Puisi Ibu Karya Chairil Anwar



7 Puisi Pengorbanan Seorang Ibu Yang Menyentuh Hati Kepogaul

100+ Puisi Chairil Anwar yang Sangat Populer Di Indonesia

Siapa sih yang tidak mengenal Beliau. Ya, Chairil anwar merupakan salah satu sastrawan indonesia yang memiliki banyak sastar-sastra dari puisi dan lainnya. Nah kita akan membahas mengenai puisi Chairil Anwar

Mengapa kami memilih membahas Puisi daripada sastra lainnya. Karena sastra puisi inilah yang sangat populer oleh Chairil Anwar. Memang banyak sekali manfaat puisi-puisi yang berguna untuk kita.

Nah, sebelum kami memberikan puisi Chairil Anwar. Ada baiknya kita mengetahui biografi singkat beliau. Mau tau bagaimana kehidupan seorang sastrawan ini? Yuk langsung saja simak ulasan berikut ini. Selamat membaca

Biografi Singkat Chairil Anwar

hot.detik.com

Chairil Anwar adalah seorang penyair kelahiran kota Medan, Sumatera Utara pada tanggal 26 Juli 1922. Beliau merupakan  anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha yang berasal dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Ayahnya adalah seorang Bupati Inderagiri, Riau.

Beliau masih ada ikatan  saudara dari Soetan Sjahrir yang merupakan perdana menteri yang pertama  di Republik Indonesia. Saat kecil Beliau mulai bersekolah di sekolah dasar untuk pribumi pada masa pendudukan Belanda.

Sekolah ini bernama Holland-Inlandsche School (HIS). Lalu beliau juga  melanjutkan sekolahnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).

Ketika  pada usia 18 tahun beliau juag  memutuskan untuk berhenti sekolah, ia mengatakan bahwa  saat berusia 15 tahun beliau sangatlah bertekad untuk menjadikan dirinya sebagai seorang seniman.

Setelah orang tua beliau  bercerai, pada saat beliau berusia 19 tahun.  Chairil anwar mengikuti ibunya untuk pindah ke Batavia(Jakarta), disanalah beliau  memulai berkenalan dengan namanya dunia sastra tersebut. Walaupun sudah bercerai, ayah chairil anwar  masih memberinya nafkah.

Walaupun beliau tidak sekolah, Chairil Anwar juga bisa mengucapkan beberapa bahasa asing seperti Inggris, Belanda dan Jerman. Beliau juga mengisi waktunya dengan membaca karya sastra dari pengarang terkenal seperti: rainer maria Rilke,W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron.

Karena itu, tulisannya terpengaruh dari penulis tersebut dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.

Puisi Karya Chairil Anwar

urusandunia.com

Puisi karya chairil anwar memang sudah banyak yang di buatnya. Puisi tersebut bisa dimusikalisasikan dengan iringan musik. Memang musikalisasi puisi sangat mudah kita cermati daripada kita membaca sambil menghayati. Berikut adalah beberapa puisi Chairil Anwar yang populer di Indonesia :

Aku

Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih perih

Dan akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Aku Berkaca

Ini muka penuh luka

Siapa punya ?

Kudengar seru menderu

dalam hatiku

Apa hanya angin lalu ?

Lagu lain pula

Menggelepar tengah malam buta

Ah…….!!

Segala menebal, segala mengental

Segala tak kukenal ………….!!

Selamat tinggal …………….!

Cerita Buat Dien Tamaela

Beta Pattirajawane

Yang dijaga datu-datu

Cuma satu

Beta Pattirajawane

Kikisan laut

Berdarah laut

Beta Pattirajawane

Ketika lahir dibawakan

Datu dayung sampan

Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala

Beta api di pantai. Siapa mendekat

Tiga kali menyebut beta punya nama

Dalam sunyi malam ganggang menari

Menurut beta punya tifa,

Pohon pala, badan perawan jadi

Hidup sampai pagi tiba.

Mari menari!

mari beria!

mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah

Beta bikin pala mati, gadis kaku

Beta kirim datu-datu!

Beta ada di malam, ada di siang

Irama ganggang dan api membakar pulau…

Beta Pattirajawane

Yang dijaga datu-datu

Cuma satu

Cintaku Jauh Di Pulau

Cintaku jauh di pulau

Gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar

di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar

angin membantu, laut terang, tapi terasa

aku tidak ‘kan sampai padanya

Di air yang tenang, di angin mendayu

di perasaan penghabisan segala melaju

Ajal bertakhta, sambil berkata:

“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!

Perahu yang bersama ‘kan merapuh

Mengapa Ajal memanggil dulu

Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,

kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

Derai Derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh

terasa hari akan jadi malam

ada beberapa dahan di tingkap merapuh

dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan

sudah berapa waktu bukan kanak lagi

tapi dulu memang ada suatu bahan

yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan

tambah terasing dari cinta sekolah rendah

dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan

sebelum pada akhirnya kita menyerah

Diponegoro

Di masa pembangunan ini

tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti

Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.

Pedang di kanan, keris di kiri

Berselempang semangat yang tak bisa mati.

Doa

kepada pemeluk teguh

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh

mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci

tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk

remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling

Hampa

Kepada Sri

Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak

Lurus kaku pohonan. Tak bergerak

Sampai di puncak. Sepi memagut,

Tak satu kuasa melepas-renggut

Segala menanti. Menanti. Menanti

Sepi

Tambah ini menanti jadi mencekik

Memberat-mencengkung punda

Sampai binasa segala. Belum apa-apa

Udara bertuba. Setan bertempik

Ini sepi terus ada. Dan menanti.

Kawanku Dan Aku

Kami sama pejalan larut

Menembus kabut

Hujan mengucur badan

Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan

Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat

Siapa berkata-kata?

Kawanku hanya rangka saja

Karena dera mengelucak tenaga

Dia bertanya jam berapa?

Sudah larut sekali

Hilang tenggelam segala makna

Dan gerak tak punya arti

Kepada Kawan

Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat,

mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,

selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,

belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,

tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,

layar merah berkibar hilang dalam kelam,

kawan, mari kita putuskan kini di sini:

Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!

Jadi

Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,

Tembus jelajah dunia ini dan balikkan

Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,

Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,

Jangan tambatkan pada siang dan malam

Dan

Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,

Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.

Tidak minta ampun atas segala dosa,

Tidak memberi pamit pada siapa saja!

Jadi

mari kita putuskan sekali lagi:

Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,

Sekali lagi kawan, sebaris lagi:

Tikamkan pedangmu hingga ke hulu

Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!

Kepada Peminta-Minta

Baik, baik, aku akan menghadap Dia

Menyerahkan diri dan segala dosa

Tapi jangan tentang lagi aku

Nanti darahku jadi beku

Jangan lagi kau bercerita

Sudah tercacar semua di muka

Nanah meleleh dari muka

Sambil berjalan kau usap juga

Bersuara tiap kau melangkah

Mengerang tiap kau memandang

Menetes dari suasana kau datang

Sembarang kau merebah

Mengganggu dalam mimpiku

Menghempas aku di bumi keras

Di bibirku terasa pedas

Mengaum di telingaku

Baik, baik, aku akan menghadap Dia

Menyerahkan diri dan segala dosa

Tapi jangan tentang lagi aku

Nanti darahku jadi beku

Krawang – Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan

atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

menjaga Bung Hatta

menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami

yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

1957

Lagu Siul

https://berjurnalitan.wordpress.com

Laron pada mati

Terbakar di sumbu lampu

Aku juga menemu

Ajal di cerlang caya matamu

Heran! ini badan yang selama berjaga

Habis hangus di api matamu

‘Ku kayak tidak tahu saja.

II

Aku kira

Beginilah nanti jadinya:

Kau kawin, beranak dan berbahagia

Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta,

Tak satu juga pintu terbuka.

Jadi baik kita padami

Unggunan api ini

Karena kau tidak ‘kan apa-apa,

Aku terpanggang tinggal rangka

25 November 1945

Maju

Ini barisan tak bergenderang-berpalu

Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti

Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri

Menyediakan api.

Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas

Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai

Jika hidup harus merasai

Maju

Serbu

Serang

Terjang

Malam

Mulai kelam

belum buntu malam

kami masih berjaga

–Thermopylae?-

– jagal tidak dikenal ? –

tapi nanti

sebelum siang membentang

kami sudah tenggelam hilang

Malam Di Pegunungan

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,

Jadi pucat rumah dan kaku pepohonan?

Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:

Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947

Persetujuan Dengan Bung Karno

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji

Aku sudah cukup lama dengan bicaramu

dipanggang diatas apimu, digarami lautmu

Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945

Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu

Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat

Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar

Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

Prajurit Jaga Malam

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?

Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,

bermata tajam

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya

kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup

Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!

Rumahku

Rumahku dari unggun-timbun sajak

Kaca jernih dari luar segala nampakKulari dari gedong lebar halaman

Aku tersesat tak dapat jalanKemah kudirikan ketika senjakala

Di pagi terbang entah ke manaRumahku dari unggun-timbun sajak

Di sini aku berbini dan beranakRasanya lama lagi, tapi datangnya datang

Aku tidak lagi meraih petang

Biar berleleran kata manis madu

Jika menagih yang satu27 april 1943

Sajak Putih

Bersandar pada tari warna pelangi

Kau depanku bertudung sutra senja

Di hitam matamu kembang mawar dan melati

Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba

Meriak muka air kolam jiwa

Dan dalam dadaku memerdu lagu

Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka

Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka

Antara kita Mati datang tidak membelah…

1944

Sebuah Kamar

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini

pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam

mau lebih banyak tahu.

“Sudah lima anak bernyawa di sini,

Aku salah satu!”

Ibuku tertidur dalam tersedu,

Keramaian penjara sepi selalu,

Bapakku sendiri terbaring jemu

Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!

Aku minta adik lagi pada

Ibu dan bapakku, karena mereka berada

d luar hitungan: Kamar begini

3 x 4, terlalu sempit buat meniup nyawa!

Senja Di Pelabuhan Kecil

Buat Sri Ayati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air tidur hilang ombak

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

Tak Sepadan

Aku kira:

Beginilah nanti jadinya

Kau kawin, beranak dan berbahagia

Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta

Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padami

Unggunan api ini

Karena kau tidak ‘kan apa-apa

Aku terpanggang tinggal rangka

Februari 1943

Tuhanku

aku hilang bentuk

remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling

13 November 1943

Tuti Artic

Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,

adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;

sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola

isteriku dalam latihan; kita hentikan jam berdetik.

Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa

-ketika kita bersepeda kuantar kau pulang –

panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,

mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.

Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;

Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:

Sorga hanya permainan sebentar.

Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu

Aku dan Tuti + Greet + Amoi… hati terlantar,

Yang Terampas Dan Yang Putus

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,

Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,

Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;

Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.

Mungkin itu saja yang bisa saya berikan kepada kalian semua semoga bermanfaat dan bisa menshare kepada yang lainnya. Sekian dan terima kasih

Gallery Puisi Ibu Karya Chairil Anwar

Puisi Aku Karya Chairil Anwar

Musikalisasi Puisi Ibu Karya D Zawawi Imron Chords Chordify

Hasil Karya Seni Dari Barang Bekas

Puisi Untuk Ibu Tercinta By Hexagonaldeveloper Books

Puisi Ibu Karya Chairil Anwar

Puisi Ibu Karya Chairil Anwar

Website Pendidikan

Teks Puisi Ibu Karya Chairil Anwar Berbagai Teks Penting

Puisi Ibu Karya Chairil Anwar Pernah Komune Sastra

Puisi Tentang Ibu Karya Chairil Anwar Kt Puisi

20 Contoh Puisi Tentang Ibu Tercinta Singkat Dan

Puisi Ibu Karya Chairil Anwar By Nyetti On Soundcloud

Puisi Ujian Praktik

21 Contoh Puisi Ibu Terbaik Dalam Berbagai Tema Rekomended

Analisa Puisi Puisi Chairil Anwar By Astari Sarosa On Prezi

20 Puisi Chairil Anwar Aku Doa Karawang Bekasi Terbaik

Puisi Ibu Karya Chairil Anwar Pdf Document

Terlengkap 70 Puisi Chairil Anwar Yang Terkenal Video

Chairil Anwar Wikipedia

Puisi Karya Chairil Anwar Q6ng7v1g82nv

Kumpulan Puisi Dan Unsur Intrinsiknya

Kumpulan Puisi Ucapan Selamat Hari Ibu 2018 Dari Chairil

Phd Thesis Tamara Aberle

Puisi Ibu Karya Khairil Anwar Steemit


0 Response to "Puisi Ibu Karya Chairil Anwar"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel