komersial, bukan surplus revaluasi fiskal
  • Memang benar surplus revaluasi dapat dikapitalisasi menjadi saham bonus dan bukan objek pajak (bebas dari PPh 4 ayat 2 - 10% jika pemegang saham adalah OP dan PPh 23 - 15% jika Badan), tapi tidak optimal juga karena hanya dapat dikapitalisasi sebesar surplus revaluasi komersial jika surplus revaluasi komersial < fiskal
  • DPP PPh final dihitung dari surplus revaluasi fiskal, yang biasanya lebih besar (akibat perbedaan masa manfaat tersebut), akibatnya PPh final lebih besar dibandingkan dihitung dengan surplus revaluasi komersial
  • Kombinasi dari aturan-aturan ini terkait satu sama lain, namun outcome akhir untuk penerimaan pajak akan menjadi lebih besar   
          Penting untuk dicatat dan diingat bahwa ilustrasi di atas memposisikan bahwa metode penyusutan komersial dan pajak adalah sama-sama garis lurus, namun dengan masa manfaat komersial lebih besar dibandingkan dengan fiskal. Tentu dalam praktik variasinya bisa terbalik dan berbeda dari ilustrasi sehingga kesimpulan dalam point di atas bisa juga dibalik. Namun sekali lagi, common practice yang ada, biasanya masa manfaat komersial minimal sama dengan atau lebih besar dibandingkan masa manfaat fiskal sehingga akan terjadi hasil seperti di atas.          

C. Kesimpulan

          Bukan kali pertama aturan tentang rasio DER diatur. Pernah diterbitkan aturan serupa pada tahun 1985 dengan ketetapan 3:1, namun langsung dibekukan pada tahun berikutnya karena dikhawatirkan akan menghambat perkembangan dunia usaha di Indonesia. Tujuan singkat PMK No 169 adalah mencegah terjadinya tax avoidance akibat praktik thin capitalizationPemberlakuan PMK ini terhitung mulai tahun pajak 2016 sehingga saat ini, perusahaan sudah harus memproyeksikan dan membuat kertas kerja atas DER ini serta melakukan strategic improvement untuk mengatasinya jika memang breach rasio ini.           Selanjutnya, di sisi lain, PMK No 191 merupakan momentum bagi Perusahaan karena sejatinya terdapat fasilitas khusus bagi revaluasi aktiva tetap dalam bentuk insentif tarif PPh final. Pemerintah terlihat sangat berupaya untuk memberikan win-win solution dalam PMK ini, dimana bagi WP, keuntungan sudah dipaparkan pada sub-bab pembahasan dan bagi Pemerintah dapat mendongkrak penerimaan pajak. Intinya, keduanya dapat diposisikan sebagai driver penerimaan pajak yang masih agak jauh dari target tahun pajak 2015. Aturan-aturan spesifik dalam kedua PMK ini, jika dikaitkan dengan common practice yang ada, maka akan menghasilkan pajak yang lebih besar, artinya Pemerintah sudah memperhitungkan opsi optimal dalam aplikasi kedua PMK ini. Akhir kata, mari kita dukung dan monitor bersama penerapan PMK No 169 dan 191. Salam

----- sekian -----

Gallery Pmk 169 Tahun 2015

Diapositiva 1

Lhps Semester Ii 2017 Calameo Downloader

Salinan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor

Akuntansi Pajak Debt To Equity Ratio Forum Pajak Indonesia

Diapositiva 1

Setelah 31 Tahun Menkeu Batasi Utang Perusahaan Pengurang Pph

Revaluasi Aktiva Tetap Apa Untungnya Bagian Ii

Legal Basis Intax Indo 1 Pdf Legal Basis Perpajakan

2008 Pmk 169

Ppa Feb Ui On Twitter Workshop Antisipasi Menghadapi

Ketentuan Debt Equity Ratio Menurut Pajak Solusi Masalah

Kementerian Bumn

Daftar Sekarang

Akuntansi Der 2016

Per Djp No 25 Thn 2017 Ttg Pelaksanaan Perbandingan Utang

Analisis Efektivitas Pmk Nomor 169 Pmk 010 2015 Pada

Perbandingan Ketentuan Terkait Besarnya Perbandingan Antara

Legal Centric

Menkeu Batasi Utang Pengurang Pph Tambang Pasca Kontrak Habis

Ketentuan Debt Equity Ratio Menurut Pajak Solusi Masalah

Ketentuan Pmk 169pmk2016 Maka Atas Beban Bunga Pinjaman

Diapositiva 1

Legal Centric


0 Response to "Pmk 169 Tahun 2015"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel