Letak Kerajaan Mataram Islam



Videos Matching Peninggalan Kerajaan Mataram Islam Revolvy

Kerajaan Mataram Islam

A. Letak Geografis Kerajaan Mataram

      Kerajaan mataram berdiri pada tahun 1582. Pusat kerajaan ini terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Menurut berita-berita kuno tentang Mataram, wilayahnya Di daerah aliran Sungai Opak dan Progo yang bermuara di Laut Selatan. Membentang antara Tugu sebagai batas utara dan Panggung Krapyak di batas selatan, antara Sungai Code di timur dan Sungai Winongo sebelah barat. Antara Gunung Merapi dan Laut Selatan, Kraton dalam pikiran masyarakat Jawa, diartikan sebagai pusat dunia yang digambarkan sebagai pusat jagad.

Di daerah aliran Sungai Opak dan Progo yang bermuara di Laut Selatan. Membentang antara Tugu sebagai batas utara dan Panggung Krapyak di batas selatan, antara Sungai Code di timur dan Sungai Winongo sebelah barat. Antara Gunung Merapi dan Laut Selatan, Kraton dalam pikiran masyarakat Jawa, diartikan sebagai pusat dunia yang digambarkan sebagai pusat jagad.

B.  Sejarah Kerajaan Mataram

            Banyak sekali sumber yang mengatakan sejarah kerajaan berdirinya kerajaan Mataram yaitu:

1.      Mitos Wahyu Keprabon

Hadirnya sebuah mitos, yang mengiringi hadir dan berkembangnya sebuah kerajaan adalah wajar. Sebab, mitos adalah penjaga kepercayaan rakyat, sehingga dengan mitos itu, rakyat tetap percaya bahwa raja adalah utusan dan anak dewa yang berhak memimpinnya hingga akhir hayat. Walaupun mestinya mitos tersebut harusnya makin hilang, seiring dengan tumbuh kembangnya ajaran Islam di kerajaan Mataram Islam.

Dinasti Mataram Islam sesungguhnya berawal dari keluarga petani, begitulah yang tertulis pada Babad Tanah Jawi. Kisahnya berlangsung di pinggiran Kali Opak, di Yogyakarta sekarang. Suatu hari, adalah seorang petani bernama Ki Ageng Giring. Sementara ia mencangkul di ladang, tiba-tiba ada kelapa muda jatuh lalu terdengar suara; “barangsiapa minum air kelapa muda ini, ia dan keturunannya bakal berkuasa di Tanah Jawa”. Konon “wahyu keprabon” yang ada dalam kelapa muda itu adalah sabda wali terkenal di Jawa, Sunan Kalijaga. Ki Ageng Giring lalu membawa pulang cengkir (kelapa muda) yang masih hijau segar itu. Namun ia tak bisa segera meminumnya, karena pada saat itu ia sedang tirakat berpuasa, hingga kemudian ia pergi membersihkan diri di sungai. Tak lama kemudian datang sahabatnya, Ki Gede Pemanahan bertamu. Melihat kelapa muda tergeletak, tamu yang haus itupun segera meminumnya. Pada tetes terakhir Ki Ageng Giring muncul. Ia melihat air kelapa muda itu telah terminum oleh orang lain. Ia sangat menyesal dan kecewa. Tapi apa daya, ia hanya bisa meminta, agar sewaktu-waktu kelak, sesudah keturunan Gede Pemanahan yang ketujuh, keturunannya lah yang akan menggantikan menguasai Jawa”.

 2. Hadiah Sultan Hadiwijaya dari Kerajaan Pajang

Banyak versi mengenai masa awal berdirinya kerajaan Mataram berdasarkan mitos dan legenda. Pada umumnya versi-versi tersebut mengaitkannya dengan kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Demak dan Pajang. Menurut salah satu versi, setelah Demak mengalami kemunduran, ibukotanya dipindahkan ke Pajang dan mulailah pemerintahan Pajang sebagai kerajaan. Kerajaan ini terus mengadakan ekspansi ke Jawa Timur dan juga terlibat konflik keluarga dengan Arya Penangsang dari Kadipaten Jipang Panolan. Setelah berhasil menaklukkan Aryo Penangsang, Sultan Hadiwijaya (1550-1582), raja Pajang memberikan hadiah kepada 2 orang yang dianggap berjasa dalam penaklukan itu, yaitu Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Ki Ageng Pemanahan memperoleh tanah di Hutan Mentaok dan Ki Penjawi memperoleh tanah di Pati.

Pemanahan berhasil membangun hutan Mentaok itu menjadi desa yang makmur, bahkan lama-kelamaan menjadi kerajaan kecil yang siap bersaing dengan Pajang sebagai atasannya. Setelah Pemanahan meninggal pada tahun 1575 ia digantikan putranya, Danang Sutawijaya, yang juga sering disebut Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Sutawijaya kemudian berhasil memberontak pada Pajang. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat (1582) Sutawijaya mengangkat diri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati. Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah bagian daari Mataram yang beribukota di Kotagede.

Selama pemerintahannya boleh dikatakan terus-menerus berperang menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak menyerah, Panaraga, Pasuruan, Kediri, Surabaya, berturut-turut direbut. Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya. Panembahan Senapati dalam babad dipuji sebagai pembangun Mataram.

C. Masa Kejayaan Mataram

Setelah masa Panembahan Senopati (1584- 1601 M) dan Seda Ing Krapyak (1601-1603 M). Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma yang menjadi raja ketiga dari kerajaan Mataram. Sesungguhnya pengganti Panembahan Krapyak yang dahulu dijanjikan adalah Raden Martapura (adik dari Den Mas Rangsang). Saat ia keluar untuk melakukan upacara pengangkatan, ia mendengar  bisikan Ki Adipati Mandraka sehingga Raden Martapura yang pada saat itu baru berumur sekitar 7 hingga 8 tahun meletakkan jabatannya dan menyerahkannya kepada Den Mas Rangsang yang sudah berusia sekitar 20 tahun sebagai raja dengan gelar Sultan Agung Hanyakrakusuma. Sultan Agung memerintah dari tahun 1613-1646 M.

Berbagai penaklukan dan pertempuran pertama Sultan Agung setelah pengangkatannya terjadi antara 1613-1619 M, diawali dengan serangan militer atas sebuah aksi perampokan ke ujung timur jawa pada tahun 1614 M. Kemudian pertempuran di sungai Andaka (1614 M) yang merupakan serangan Pangeran Surabaya bersama dengan rakyat Pasuruan dan Madura terhadap pasukan Mataram. Selanjutnya penaklukan Wirasaba pada tahun 1615 M karena posisinya yang strategis di pinggir Sungai Brantas sebagai pintu masuk Delta Brantas ke Ujung Timur Jawa. Setelah jatuhnya Wirasaba, pertempuran terjadi di Siwalan (1616 M) yang direncanakan oleh bupati- bupati daerah Timur terhadap Mataram. Mataram melanjutkan lagi dengan penaklukan beberapa daerah meliputi; Lasem (akhir 1616 M), Pasuruan (1617), Tuban (1619). Rangkaian kemenangan Mataram ini sempat diputus oleh pemberontakan Pajang (1617). Adipati Pajang merasa diperlakukan tidak adil oleh raja Mataram. Permasalahan muncul ketika bawahan Adipati Pajang, Ngabei Tambakbaya menolak perintah raja Mataram untuk menyerahkan kudanya yang bagus, yang bernama Domba. Akhirnya kedua penguasa Pajang tersebut harus menghadapi kemarahan raja Mataram.

Pada awalnya Mataram mengharapkan hubungan yang baik dengan VOC, antara lain karena Sultan Agung membutuhkan sekutu untuk melawan musuh-musuh Mataram, seperti Surabaya yang juga telah menimbulkan kesulitan bagi Kompeni untuk pelayaran bebas di pulau- pulau rempah atau untuk melawan Banten tempat dimana Kompeni tidak mempunyai kedudukan apapun. Begitu harapan agar Mataram tidak dipandang asing di mata dunia. Berbagai kesepakatan dibuat, seperti pembangunan loji di Jepara untuk Belanda dan pemberian 2 buah meriam Belanda untuk Mataram. Namun pada akhirnya kedua belah pihak merasa kecewa satu sama lain. Sultan Agung melakukan beberapa kali serangan terhadap lawannya yaitu Surabaya. Serangan tersebut dilakukan hingga lima kali berturut- turut, serangan pertama pada tahun 1620 dan serangan kedua pada tahun 1621. Pada tahun 1622 Mataram berhasil menduduki Sukadana yang merupakan daerah kekuasaan Surabaya, stategi penyerangan dilakukan pada malam hari dengan senjata sumpit panah beracun. Serangan ketiga dilanjutkan pada tahun yang sama. Serangan keempat pada 1623. Penyerangan Mataram dialihkan ke Madura yang diduga sebagai tempat penyuplai makanan untuk Surabaya. Penaklukan atas Madura berhasil pada tahun 1624 M. Nasib raja- raja Madura berakhir tragis dalam pelarian, ada yang berhasil namun lebih banyak mereka tertangkap dan dibunuh. Mataram kembali pada Surabaya dengan serangannya yang kelima pada 1624. Stategi penyerangan dilakukan oleh Sultan Agung dengan menutup saluran air yang menjadi masalah bagi Surabaya sampai abad ke-19, akhirnya mematahkan pertahanan Surabaya, hingga Surabaya menyerah pada tahun 1625 M. Sampai disini, Sultan Agung telah berhasil menaklukan dua kerajaan besar yang menjadi musuhnya, yaitu kerajaan Surabaya dan Madura.

Sultan Agung memiliki wajah yang kejam, kulit yang lebih hitam dibanding orang- orang jawa pada umumnya, berbadan bagus, memiliki hidung kecil dan tidak pesek, mulut datar dan agak lebar, kasar dalam bahasa, agak lamban dalam berbicara, berwajah tenang dan bulat, dan terlihat cerdas. Ia memerintah dengan sangat keras, memandang sekelilingnya seperti singa. Ia memiliki sifat ingin tahu, bertindak sangat tegas, dan haus akan ilmu pengetahuan, pemarah, selalu waspada, tidak mempercayai siapapun termasuk keluarganya sendiri, seorang yang arif namun keras hati. Sultan Agung patuh terhadap agama Islam, ia memberlakukan tarikh Islam, secara teratur mengikuti sembahyang Jumat di Mekah. Ia secara teratur pergi ke Mesjid dan para pembesar diharuskan mengikutinya. Pada grebek Puasa 9 Agustus 1622 Sultan Agung pergi ke Mesjid meskipun itu bukan tahun Dal. Setiap tahun raja menghadiri perayaan tersebut. Sebelum 1633, setiap tawanan perang harus dikhitan juga dengan ancaman mati. Prajurit- prajurit Mataram dapat mudah dikenali karena mereka berambut pendek dan memakai kuluk putih. Tidak lama sebelum Sultan Agung wafat ia menyuruh pangkas rambutnya. Hal inilah yang menandai bahwa ia kuat dalam menjalankan Islam. Dari semua kegemilangan yang diraih oleh Sultan Agung, terdapat juga masalah pada masa pemerintahannya seperti wabah pada 1625- 1627. Setelah Surabaya menyerah, militer Mataram mengalami kemunduran. Banyaknya kematian, peperangan, kelesuan, bahan makanan yang mahal, pajak yang berat di seluruh tanah Jawa. Di Banten, sepertiga penduduk meninggal. Di Cirebon, 2000 orang meninggal dunia dalam musim panas. Begitu pula di Kendal, Tegal, Jepara, dan semua tempat pantai sampai Surabaya, juga dipedalaman. Orang meninggal dunia tidak dapat dihitung, kebanyakan disebabkan oleh penyakit paru- paru yang menyebabkan sesak nafas sehingga dalam satu jam saja orang dapat meninggal. Penyakit ini terus mewabah hingga tiga tahun. Mataram mengalami kemunduran dan kemiskinan karena banyak lahan pertanian menjadi gersang.

Pada tahun 1627 terjadi pemberontakan Pati. Sultan Agung mendapat hasutan Tumenggung Endranata (seorang dari enam penasehat raja Mataram) yang kemudian setelah Pati berhasil dikuasai seluruhnya oleh Mataram, Tumenggung Endranata harus membayarnya dengan nyawanya. Setelah berakhirnya pemberontakan Pati, Sultan Agung memfokuskan dirinya untuk merebut kedudukan Kompeni Belanda. Hal ini sudah lama diinginkan Sultan Agung, mengingat Belanda selalu turut campur pada banyak peperangan Mataram melawan musuhnya saat itu, seperti saat melawan Surabaya. Sultan Agung melakukan pengepungan yang pertama ke Batavia pada tahun 1628 M. Kemudian pengepungan yang kedua terjadi pada tahun 1629 M. Namun sayang, kedua penyerangan ini gagal. Sultan Agung membunuh panglima yang kembali pada penyerangan pertama dalam keadaan hidup. Pilihannya adalah membawa pulang kemenangan atau mati. Namun pada penyerangan yang kedua Sultan Agung bersikap lebih lunak karena ada tindakan perlawanan dari panglima yang menolak hukuman mati tersebut. Saat itu Sultan Agung adalah penguasa daerah pertama yang berani melakukan penyerangan terhadap VOC.

Setelah kegagalan pengepungan terhadap Batavia, Sultan Agung mengharapkan bantuan Portugis yang pada saat itu sedang mengalami masa kegemilangan setelah berhasil mengusir armada Aceh di Malaka. Susuhunan mengirimkan surat dua kali pada tahun 1628 dan 1630 M kepada Portugis untuk membantu Mataram. Permintaan ini disambut baik oleh Portugis, apalagi saat itu Portugis menentang VOC. Baginya setiap sekutu harus diterima dengan baik dan kesempatan yang menguntungkan ini pasti akan dimanfaatkan. Untuk bantuan itu didatangkanlah perutusan portugis yang pertama pada tahun 1631 dan yang kedua pada tahun 1632-1633 M.

Setelah dua kali mengalami kegagalan, Sultan Agung tidak lagi sungguh- sungguh mempertahankan peruntungannya yang penting adalah mendapatkan penghormatan yang jelas dan tegas dari Kompeni. Untuk itulah dibuka perundingan pada tahun 1630 M lewat utusan yang dikirim, namun VOC tidak langsung menyetujui perdamaian karena mencurigai pembawa pesan. Maka VOC mengutus Pieter Franssen ke Mataram, namun misi mencari tahu perdamaian ini gagal, begitu pula dengan perundingan 1632- 1634 M. Kemudian terjadilah Perang Laut (1633- 1634 M), dimana saat itu mataram mengejar armada VOC. Pada saat itu setiap kapal asing yang berlayar antara Banten dan Batavia akan diserang oleh kapal milik Mataram atau VOC. Namun kemudian pada sekitar tahun 1635 Mataram mulai merubah politiknya dengan menarik sekitar 40 hingga 50-an kapak Jawa yang kecil-kecil. Sesungguhnya kegagalan Mataram hingga dua kali di depan VOC menimbulkan ketegangan dalam kerajaan, berupa pemberontakan Sumedang dan Ukur (1628- 1635 M) dan ketegangan di Pedalaman (1630 M) yaitu wilayah Mataram yang mengancam pusat kerajaan hingga Sultan Agung berziarah ke Tembayat (1633) menghadap makam yang keramat atas masa- masa sulit yang dihadapi kerajaannya. Hal ini merupakan sebuah pengorbanan diri yang amat besar bagi Sultan Agung karena makam tembayat itu lebih banyak mendapat perhatian orang- orang kecil, pedagang, dan pengrajin. Pada tahun yang sama, Sultan Agung menjadikan awal tarikh Islam Hindu jawa yang baru yaitu pada hari Jumat 8 Juli 1633 M. Dua tahun setelah kunjungannya ke Tembayat dan penggunaan penanggalan yang baru, Mataram mengangkat senjata terhadap raja ulama Giri. Giri takluk pada 1636 M. Sementara disela itu Mataram berdamai dengan Surabaya (1628-1633 M) tanpa perlawanan karena sikap Pangeran Pekik yang memilih berdamai hingga Sultan Agung menikahkannya dengan adiknya, Ratu Pandan Sari. Perundingan antara Mataram dan Belanda terus berlangsung 1636- 1642 M, hubungan tetap saja memburuk Sultan Agung memanfaatkan usaha perundingan ini untuk meminta berbagai hadiah kepada Pemerintah Tinggi Belanda dengan memanfaatkan tawanan Belanda di Kerajaan Mataram. Perundingan ini terus berlanjut selama 6 tahun namun tanpa hasil hingga kematian Sultan Agung. Pada tahun sebelumnya (1635 M) Mataram melakukan serangan yang pertama ke Blambangan. Kemudian serangan berikutnya terjadi selama 4 tahun dari tahun1636 M hingga Blambangan berhasil ditaklukan pada 1640 M.

Kerajaan Mataram memiliki pengaruh yang besar bahkan menjangkau jauh hingga luar Jawa terutama setelah Surabaya jatuh pada tahun 1625 M. Hal ini terbukti dari kerajaan di luar Jawa seperti pada musim hujan tahun 1625- 1626 M dimana raja Palembang mengirimkan duta kepada sang penguasa besar dengan tujuh ekor gajah dan hadiah- hadiah lain dengan harapan Mataram akan membantu Palembang untuk melawan Banten. Begitu pula dengan Jambi yang berdekatan dengan Palembang. Atas prakarsa Palembang, Jambi mengupayakan penyerahan pos- pos diplomatik Belanda kepada Mataram. Sementara dengan Banjarmasin pada bulan Oktober 1641 tibalah seorang utusan raja Banjarmasin di Jepara dengan 500 orang pengiring yang membawa hadiah- hadiah terdiri dari merica, rotan, barang- barang anyaman, dan lilin. Hal ini dilakukan raja Jambi dengan maksud perdamaian setelah sebelumnya terdengar desas- desus penyerangan yang mengakibatkan hubungan kedua kerajaan ini tegang. Pengaruh kerajaan Mataram bahkan meluas hingga Sulawesi. Pada bulan Juni 1680 utusan Makasar tiba di Mataram dengan membawa dua ekor kuda dan sebuah tempat tidur dari emas untuk Sultan Agung. Sementara dengan Cirebon, Panembahan Ratu yang dianggap sebagai guru raja Mataram, menghadiri Sidang Raya Kerajaan (1636 M) untuk memperbesar kewibawaan susuhunan.

        Pada tahun- tahun terakhir sebelum wafatnya Sultan Agung baik di laut maupun  di darat keadaan medan perang tenang sekali meskipun baik Mataram maupun Kompeni masing- masing tidak melepaskan tawanan kedua belah pihak. Usaha perdagangan  terus berkembang dan dari segala sudut tanah Jawa segala macam barang diangkut ke Batavia berlimpah- limpah. Dalam surat- menyurat yang sering terjadi antara Sultan Agung dan Pemerintah Tinggi Belanda, Pemerintah Tinggi berulang kali menggunakan gelar ”Yang Mulia” yang sangat mengesankan. Bahkan sesudah wafatnya Sultan Agung, karisma ketegasan beliau masih terasa ketika Wiraguna yang mempunyai kekuasaan di pemerintahan kekuasaan, menjatuhkan hukuman kepada beberapa tawanan Belanda yang minta dibebaskan. Tokoh yang kuat ini tidak mudah dilupakan bahkan setelah puluhan tahun wafatnya ketika usia lanjut pada tahun 1648 M.

Sehubungan dengan kematian Sultan Agung yang menarik perhatian bahwa menurut cerita tutur dalam Serat Khanda (hal. 992-926), dewi kematian Lara Kidul meramalkan kematian Sultan Agung dua tahun sebelumnya, yaitu ketika raja mengunjungi Nyi Lara Kidul di istananya di bawah laut.  Jadi, awal 1644 raja telah mengetahui atau merasa bahwa ia akan meninggal. Maka, Sultan Agung mempersiapkan diri untuk menghadapi kematiannya, antara lain dengan pembangunan makam di bukit pada tahun 1629- 1630 M di Imogiri. Pembangunan makam di atas bukit ini harus dihubungkan dengan pengangkatannya sebagai Susuhunan pada tahun 1624 M. Dimana dahulu gelar ini hanya diberikan untuk para wali dan diberikan hanya setelah mereka wafat. Pemakaman di atas bukit ini merupakan usaha melestarikan pengaruh dalam bidang spiritual.

        Sultan Agung meninggal di pendapa keratonnya. Mungkin ia meninggal karena wabah yang menyerang Mataram pada masa itu. Selama penyakitnya terakhir, raja mengadakan peraturan untuk mencegah perebutan tahta antara putra mahkota dan saudaranya pangeran Alit. Oleh karena itu ia memanggil Tumenggung Wiraguna dan pembesar lainnya yang tidak disebut namannya, mungkin Pangeran Surabaya, agar pilihan penggantinya disetujui dan diperkuat oleh mereka. Untuk mencegah segala kemungkinan, ia menahan mereka di istana dan semua gerbang tol dijaga oleh para prajurit. Tidak lama kemudian raja wafat, mungkin sekitar tengahan pertama bulan Februari 1646 M.

D. Pengaruh Kebudayaan Islam di Kerajaan Mataram

  Berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Indonesia yang bersifat maritim, kerajaan Mataram bersifat agraris. Kerajaan yang beribu kota di pedalaman Jawa ini banyak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu baik pada lingkungan keluarga raja maupun pada golongan rakyat jelata. Pemerintahan kerajaan ini ditandai dengan perebutan tahta dan perselisihan antaranggota keluarga yang sering dicampuri oleh Belanda. Kebijaksanaan politik pendahulunya sering tidak diteruskan oleh pengganti-penggantinya. Walaupun demikian, kerajaan Mataram merupakan pengembang kebudayaan Jawa yang berpusat di lingkungan keraton Mataram. Kebudayaan tersebut merupakan perpaduan antara kebudayaan Indonesia lama, Hindu-Budha, dan Islam. Kehidupan sosial ekonomi Mataram cukup maju. Sebagai kerajaan besar, Mataram maju hampir dalam segala bidang, pertanian, agama, budaya. Pada zaman Kerajaan Majapahit, muncul kebudayaan Kejawen, gabungan antara kebudayaan asli Jawa, Hindu, Buddha, dan Islam, misalnya upacara Grebeg, Sekaten. Karya kesusastraan yang terkenal adalah Sastra Gading karya Sultan Agung. Pada tahun 1633, Sultan Agung mengganti perhitungan tahun Hindu yang berdasarkan perhitungan matahari dengan tahun Islam yang berdasarkan perhitungan bulan.

Sultan agung juga berprediksi sebagai pujangga. Karyanya yang terkenal yaitu kitab Serat Sastra Gendhing. Adapun kita serat Nitipraja digubahnya pada tahun 1641 M. Serat sastra Gendhing berisi tetang budi pekerti luhur dan keselarasan lahir batin. Serat Nitipraja berisi tata aturan moral, agar tatanan masyarakat dan negara dapat menjadi harmonis. Selain menulis, Sultan Agung juga memerintahkan para pujangga kraton untuk menulis sejarah babad tanah jawi.Di antara semua karyanya , peran sultan agung yang lebih membawa pengaruh luas adalah dalam penanggalan. Sultan agung memadukan tradisi pesantren islam dengan tradisi kejawen dalam perhitungan tahun. Masyarakat pesantren biasa menggunakan tahun hijriah, masyarakat kejawen menggunakan tahun Caka atau saka. Pada tahun 1633, Sultan Agung berhasil menyusun dan mengumumkan berlakunya sistem perhitungan tahun yang baru bagi seluruh mataram. Perhitungan itu hampir seluruhnya disesuaikan dengan tahun hijriah, berdasarkan perhitungan bulan. Namun, awal perhitungan tahun jawa ini tetap sama dengan tahun saka, yaitu 78 m. Kesatuan perhitungan tahun sangat penting bagi penulisan serat babad. Perubahan perhitungan itu merupakan sumbangan yang sangat penting bagi perkembangan proses pengislaman tradisi dan kebudayaan jawa yang sudah terjadi sejak berdirinya kerajaan demak. Hingga saat ini, sistem penanggalan ala sultan Agung ini masih banyak digunakan.

Sejak masa sebelum sultan Agung pembangunan non-militer memang telah dilakukan. Satu yang layak disebut, panembahan Senapati menyempurnakan bentuk wayang dengan tatanan gempuran. Setelah zaman senapati, mas jolang juga berjasa dalam kebudayaan, dengan berusaha menyusun sejarah negeri demak, serta menulis beberapa kitap suluk. Misalnya Sulu Wujil (1607 M) yang berisi wejangan Sunan bonang kepada abdi raja majapahit yang bernama Wujil. Pangeran Karanggayam juga menggubah Serat Nitisruti (1612 m) pada masa mas jolang.

Di samping dalam bidang politik dan militer, Sultan Agung juga mencurahkan perhatiannya pada bidang ekonomi dan kebudayaan. Upayanya antara lain memindahkan penduduk Jawa Tengah ke Kerawang, Jawa Barat, di mana terdapat sawah dan ladang yang luas serta subur. Sultan Agung juga berusaha menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan Indonesia asli dengan Hindu dan Islam. Misalnya Garebeg disesuaikan dengan hari raya Idul Fitri dan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sejak itu dikenal Garebeg Puasa dan Garebeg Mulud. Pembuatan tahun Saka dan kitab filsafat Sastra Gendhing merupakan karya Sultan Agung yang lainnya.

E. Keruntuhan Mataram

Mataram mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Agung. Setelah Sultan Agung digantikan dengan raja-raja berikutnya, kerajaan Mataram banyak mengalami kemunduran. Amangkurat I yang menggantikan Sultan Agung memerintah dengan dzalim. Masa pemerintahannya banyak diwarnai dengan pembunuhan. Diantaranya adalah pembunuhan yang dilakukannya terhadap Pangeran Pekik dari Surabaya (ayah mertua Amamngkurat I sendiri) beserta keluarga dan 60 panglima penting atas hasutan Pangeran Giri dari Gresik yang membenci Pangeran Pekik yang juga merupakan pamannya.

Hal ini lah yang menjadi penyebab awal dari permusuhan Putra Mahkota (Amangkurat II) terhadap ayahnya. Dalam setiap konflik yang terjadi, yang tampil sebagai lawan adalah mereka yang didukung oleh para ulama yang bertolak dari keprihatinan agama. Karena merasa khawatir dengan kedudukannya, ia bahkan membunuh sekitar 5000-6000 ulama yang dicurigai beserta keluarganya. Begitu pula dengan raja selanjutnya. Amangkurat II yang juga pada tahun 1659 mendapat nama Pangeran Anom dan dua tahun kemudian menjadi Pangeran Adipati. Amangkurat II memiliki perangai yang buruk berkaitan dengan berahinya seperti kebiasaannya keluar setiap setiap malam untuk memperkosa wanita dan gadis muda. Hal ini membuat para pembesar dan rakyat kecil membencinya. Mereka pantang mempunyai istri yang cantik karena selama lima atau enam tahun istri mereka diminta dan digauli baru setelah itu dikembalikan kepada suaminya. Suatu sumber menyebutkan bahwa Adipati Anom berkomplot dengan Pangeran Purbaya untuk menyingkirkan Sunan Amangkurat I selagi ia masih memimpin. Pada tahun 1677 M terjadilah Perang Trunajaya yang mendapat dukungan dari kaum ulama, bangsawan, bahkan Putra Mahkota sendiri. Hingga ibukota Plered jatuh (28 Juni 1677) dan melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Saat dalam pelarian, Amangkurat I sakit, dan kemudian wafat pada tanggal 13 Juli 1677 M di Tegalarum. Setelah Amangkurat I wafat, kemudian digantikan oleh Amangkurat II (Adipati Anom) bertahta dari tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC dan sebagai kompensasinya VOC menghendaki perjanjian yang berisi: Mataram harus menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram harus mengganti kerugian akibat perang. Oleh karena keraton Kerta telah rusak, ia memindahkan kratonnya ke Kertasura (1681 M). Kraton dilindungi oleh benteng tentara VOC. Pada masa ini Amangkurat II berhasil menyelesaikan persoalan Pangeran Puger (adik Amangkurat II). Namun karena tuntutan VOC kepadanya untuk membayar ganti rugi biaya perang dalam perang Trunajaya, Mataram lantas mengalami kesulitan keuangan. Dalam kesulitan itu ia berusaha ingkar kepada VOC dengan cara mendukung Surapati yang menjadi musuh dan buron VOC.

Hubungan Amangkurat II dan VOC menjadi tegang dan semakin memuncak. Setelah Amangkurat II mangkat dan digantikan oleh putranya, Amangkurat III. Ia juga menentang VOC, maka VOC tidak setuju dengan penobataanya dan lantas secara sepihak mengakui Pangeran Puger sebagai raja Mataram dengan gelar Paku Buwana I. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perang saudara yang dikenal dengan sebutan Perang Perebutan Mahkota I (1704-1708). Akhirnya Amangkurat III menyerah dan dibuang ke Sailan ooleh VOC. Sementara Pakubuwana I harus membayar ongkos perang dengan menyerahkan Priangan, Cirebon, dan Madura bagian Timur kepada VOC.

Setelah Paku Buwana I meninggal pada tahun 1719. Ia digantikan oleh putranya Sunan Prabu atau Amangkurat IV (1719-1727). Dalam masa pemerintahannya terjadi Perang Perebutan Mahkota II (1917-1723), seperti biasa VOC turut andil dalam konflik ini. Sunan Prabu meninggal pada tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buana II (1727-1749). Hubungan manis VOC dan Paku Buwana II menyebabkan rasa tidak suka golongan bangsawan yang merasa terancam akan peranannya dalam ekonomi. Hal ini menimbulkan pemberontakan Geger Patjina yang dipimpin oleh Raden Mas Said. Untuk menyelesaikan pemberontakan ini Paku Buwana II mengutus adiknya, Pangeran Mangkubumi dengan menjanjikan hadiah tanah di Sukowati (Sragen sekarang). Ketika Mangkubumi berhasil, Paku Buwana II justru mengingkarinya, sehingga Mangkubumi berdamai dengan Raden Mas Said dan berbalik melakukan pemberontakan yang disebut sebagai Perang Perebutan Mahkota III (1714-1755). Paku Buwana II dan VOC tak mampu menghadapi 2 bangsawan yang didukung oleh rakyat tersebut, hingga akhirnya Paku Buwana II jatuh sakit dan wafat pada 1749 M. Namun menurut pengakuan Hogendorf, wakil VOC Semarang saat sakaratul maut Paku Buwana II menyerahkan tahtanya kepada VOC. Akhirnya VOC merasa berdaulat penuh atas Mataram dan mengangkat putra mahkota menjadi Paku Buwana III. Pengangkatan ini  tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Justru saat itu terjadi perpecahan antara Mangkubumi dengan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada diatas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia untuk mengajak Mangkubumi berunding.

Ajakan itu diterima oleh Mangkubumi dan terjadilah apa yang disebut sebagai Palihan nagari atau Perjanjian Giyanti (1755).  Isi perjanjian itu mataram dinagi menjadi 2 bagian. Bagian Barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang bergelar Hamengku Buwono I yang mendirikan kraton di Yogyakarta (Kasultanan  Yogyakarta). Sedangkan bagian timur, diberikan kepada Sri Susuhunan Paku Buwana III (Kasunanan Surakarata).

Kemudian di tahun 1757, lewat Perjanjian Salatiga, Sunan PB III pun menyerahkan wilayah Karanganyar dan Wonogiri kepada sepupunya, Raden Mas Said, yang memimpin pemberontakan Geger Patjina ketika Mataram diperintah oleh PB II. Raden Mas Said kemudian menyatakan diri sebagai Mangkunegoro I, dan memimpin Puro Mangkunegaran sampai 1795. Hingga masa sekarang kita mengenal Kerajaan Mataram dalam wujud pemerintahan swa-praja, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Puro Mangkunegaran dan Puro Pakualaman. Puro Mangkunegara terletak di kota Solo. Sementara Puro Pakualaman terletak di wilayah Pajang, Bagelan sebelah barat Jogja dan terletak di antara sungai Progo dan Bogowonto, di daerah Adikarto.

F. Peninggalan Kerajaan Mataram

a.       Babad Tanah Djawi

b.      Babad Meinsma

c.       Serat Kandha

d.      Serat Centini

e.       Serat Cabolek

Serat Cabolek juga merupakan karya dari Kyai Yasadipura I dan ditulis sejaman denga Serat Centini. Dengan mengambil latar belakang Kerajaan Mataram Kartasura masa pemerintahan Sunan Amangkurat IV (1719-1726) dan putranya Sunan Paku Buwana II (1729-1749), Serat Cabolek bercerita tentang kisah Haji Ahmad Mutamakin dari Desa Cabolek, Tuban (ada yang menyebut berasal dari Pati) yang diadili oleh Ulama Mataram karena sikap keagamaannya. Dalam serat cabolek ini digambarkan tentang sikap keagamaan masyarakat Keraton Surakarta yang lebih menekankan pada ajaran syariah.

f.      Serat Dharma Wirayat yang sangat populer sebagai karya Sri Paku Alam III.

g.       Serat Nitipraja

h.       Babad Sangkala

i.         Babad Sankalaniang Momana

j.        Sadjarah Dalem

a.         Sastra Ghending karya Sultan Agung

b.         Tahun Saka

Pada tahun 1633, Sultan Agung mengganti perhitungan tahun Hindu yang berdasarkan perhitungan matahari dengan tahun Islam yang berdasarkan perhitungan bulan.

c.         Kerajinan Perak

Perak Kotagede sangat terkenal hingga ke mancanegara, kerajinan ini warisan dari orang-orang Kalang.

d.      Kalang Obong

Upacara tradisional kematian orang Kalang, upacara ini seperti Ngaben di Bali, tetapi kalau upacara Kalang Obong ini bukan mayatnya yang dibakar melainkan pakaian dan barang-barang peninggalannya.

e.       Penjual Kipo

Makanan tradisional ini sangat khas dan hanya ada di Kotagede, terbuat dari kelapa, tepung, dan gula merah.

f.       Pertapaan Kembang Lampir

Kembang Lampir merupakan petilasan Ki Ageng Pemanahan yang terletak di Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul. Tempat ini merupakan pertapaan Ki Ageng Pemanahan ketika mencari wahyu karaton Mataram.

  • Bangunan- Bangunan, Benda Pusaka, dan Lainnya:
  1. Segara Wana dan Syuh Brata

Adalah meriam- meriam yang sangat indah yang diberikan oleh J.P. Coen (pihak Belanda) atas perjanjiannya dengan Sultan Agung. Sekarang meriam itu diletakkan di depan keraton Surakarta dan merupakan meriam yang paling indah di nusantara.

  1. Puing- puing candi- candi Syiwa dan Budha di daerah aliran Sungai Opak dan Progo yang bermuara di Laut Selatan. (buku)
  2. Batu Datar di Lipura yang tidak jauh di barat daya Yogyakarta
  3. Baju “keramat” Kiai Gundil atau Kiai Antakusuma
  4. Masjid Agung Negara

Masjid Agung dibangun oleh PB III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768.

Masjid Jami Pekuncen yang berdiri di Tegal Arum, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, merupakan salah bangunan peninggalan Islam yang dibuat Sunan Amangkurat I sebagai salah satu tempat penting untuk penyebaran Islam kala itu.

  1. Gerbang Makam Kota Gede[61]

Gerbang ini adalah perpaduan unsur bangunan Hindu dan Islam.

Sebagai kerajaan Islam, Mataram memiliki banyak peninggalan masjid kuno, inilah masjid di komplek makam Kotagede yang bangunannya bercorak Jawa.

  1. Bangsal Duda
  2. Rumah Kalang
  3. Makam Raja- Raja Mataram di Imogiri

Gallery Letak Kerajaan Mataram Islam

Letak Lokasi Kerajaan Mataram Islam Baabun

Kerajaan Mataram Islam Dari Berdiri Sampai Akhir Masa Jaya

Mama Review On Twitter 1 Masjid Gedhe Mataram Masjid

Blog Muhammad Al Amin Maret 2017

Perkembangan Kerajaan Islam Di Indonesia Masyarakat

Kerajaaan Mataram Islam Sejarah Singkat Peninggalan

Mengenal 3 Situs Peninggalan Keraton Mataram Islam Di

Kerajaan Mataram Islam Sejarah Raja Bukti Peninggalan

Sejarah Kerajaan Mataram Pengertian Letak Awal Berdiri

Powtoon Sejarah Kerajaan Mataram Islam

Jelaskan Letak Kerajaan Mataram Islam Dan Kerajaan Banten

Kesultanan Mataram Wikipedia Bahasa Melayu Ensiklopedia Bebas

Kerajaan Mataram Kuno Masa Kejayaan Dan Peninggalan

Kerajaan Mataram Islam Sejarah Peradaban Kejayaan

Kotagede Saksi Bisu Berdirinya Kerajaan Mataram Islam

Kerajaan Matara By Fitrii Anii Nurrjannah On Prezi

Kerajaan Mataram Islam Letak Pendiri Dan Peninggalan

Struktur Peta Kerajaan Mataram Brainly Co Id

Kerajaan Kerajaan Islam Di Indonesia Dan Sejarah

When Did Indonesians Become Muslim Is It True That They

Sejarah Kerajaan Indonesia By Emir Tabrani On Prezi

Wisata Sejarah Teka Teki Letak Kerajaan Mataram Di Kotagede

Sejarah Lengkap Kerajaan Mataram Islam

Pakubuwana Ii Tidak Dapat Memghadapi Kekuatan Mereka Berdua

Kerajaan Mataram Islam

Video Sejarah Kerajaan Mataram Islam

Kerajaaan Mataram Islam Sejarah Singkat Peninggalan


0 Response to "Letak Kerajaan Mataram Islam"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel