1. Bagaimana sejarah konsep civil society dan masyarakat madani? Secara singkat, konsep civil society adalah konsep yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat di Eropa Barat yang sedang mengalami perubahan dari polsa kehidupan foedal menuju masyarakat industri. Jika diliat lebih jauh, konsep civil society sudah ada sejak zaman Yunani Kuno, pada masa Aristoteles (384-322 SM) bernama koinoniah politike yang dipahami sebagai sistem kenegaraan yaitu sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam percaturan politik dan ekonomi dan pengambilan keputusan.
Selanjutnya konsep ini banyak diikuti dan dikembangkang oleh filsuf dunia, diantaranya: Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dengan istilah Societies Civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas lain. Tetapi konsep yang dikembangkan Cicero ini lebih menekankan pada konsep Negara Kota (City State), yakni menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk korporasi lainnya sebagai kesatuan yang terorganisir. Konsep ini juga dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan Jhon Locke (1632-1704 M). Di berbagai negara juga konsep ini terus berkembang seiring dengan kemajuan zaman dan peradaban. Di Prancis, muncul Jhoh Jack Rousseau dalam bukunya The Social Contract (1762) yang berisi tentang pemikiran otoritas rakyat, dan perjanjian politik yang harus dilaksanakan antara manusia dan kekuasaan.
Adam Ferguson juga mengembangkan wacana civil society pada tahun 1767 di Skotlandia, ia mengambil konteks sosio-kultural dan politik yang menekankan civil society pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dimunculkannya untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara public dan individu. Karena konsep yang ditawarkannya ini menekankan pada sikap solidaritas, saling menyayangi serta sikap saling mempercayai akan muncul antar warga secara alamiah.
Tahun1792 di Amerika Serikat, muncul juga wacana civil society yang memiliki aksentuasi yang berbeda dari konsep yang pernah ada. Konsep yang dimunculkan oleh Thomas Paine (1773-1809 M), ia menggunakan istilah civil society untuk menggambarkan masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan negara, bahkan dianggap sebagai antithesis dari negara. Menurutnya, civil society ini adalah ruang diama warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingan secara bebas dan tanpa paksaan.
Konsep civil society terus dikembangkan diantaranya oleh G.W. F Hegel (1770-1831 M). Civil society menurut pandangan Hegel adalah sebagai kelompok subordinatif terhadap negara. Lebih lanjut, Hegel menjelaskan bahwa dalam sruktur sosial civil society terdapat tiga entitas sosial: keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan, sedangkan masyarakat sipil merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya peraturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi. Hegel tidak memandang civil society sebagai arena untuk praktik politik yang mengakibatkan monopoli negara. Menurutnya, negara merupakan representasi dari ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganyadan mempunyai hak penuh untuk melakukan intervensi terhadap civil society. Dari pandangan ini, maka intervensi negara terhadap wilayah masyarakat sipil tidaklah dianggap sebagai tindakan ilegal (melanggar hukum) mengingat posisi negara sebagai pemilik ide universal dan hanya pada level negaralah politik bisa berlangsung secara murni dan utuh.
Selanjutnya, Antonio Franco Gramsci (1891-1837 M). Filsup yang lebih dikenal dengan Antonio Gramsci ini memandang civil society merupakan tempat perebutan posisi hegemoni diluar kekuatan negara, aparat mengembangkan hegemoni untuk membentuk konsensus dalam masyarakat. Gramsci memandang adanya sifat kemandirian dan politis pada masyarakat sipil.
Yang paling terkenal dalam konsep ini adalah Karl Max (1818-1883 M). Ia memandang civil society sebagai masyarakat borjuis. Dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaan civil society merupakan kendala terbesar bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan kelas pemilik modal. Demi terciptanya proses pembebasan manusia, civil society harus dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas.
Periode berikutnya, wacana civil society dikembangkan oleh Alexis de ‘Tocqueville (1805-1859 M) yang berdasarkan pengalaman demokrasi Amerika, dengan mengembangkan teori civil society sebagai intitas penyembangan kekuatan. Bagi de ‘Tocqueville, kekuatan politik dan civil societylah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan kapasitas politik di dalam civil society, maka warga negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.
Di Indonesia, konsep civil society yang kemudian diterjemahkan masyarakat madani pertama kali diajukan oleh Anwar Ibrahim (Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia era 1993-1998). Ia memperkenalkan konsep ini saat mengisi cerama Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah Festival Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta.
Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab mujtama’ madani, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC. Kata “madani” berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti juga peradaban. Konsep masyarakat madani bersifat universal dan memerlukan adaptasi untuk diwujudkan di Negara Indonesia mengingat dasar konsep masyarakatmadani yang tidak memiliki latar belakang yang sama dengan keadaan sosial-budaya masyarakat Indonesia.
Konsep Masyarakat Madani sangat baru dikalangan masyarakat Indonesia sehingga memerlukan proses dalam pengembangannya. Hal ini bukan merupakan hal yang mudah, oleh karena itu diperlukan langkah-langkah yang efektif, sistematis, serta kontinyu sehingga dapat merubah paradigma dan pemikiran masyarakat Indonesia.
A Ubaidillah, Pendidikan Kewargagaan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000).
Fahmi Huwaydi, Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madan,. (Bandung: Penerbit Mizan, 1996).
2. Pancasila merupakan platform bersama, sebanding dengan Piagam Madinah. Jelaskan!
Pancasila dan Piagam Madinah memiliki kesamaan tujuan, yaitu untuk mencapai persatuan dan kesatuan yang hakiki, tanpa ada perpecahan. Begitu juga dalam hal kesamaan hak dan kewajiban yang tidak membedakan antara mayoritas dan minoritas. Dalam piagam madinah tidak tertulis satupun pasal yang menguntungkan salah satu pihak manapun, bahkan Islam itu sendiri. Begitu juga dengan pancasila, secara tekstual tidak ada tendensi golongan tertentu yang diuntungkan adanya pancasila.
Madinah oleh Nabi Muhammad SAW dijadikanya negara plural yang menjunjung tinggi prinsip tasamuh (toleransi), serta tak ketinggalan pula ia berhasil menyampaikan misi utamanya, menegakkan kalimat Tauhid tanpa melukai prinsip toleransi.
3. Bagaimana tinjauan Islam terhadap hak asasi manusia?
Islam adalah agama universal dan penutup agama-agama Ilahi, maka Islam memiliki agenda bagi seluruh dimensi kehidupan manusia baik kehidupan personal, sosial dan lain sebagainya. Di antara agenda tersebut adalah hak asasi manusia dan pelbagai tantangan yang dihadapi pada masyarakat dewasa ini. Masalah ini dengan mengakui hak-hak dan kemuliaan manusia akan nampak pada sebagian hak manusia yang dijelaskan sebagai hak-hak warga kota dalam pandangan Islam.
Hak hidup, kebebasan berakidah, hak-hak warga kota non-Muslim, penafian rasialisme, kebebasan berpikir, menerima hak-hak kaum minoritas, partisipasi masyarakat dalam penetapan hukum, supervisi masyarakat atas pemerintah dan lain sebagainya merupakan pembahasan hak asasi manusia di dunia modern sekarang ini.
0 Response to "Bagaimana Sejarah Konsep Civil Society Dan Masyarakat Madani_"
Post a Comment