Analisis: Hak Angket DPR Terhadap KPK, Ada Maksud Apa di Baliknya?
Hak angket DPR terhadap KPK dinilai merupakan taktik untuk melemahkan dan mengganggu penyidikan KPK, khususnya dalam kasus korupsi e-KTP yang merugikan negara Rp2,3 triliun. Hak angket DPR sendiri dinilai memiliki beberapa kelemahan, termasuk rentan disusup kepentingan-kepentingan tertentu yang kemungkinan akan terganggu dengan penyidikan KPK. Sebagai lembaga independen, KPK tidak punya kewajiban untuk melapor kepada kementrian tertentu, namun posisinya menjadi rentan untuk diserang oleh berbagai pihak, yang memang sudah sering terjadi. Namun dukungan masyarakat yang kuat terhadap KPK diharapkan bisa menjadi kekuatan tersendiri bagi komisi anti-korupsi tersebut.
Pada akhir April 2017, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempertimbangkan protes yang dilakukan oleh publik—dan oleh beberapa anggota DPR—dengan mengeluarkan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hak angket ini berdasarkan pada hak konstitusional DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap urusan negara.
Hal ini dipicu oleh pernyataan mantan anggota DPR dari Partai Hanura Miryam Haryani, yang mengatakan bahwa penyelidik KPK memaksanya untuk mengaku bahwa Ia telah mendistribusikan dana kepada anggota DPR lainnya dalam skandal korupsi e-KTP, yang membuat negara rugi Rp 2,3 triliun.
Panitia hak angket DPR mengatakan bahwa pihaknya bertujuan menyelidiki pengaduan terkait cara KPK menyelidiki kasusnya, kepemimpinan internal KPK (termasuk menyebarkan informasi rahasia, dugaan adanya konflik internal, dan salah mengurus anggaran), dan kegagalannya yang nyata dalam memperkuat peranan polisi dan jaksa. Namun juga dipercaya bahwa tujuan sebenarnya dari hak angket tersebut adalah untuk campur tangan—atau setidaknya untuk mengganggu—penyelidikan KPK dalam kasus e-KTP, dan memperlemah KPK secara luas.
Kelemahan Hukum Hak Angket
Keabsahan pembentukan panitia hak angket telah dipertanyakan oleh banyak ahli. Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi, contohnya, menyatakan bahwa terdapat kelemahan dalam subjek, objek, dan prosedurnya.
Sebagai subjek dalam hak angket (KPK), Pasal 79(3) UU Nomor 17 tahun 2004 tentang Badan Legislatif menyatakan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk:
Menyelidiki implementasi hukum dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan permasalahan yang penting, strategis, dan berdampak luas terhadap masyarakat, bangsa dan negara, yang dicurigai bertentangan dengan hukum dan aturan.
Istilah “pemerintah”, menurut penjelasan hukum, mengacu hanya kepada presiden, wakil presiden, menteri-menteri, pemimpin militer, kepala kepolisian, jaksa penuntut umum, dan kepala badan non-menteri pemerintahan. Badan-badan ini adalah institusi yang berada di bawah presiden dan bertanggung jawab terhadap presiden melalui menteri-menteri yang berkoordinasi dengan mereka (lihat Pasal 25(2) UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara).
Badan-badan tersebut termasuk Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Pertahanan Nasional (BPN), Badan Pusat Statistik (BPS) dan lainnya. KPK, sebagai institusi independen tanpa adanya kewajiban untuk melapor—atau bekerja sama dengan—menteri tertentu, tidak termasuk ke dalam yurisdiksi hak angket DPR.
Sama halnya, objek dari hak angket ini harus dibatasi terhadap permasalahan yang “penting, strategis, dan berdampak luas terhadap kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara”. Sehingga, permasalahan yang ditujukan oleh hak angket ini, terutama pengakuan Miryam, tidak memenuhi kriteria ini.
Sebaliknya, hak angket pada tahun 2009 mengenai kenaikan harga minyak atau bahkan kegagalan usaha hak angket mengenai penyalahgunaan dana talangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) selama krisis moneter tahun 1998, atau skandal mafia pajak pada tahun 2011, dapat membenarkan hak angket ini.
Prosedur pembentukkan panitia hak angket sendiri juga dipertanyakan. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah—yang selalu kritis terhadap KPK—menyatakan bahwa panitia hak angket dibentuk setelah pemeriksaan yang relatif singkat, terlepas dari banyaknya anggota DPR yang tidak setuju dengan pengajuan tersebut bahkan walk out (meninggalkan ruangan saat rapat) sebagai bentuk ketidaksetujuan.
Keputusan tersebut dibuat tanpa adanya mufakat atau pengambilan suara, yang melanggar Pasal 199(3) UU tentang Badan Legislatif, yang menyatakan bahwa sebuah pengajuan harus dipertimbangkan di dalam rapat pleno yang dihadiri setidaknya setengah dari seluruh anggota DPR, dan harus mendapatkan persetujuan dari setidaknya setengahnya untuk dapat ditetapkan.
Terdapat pula konflik serius atau masalah kepentingan—ketua dan beberapa anggota panitia hak angket, Agun Gunandjar Sudarsa, Bambang Soesatyo, Desmond Junaidi Mahesa dan Masinton Pasaribu, dilaporkan adalah beberapa anggota DPR yang menekan Miryam untuk memberikan pengakuan kepada KPK.
Penyerangan Sebelumnya terhadap KPK
Hak angket ini bukanlah usaha pertama untuk membatasi kekuatan KPK. Sejak pembentukannya pada tahun 2003, telah terdapat banyak usaha untuk membubarkan badan anti-korupsi tersebut. Hal ini dilakukan oleh banyak orang ataupun kelompok, dengan menggunakan strategi-strategi berbeda, termasuk usaha untuk merubah UU KPK (UU Nomor 30 tahun 2002), kriminalisasi terhadap anggota dan pendukung KPK, dan serangan fisik terhadap pemimpin dan penyidik KPK, serta usaha-usaha lainnya untuk membubarkan organisasi tersebut.
Usaha-usaha DPR untuk merevisi UU KPK bertujuan untuk membatasi kekuatan KPK (misalnya kekuatan KPK untuk melaksanakan pengawasan dan penuntutan secara independen), dan merubahnya menjadi institusi non-permanen.
Terdapat lebih dari 15 usaha untuk menentang pasal-pasal dalam UU KPK ini di Mahkamah Konstitusi—walau tidak ada yang berhasil. Di waktu yang berbeda, DPR juga menunda perjanjiannya dengan ketua KPK dan menolak untuk mengalokasikan dana negara yang dibutuhkan untuk membangun gedung baru KPK.
Karena sangat sulit, polisi secara terbuka telah menyerang KPK dalam beberapa kesempatan, mengkriminalisasi ketua dan penyidik KPK ketika KPK sedang menyelidiki beberapa pejabat kepolisian. Kabar yang beredar juga mengatakan bahwa polisi berada di balik penyerangan zat asam terhadap Novel Baswedan—penyidik senior KPK yang bermain penting dalam menyelidiki skandal e-KTP dan kasus-kasus yang menyangkut pejabat tinggi lainnya.
Dampak Hak Angket DPR
Dampak terakhir dari proses hak angket—selain menjadi gangguan yang tidak diperlukan—masih belum jelas. Walau begitu, yang jelas adalah bahwa panitia tersebut akan berusaha mengungkap kelemahan KPK dan penyelidikannya terhadap kasus e-KTP.
Contohnya, panitia hak angket telah meminta KPK untuk memberikan rekaman interogasi dan pengakuan Miryam, dan meminta supaya Miryam dapat dibawa pada pemeriksaan panitia hak angket. Panitia tersebut juga mengunjungi pihak dan institusi yang disebut sebagai “korban” dari penyelidikan dan penuntutan KPK, seperti tersangka-tersangka korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengumpulkan pengaduan.
Besar kemungkinan bahwa dugaan kesalahan yang dilakukan oleh para pejabat KPK akan dilaporkan ke polisi, dan kita akan lihat putaran konflik berikutnya antara institusi ini dengan polisi. Tidak diragukan akan adanya usaha kembali untuk merubah UU KPK, atau bahkan membubarkan institusi tersebut.
Apapun hasilnya, DPR akan membutuhkan dukungan dari pihak eksekutif, yang nampaknya tidak akan ada. Tidak seperti kasus-kasus sebelumnya, dimana polisi berada di garis terdepan dalam penyerangan terhadap KPK, kepala polisi telah menjaga jarak, menyatakan bahwa polisi tidak akan secara paksa menangkap Miryam dari tahanan KPK untuk mendatangkan Miryam pada pemeriksaan oleh panitia hak angket. Sementara itu, Juru Bicara Presiden Johan Budi mengatakan bahwa Joko Widodo tidak akan mendukung rekomendasi apapun dari panitia tersebut yang akan melemahkan KPK.
Yang paling dibutuhkan saat ini adalah dukungan masyarakat yang kuat untuk KPK dan tekanan terhadap presiden untuk menjaga posisinya. Melihat serangan-serangan yang terjadi terhadap KPK, masyarakat akan lebih tajam lagi dalam menjamin bahwa demokrasi Indonesia tidak diambil oleh para elit politik yang hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri.
Bagian ini ditulis sebagai kesimpulan dan tanggapan terhadap diskusi bulanan dalam perkumpulan mahasiswa pascasarjana Indonesia dan akademisi di Universitas Melbourne. Professor Denny Indrayana berbicara mengenai serangan terhadap KPK selama diskusi baru-baru ini pada tanggal 22 Juni 2017.
0 Response to "Apa Itu Hak Angket"
Post a Comment