Puisi Karya Taufik Ismail



Puisi Sebuah Jaket Berlumuran Darah Karya Taufik Ismail

Kumpulan Puisi Chairil Anwar, W.S Rendra, Taufik Ismail Dan Goenawan Muhammad

Kumpulan Puisi Chairil Anwar

 Aku

Kalau sampai waktuku ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan akan akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

 

TAK SEPADAN

Aku kira:

Beginilah nanti jadinya

Kau kawin, beranak dan berbahagia

Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta

Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padami

Unggunan api ini

Karena kau tidak ‘kan apa-apa

Aku terpanggang tinggal rangka

Februari 1943

  Senja di Pelabuhan Kecil Buat Sri Ayati.

Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

Cintaku Jauh di Pulau

Cintaku jauh di pulau Gadis manis, sekarang iseng sendiri Perahu melancar, bulan memancar di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar angin membantu, laut terang, tapi terasa aku tidak ‘kan sampai padanya Di air yang tenang, di angin mendayu di perasaan penghabisan segala melaju Ajal bertakhta, sambil berkata: “Tujukan perahu ke pangkuanku saja.” Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh! Perahu yang bersama ‘kan merapuh Mengapa Ajal memanggil dulu Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?! Manisku jauh di pulau,

kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri

Kawanku dan Aku

Kami sama pejalan larut Menembus kabut Hujan mengucur badan Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan Darahku mengental pekat. Aku tumpat pedat Siapa berkata-kata? Kawanku hanya rangka saja Karena dera mengelucak tenaga Dia bertanya jam berapa? Sudah larut sekali Hilang tenggelam segala makna

Dan gerak tak punya art

Kepada Kawan 

Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat, mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat, selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa, belum bertugas kecewa dan gentar belum ada, tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam, layar merah berkibar hilang dalam kelam, kawan, mari kita putuskan kini di sini: Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri! Jadi Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan, Tembus jelajah dunia ini dan balikkan Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu, Pilih kuda yang paling liar, pacu laju, Jangan tambatkan pada siang dan malam Dan Hancurkan lagi apa yang kau perbuat, Hilang sonder pusaka, sonder kerabat. Tidak minta ampun atas segala dosa, Tidak memberi pamit pada siapa saja! Jadi mari kita putuskan sekali lagi: Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi, Sekali lagi kawan, sebaris lagi: Tikamkan pedangmu hingga ke hulu Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!
  Doa

kepada pemeluk teguh Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut namaMu Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh cayaMu panas suci tinggal kerdip lilin di kelam sunyi Tuhanku aku hilang bentuk remuk Tuhanku aku mengembara di negeri asing Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling

Kepada Peminta-minta

Baik, baik, aku akan menghadap Dia Menyerahkan diri dan segala dosa Tapi jangan tentang lagi aku Nanti darahku jadi beku Jangan lagi kau bercerita Sudah tercacar semua di muka Nanah meleleh dari muka Sambil berjalan kau usap juga Bersuara tiap kau melangkah Mengerang tiap kau memandang Menetes dari suasana kau datang Sembarang kau merebah Mengganggu dalam mimpiku Menghempas aku di bumi keras Di bibirku terasa pedas Mengaum di telingaku Baik, baik, aku akan menghadap Dia Menyerahkan diri dan segala dosa Tapi jangan tentang lagi aku Nanti darahku jadi beku

Cerita Buat Dien Tamaela

Beta Pattirajawane Yang dijaga datu-datu Cuma satu Beta Pattirajawane Kikisan laut Berdarah laut Beta Pattirajawane Ketika lahir dibawakan Datu dayung sampan Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala Beta api di pantai. Siapa mendekat Tiga kali menyebut beta punya nama Dalam sunyi malam ganggang menari Menurut beta punya tifa, Pohon pala, badan perawan jadi Hidup sampai pagi tiba. Mari menari! mari beria! mari berlupa! Awas jangan bikin beta marah Beta bikin pala mati, gadis kaku Beta kirim datu-datu! Beta ada di malam, ada di siang Irama ganggang dan api membakar pulau... Beta Pattirajawane Yang dijaga datu-datu

Cuma satu

Sebuah Kamar

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam mau lebih banyak tahu. “Sudah lima anak bernyawa di sini, Aku salah satu!” Ibuku tertidur dalam tersedu, Keramaian penjara sepi selalu, Bapakku sendiri terbaring jemu Matanya menatap orang tersalib di batu! Sekeliling dunia bunuh diri! Aku minta adik lagi pada Ibu dan bapakku, karena mereka berada d luar hitungan: Kamar begini

3 x 4, terlalu sempit buat meniup nyawa

Hampa

Kepada Sri

Sepi di luar. Sepi menekan-mendesak Lurus kaku pohonan. Tak bergerak Sampai di puncak. Sepi memagut, Tak satu kuasa melepas-renggut Segala menanti. Menanti. Menanti Sepi Tambah ini menanti jadi mencekik Memberat-mencengkung punda Sampai binasa segala. Belum apa-apa Udara bertuba. Setan bertempik

Ini sepi terus ada. Dan menanti

PRAJURIT JAGA MALAM

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?

Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,

bermata tajam

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya

kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup

Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu! 

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS 

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,

Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,

Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;

Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku.

RUMAHKU

Rumahku dari unggun-timbun sajak Kaca jernih dari luar segala nampak Kulari dari gedong lebar halaman Aku tersesat tak dapat jalan Kemah kudirikan ketika senjakala Di pagi terbang entah ke mana Rumahku dari unggun-timbun sajak Di sini aku berbini dan beranak Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang Aku tidak lagi meraih petang Biar berleleran kata manis madu Jika menagih yang satu

27 april 1943 

PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji

Aku sudah cukup lama dengan bicaramu

dipanggang diatas apimu, digarami lautmu

Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945

Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu

Aku sekarang api aku sekarang laut

Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar

Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi Kau depanku bertudung sutra senja Di hitam matamu kembang mawar dan melati Harum rambutmu mengalun bergelut senda Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba Meriak muka air kolam jiwa Dan dalam dadaku memerdu lagu Menarik menari seluruh aku Hidup dari hidupku, pintu terbuka Selama matamu bagiku menengadah Selama kau darah mengalir dari luka Antara kita Mati datang tidak membelah…

1944

NISAN

untuk nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

Dan duka maha tuan bertakhta

Oktober 1942

PENGHIDUPAN

Lautan maha dalam

Mukul denture selama

Nguji tenaga pematang kita

Mukul denture selama

Hinga hancur remuk redam

Kurnia Bahgia

Kecil setumpuk

Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk

Desember 1942

SEMANGAT

Kalau sampai waktuku

Kutahu tak seorang ‘kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu!

Aku ini binatang jalan

Dari kumpulan terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang-menerjang

Luka dan bisa kubawa lari

Berlari

Hingga hilang pedih dan peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Maret 1943

HUKUM

Saban sore ia lalu depan rumahku

Dalam baju tebal abu-abu

Seorang jernih memikul. Banyak menangkis pukul.

Bungkuk jalannya – Lesu

Pucat mukanya – Lesu

Orang menyebut satu nama jaya

Mengingat kerjanya dan jasa

Melecut supaya terus ini padanya

Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga

Pelik di angkasa : Perwira muda

Pagi ini menyinar lain masa

Nanti, kau dinanti-dimengerti!

Maret 1943

TAMAN

Taman punya kita berdua

Tak lebar luas, kecil saja

Satu tak kehilangan lain dalamnya.

Bagi kau dan aku cukuplah

Taman kembangnya tak berpuluh warna

Padang rumputnya tak berbanding permadani

Halus lebut dipijak kaki.

Bagi kita bukan halangan.

Karena

Dalam taman punya berdua

Kau kembang, aku kumbang

Aku kumbang, kau kembang.

Kecil, penuh surya taman kita

Tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia

Maret 1943

KUMPULAN PUISI W.S.RENDRA

TULIS PAMPLET INI Oleh : W.S. Rendra

Aku tulis pamplet ini karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring labah-labah Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk, dan ungkapan diri ditekan

menjadi peng - iya - an

Apa yang terpegang hari ini bisa luput besok pagi Ketidakpastian merajalela. Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki menjadi marabahaya

menjadi isi kebon binatang

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi, maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan. Tidak mengandung perdebatan

Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamplet ini karena pamplet bukan tabu bagi penyair Aku inginkan merpati pos. Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku

Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan kenapa harus diam tertekan dan termangu. Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.

Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ? Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.

Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api. Rembulan memberi mimpi pada dendam.

Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah

yang teronggok bagai  sampah   Kegamangan. Kecurigaan.   Ketakutan.

  Kelesuan.

Aku tulis pamplet ini karena kawan dan lawan adalah saudara Di dalam alam masih ada cahaya. Matahari yang tenggelam diganti rembulan. Lalu besok pagi pasti terbit kembali. Dan di dalam air lumpur kehidupan, aku melihat bagai terkaca :

ternyata kita, toh, manusia !

Pejambon Jakarta 27 April 1978 Potret Pembangunan dalam Puisi

DOA SEORANG SERDADU SEBELUM BERPERANG

Oleh :

W.S. Rendra

Tuhanku,

WajahMu membayang di kota terbakar dan firmanMu terguris di atas ribuan

kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa Tanah sepi kehilangan lelakinya Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini

tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti sempurnalah sudah warna dosa dan mesiu kembali lagi bicara Waktu itu, Tuhanku, perkenankan aku membunuh

perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku adalah satu warna Dosa dan nafasku adalah satu udara. Tak ada lagi pilihan kecuali menyadari

-biarpun bersama penyesalan-

Apa yang bisa diucapkan oleh bibirku yang terjajah ? Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai mendekap bumi yang mengkhianatiMu Tuhanku Erat-erat kugenggam senapanku Perkenankan aku membunuh Perkenankan aku menusukkan sangkurku  

Mimbar Indonesia Th. XIV, No. 25

18 Juni 1960

GERILYA

Oleh :

W.S. Rendra

Tubuh biru tatapan mata biru

lelaki berguling di jalan

Angin tergantung terkecap pahitnya tembakau

bendungan keluh dan bencana

Tubuh biru tatapan mata biru

lelaki berguling dijalan

Dengan tujuh lubang pelor diketuk gerbang langit dan menyala mentari muda

melepas kesumatnya

Gadis berjalan di subuh merah dengan sayur-mayur di punggung

melihatnya pertama

Ia beri jeritan manis dan duka daun wortel

Tubuh biru tatapan mata biru

lelaki berguling dijalan

Orang-orang kampung mengenalnya anak janda berambut ombak ditimba air bergantang-gantang

disiram atas tubuhnya

Tubuh biru tatapan mata biru

lelaki berguling dijalan

Lewat gardu Belanda dengan berani berlindung warna malam sendiri masuk kota ingin ikut ngubur ibunya    

Siasat

GUGUR

Oleh :

W.S. Rendra

Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya Tiada kuasa lagi menegak Telah ia lepaskan dengan gemilang pelor terakhir dari bedilnya Ke dada musuh yang merebut kotanya

Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya Ia sudah tua luka-luka di badannya

Bagai harimau tua susah payah maut menjeratnya Matanya bagai saga menatap musuh pergi dari kotanya

Sesudah pertempuran yang gemilang itu lima pemuda mengangkatnya di antaranya anaknya Ia menolak dan tetap merangkak menuju kota kesayangannya  

Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya Belumlagi selusin tindak mautpun menghadangnya. Ketika anaknya memegang tangannya ia berkata : " Yang berasal dari tanah kembali rebah pada tanah. Dan aku pun berasal dari tanah tanah Ambarawa yang kucinta Kita bukanlah anak jadah Kerna kita punya bumi kecintaan. Bumi yang menyusui kita dengan mata airnya. Bumi kita adalah tempat pautan yang sah. Bumi kita adalah kehormatan. Bumi kita adalah juwa dari jiwa. Ia adalah bumi nenek moyang. Ia adalah bumi waris yang sekarang. Ia adalah bumi waris yang akan datang." Hari pun berangkat malam Bumi berpeluh dan terbakar Kerna api menyala di kota Ambarawa  

Orang tua itu kembali berkata : "Lihatlah, hari telah fajar ! Wahai bumi yang indah, kita akan berpelukan buat selama-lamanya ! Nanti sekali waktu seorang cucuku akan menacapkan bajak di bumi tempatku berkubur kemudian akan ditanamnya benih dan tumbuh dengan subur Maka ia pun berkata :

-Alangkah gemburnya tanah di sini!"

Hari pun lengkap malam ketika menutup matanya

HAI, KAMU ! Oleh : W.S. Rendra

Luka-luka di dalam lembaga, intaian keangkuhan kekerdilan jiwa, noda di dalam pergaulan antar manusia, duduk di dalam kemacetan angan-angan.

Aku berontak dengan memandang cakrawala.

Jari-jari waktu menggamitku. Aku menyimak kepada arus kali. Lagu margasatwa agak mereda. Indahnya ketenangan turun ke hatiku. Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku.

Jakarta, 29 Pebruari 1978 Potret Pembangunan dalam Puisi

LAGU SEORANG GERILYA

(Untuk puteraku Isaias Sadewa)

Oleh : W.S. Rendra

Engkau melayang jauh, kekasihku. Engkau mandi cahaya matahari. Aku di sini memandangmu,

menyandang senapan, berbendera pusaka.

Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu, engkau berkudung selendang katun di kepalamu. Engkau menjadi suatu keindahan, sementara dari jauh

resimen tank penindas terdengar menderu.

Malam bermandi  cahaya matahari, kehijauan menyelimuti medan perang yang membara. Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku,

engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu

Peluruku habis dan darah muncrat dari dadaku. Maka  di saat seperti itu kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan bersama kakek-kakekku yang telah gugur di dalam berjuang membela rakyat jelata

Jakarta, 2 september 1977 Potret Pembangunan dalam Puisi

LAGU SERDADU

Oleh :

W.S. Rendra

Kami masuk serdadu dan dapat senapang ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang Yoho, darah kami campur arak!

Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak

Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekali Wahai, tanah yang baik untuk mati Dan kalau ku telentang dengan pelor timah cukilah ia bagi puteraku di rumah    

Siasat No.  630, th. 13

Nopember 1959

NOTA BENE : AKU KANGEN Oleh : W.S. Rendra

Lunglai - ganas karena bahagia dan sedih, indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana. Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit, dan anak kita akan lahir di cakrawala.

Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya.

Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan untukmu hidupku terbuka. Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku. Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan.    

Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978 Potret Pembangunan dalam Puisi

ORANG-ORANG MISKIN Oleh : W.S. Rendra

Orang-orang miskin di jalan, yang tinggal di dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian,

janganlah mereka ditinggalkan.

Angin membawa bau baju mereka. Rambut mereka melekat di bulan purnama. Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,

mengandung buah jalan raya.

Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa. Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.

Tak bisa kamu abaikan.

Bila kamu remehkan mereka, di jalan  kamu akan diburu bayangan. Tidurmu akan penuh igauan,

dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.

Jangan kamu bilang negara ini kaya karena orang-orang berkembang di kota dan di desa. Jangan kamu bilang dirimu kaya bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya. Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu. Dan perlu diusulkan agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.

Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.

Orang-orang miskin di jalan masuk ke dalam tidur malammu. Perempuan-perempuan bunga raya menyuapi putra-putramu. Tangan-tangan kotor dari jalanan meraba-raba kaca jendelamu.

Mereka tak bisa kamu biarkan.

Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol. Mereka akan menjadi pertanyaan yang mencegat ideologimu. Gigi mereka yang kuning akan meringis di muka agamamu. Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap akan hinggap di gorden presidenan

dan buku programma gedung kesenian.

Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah, bagai udara panas yang selalu ada, bagai gerimis yang selalu membayang. Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau tertuju ke dada kita, atau ke dada mereka sendiri. O, kenangkanlah : orang-orang miskin juga berasal dari kemah Ibrahim

Yogya, 4 Pebruari 1978 Potret Pembangunan dalam Puisi

PAMPLET CINTA Oleh : W.S. Rendra

 Ma, nyamperin matahari dari satu sisi. Memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Aku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutan. Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku. Aku merindukan wajahmu, dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa. Kampus telah diserbu mobil berlapis baja. Kata-kata telah dilawan dengan senjata. Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini. Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan ketegangan Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.

Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan

Suatu malam aku mandi di lautan. Sepi menjdai kaca. Bunga-bunga yang ajaib bermekaran di langit. Aku inginkan kamu, tapi kamu tidak ada.

Sepi menjadi kaca.

Apa yang bisa dilakukan oleh penyair bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan ? Udara penuh rasa curiga.

Tegur sapa tanpa jaminan.

Air lautan berkilat-kilat. Suara lautan adalah suara kesepian.

Dan lalu muncul wajahmu.

Kamu menjadi makna Makna menjadi harapan. ……. Sebenarnya apakah harapan ? Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu. Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak. Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.

Aku tertawa, Ma !

Angin menyapu rambutku. Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.

Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur. Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung. Perutku sobek di jalan raya yang lengang……. Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian. Aku menulis sajak di bordes kereta api.

Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.

Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar, aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu. Lalu muncullah kamu, nongol dari perut matahari bunting, jam duabelas seperempat siang. Aku terkesima. Aku disergap kejadian tak terduga. Rahmat turun bagai hujan membuatku segar, tapi juga menggigil bertanya-tanya.

Aku jadi bego, Ma !

Yaaah , Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih. Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku, dan sedih karena kita sering berpisah. Ketegangan menjadi pupuk cinta kita. Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih ? Bahagia karena  napas mengalir dan jantung berdetak. Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang.

Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.

Ma, nyamperin matahari dari satu sisi, memandang wajahmu dari segenap jurusan.

Pejambon, Jakarta, 28 April 1978 Potret Pembangunan dalam Puisi

SAJAK ANAK MUDA Oleh : W.S. Rendra

 Kita adalah angkatan gagap yang diperanakkan oleh angkatan takabur. Kita kurang pendidikan resmi di dalam hal keadilan, karena tidak diajarkan berpolitik,

dan tidak diajar dasar ilmu hukum

Kita melihat kabur pribadi orang, karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.

Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus, karena tidak diajar filsafat atau logika.

Apakah kita tidak dimaksud untuk mengerti itu semua ? Apakah kita hanya dipersiapkan

untuk menjadi alat saja ?

inilah gambaran rata-rata pemuda tamatan SLA,

pemuda menjelang dewasa.

Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan. Bukan pertukaran pikiran.

Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan, dan bukan ilmu latihan menguraikan.

Dasar keadilan di dalam pergaulan, serta pengetahuan akan kelakuan manusia, sebagai kelompok atau sebagai pribadi,

tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.

Kenyataan di dunia menjadi remang-remang. Gejala-gejala yang muncul lalu lalang, tidak bisa kita hubung-hubungkan. Kita marah pada diri sendiri Kita sebal terhadap masa depan. Lalu akhirnya,

menikmati masa bodoh dan santai.

Di dalam kegagapan, kita hanya bisa membeli dan memakai tanpa bisa mencipta. Kita tidak bisa memimpin, tetapi hanya bisa berkuasa,

persis seperti bapak-bapak kita.

Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat. Di sana anak-anak memang disiapkan Untuk menjadi alat dari industri. Dan industri mereka berjalan tanpa berhenti. Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa ? Kita hanya menjadi alat birokrasi ! Dan birokrasi menjadi berlebihan tanpa kegunaan -

menjadi benalu di dahan.

Gelap. Pandanganku gelap. Pendidikan tidak memberi pencerahan. Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan Gelap. Keluh kesahku gelap.

Orang yang hidup di dalam pengangguran.

Apakah yang terjadi di sekitarku ini ? Karena tidak bisa kita tafsirkan,

lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.

Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini ? Apakah ini ? Apakah ini ? Ah, di dalam kemabukan, wajah berdarah

akan terlihat sebagai bulan.

Mengapa harus kita terima hidup begini ? Seseorang berhak diberi ijazah dokter, dianggap sebagai orang terpelajar, tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan. Dan bila ada ada tirani merajalela, ia diam tidak bicara,

kerjanya cuma menyuntik saja.

Bagaimana ? Apakah kita akan terus diam saja. Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum dianggap sebagi bendera-bendera upacara,

sementara hukum dikhianati berulang kali.

Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi dianggap bunga plastik,

sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi.

Kita berada di dalam pusaran tatawarna yang ajaib dan tidak terbaca. Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan. Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan. Dan bila luput, kita memukul dan mencakar

ke arah udara

Kita adalah angkatan gagap. Yang diperanakan  oleh angkatan kurangajar. Daya hidup telah diganti oleh nafsu. Pencerahan telah diganti oleh pembatasan.

Kita adalah angkatan yang berbahaya

Pejambon, Jakarta, 23 Juni 1977 Potret Pembangunan dalam Puisi

KUMPULAN PUISI TAUFIK ISMAIL

DENGAN PUISI AKU (Taufiq ismail)

Dengan puisi aku bernyanyi Sampai senja umurku nanti Dengan puisi aku bercinta Berbaur cakrawala Dengan puisi aku mengenang Keabadian Yang Akan Datang Dengan puisi aku menangis Jarum waktu bila kejam mengiris Dengan puisi aku mengutuk Napas jaman yang busuk Dengan puisi aku berdoa

Perkenankanlah kiranya

Sebuah Jaket Berlumur Darah

Sebuah jaket berlumur darah Kami semua telah menatapmu Telah pergi duka yang agung Dalam kepedihan bertahun-tahun. Sebuah sungai membatasi kita Di bawah terik matahari Jakarta Antara kebebasan dan penindasan Berlapis senjata dan sangkur baja Akan mundurkah kita sekarang Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’ Berikara setia kepada tirani Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?. Spanduk kumal itu, ya spanduk itu Kami semua telah menatapmu Dan di atas bangunan-bangunan Menunduk bendera setengah tiang. Pesan itu telah sampai kemana-mana Melalui kendaraan yang melintas Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa Prosesi jenazah ke pemakaman Mereka berkata Semuanya berkata

Lanjutkan Perjuangan.

  Syair Orang Lapar
Lapar menyerang desaku Kentang dipanggang kemarau Surat orang kampungku Kuguratkan kertas Risau Lapar lautan pidato Ranah dipanggang kemarau Ketika berduyun mengemis Kesinikan hatimu Kuiris Lapar di Gunungkidul Mayat dipanggang kemarau Berjajar masuk kubur Kauulang jua

Kalau

Karangan Bunga

Tiga anak kecil Dalam langkah malu-malu Datang ke salemba Sore itu. Ini dari kami bertiga Pita hitam pada karangan bunga Sebab kami ikut berduka Bagi kakak yang ditembak mati

Siang tadi

Salemba

Alma Mater, janganlah bersedih Bila arakan ini bergerak pelahan Menuju pemakaman Siang ini. Anakmu yang berani Telah tersungkur ke bumi Ketika melawan tirani.
Memang Selalu Demikian, Hadi
Setiap perjuangan selalu melahirkan Sejumlah pengkhianat dan para penjilat Jangan kau gusar, Hadi. Setiap perjuangan selalu menghadapkan kita Pada kaum yang bimbang menghadapi gelombang Jangan kau kecewa, Hadi. Setiap perjuangan yang akan menang Selalu mendatangkan pahlawan jadi-jadian Dan para jagoan kesiangan. Memang demikianlah halnya, Hadi.
Nasehat-Nasehat Kecil Orang Tua Pada Anaknya Berangkat Dewasa
Jika adalah yang harus kaulakukan Ialah menyampaikan kebenaran Jika adalah yang tidak bisa dijual-belikan Ialah ang bernama keyakinan Jika adalah yang harus kau tumbangkan Ialah segala pohon-pohon kezaliman Jika adalah orang yang harus kauagungkan Ialah hanya Rasul Tuhan Jika adalah kesempatan memilih mati Ialah syahid di jalan Ilahi.

PUISI MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA

Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga

Ke Wisconsin aku dapat beasiswa

Sembilan belas lima enam itulah tahunnya

Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia

Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia

Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda

Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,

Whitefish Bay kampung asalnya

Kagum dia pada revolusi Indonesia

Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya

Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama

Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernyaDadaku busung jadi anak Indonesia

Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy

Dan mendapat Ph.D. dari Rice University

Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army

Dulu dadaku tegap bila aku berdiri

Mengapa sering benar aku merunduk kini

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia

Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,

Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi

berterang-terang curang susah dicari tandingan,

Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu

dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek

secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,

Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,

senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan

peuyeum dipotong birokrasi

lebih separuh masuk kantung jas safari,

Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,

anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,

menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,

agar orangtua mereka bersenang hati,

Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum

sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas

penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,

Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan

sandiwara yang opininya bersilang tak habis

dan tak utus dilarang-larang,

Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata

supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,

Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,

ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,

sekarang saja sementara mereka kalah,

kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka

oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,

Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia

dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,

kabarnya dengan sepotong SK

suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,

Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,

lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,

Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,

fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,

Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat

jadi pertunjukan teror penonton antarkotacuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita

tak pernah bersedia menerima skor pertandingan

yang disetujui bersama,Di negeriku rupanya sudah diputuskan

kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,

lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil

karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,

sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,

Di negeriku ada pembunuhan, penculikan

dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,

Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,

Nipah, Santa Cruz dan Irian,

ada pula pembantahan terang-terangan

yang merupakan dusta terang-terangan

di bawah cahaya surya terang-terangan,

dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai

saksi terang-terangan,

Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,

tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang

menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak

Hukum tak tegak, doyong berderak-derak

Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,

Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza

Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia

Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata

Dan kubenamkan topi baret di kepala

Malu aku jadi orang Indonesia.1998

Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini Karya Taufik Ismail

Tidak ada pilihan lain Kita harus Berjalan terus Karena berhenti atau mundur Berarti hancur Apakah akan kita jual keyakinan kita Dalam pengabdian tanpa harga Akan maukah kita duduk satu meja Dengan para pembunuh tahun yang lalu Dalam setiap kalimat yang berakhiran

“Duli Tuanku ?”

Tidak ada lagi pilihan lain Kita harus Berjalan terus Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan Dan seribu pengeras suara yang hampa suara Tidak ada lagi pilihan lain Kita harus

Berjalan terus.

1966

Membaca Tanda-Tanda Kary Taufiq Ismail

Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan

dan meluncur lewat sela-sela jari kita

Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas

tapi kini kita mulai merindukannya

Kita saksikan udara abu-abu warnanya Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya Burung-burung kecil

tak lagi berkicau pagi hari

Hutan kehilangan ranting Ranting kehilangan daun Daun kehilangan dahan Dahan kehilangan

hutan

Kita saksikan zat asam didesak asam arang dan karbon dioksid itu

menggilas paru-paru

Kita saksikan Gunung memompa abu Abu membawa batu Batu membawa lindu Lindu membawa longsor Longsor membawa air Air membawa banjir

Banjir membawa air

air mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda Bisakah kita membaca tanda-tanda?

Allah Kami telah membaca gempa Kami telah disapu banjir Kami telah dihalau api dan hama

Kami telah dihujani abu dan batu

Allah Ampuni dosa-dosa kami

Beri kami kearifan membaca Seribu tanda-tanda

Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan

dan meluncur lewat sela-sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas tapi kini kami mulai

merindukannya.

1982

Puisi Kembalikan Indonesia Padaku (Taufik Ismail)

Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat, sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam

karena seratus juta penduduknya,

Kembalikan Indonesia

padaku

Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya, Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga, dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat, sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian, Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam

dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,

Kembalikan Indonesia

padaku

Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa, Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam karena seratus juta penduduknya, Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,

sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,

Kembalikan Indonesia

padaku

Paris, 1971

KUMPULAN PUISI GOENAWAN MUHAMMAD

Jarimu menandai sebuah percakapan

yang tak hendak kita rekam

di hitam sotong dan gelas sauvognon blanc

yang akan ditinggalkan.

Di kiri kita kanal menyusup

dari laut. Di jalan para kelasi

malam seakan-akan biru.

“Meskipun esok lazuardi,” katamu.

Aku dengar. Kita kenal

kegaduhan di aspal ini.

Kita tahu banyak hal.

Kita tahu apa yang sebentar.

Seseorang pernah mengatakan

kita telah disandingkan

sejak penghuni pertama ghetto Yahudi

membangun kedai.

Tapi kau tahu aku akan melepasmu di sudut itu,

tiap malam selesai, dan aku tahu kau akan pergi.

“Kota ini,” katamu, “adalah jam

yang digantikan matahari.”

2012

Tentang Chopin

Kembali ke nokturno, katamu. Aku inginkan Chopin.

Seperempat jam kemudian, tuts hitam pada piano itu menganga.

Malam telah melukai mereka.

Mungkin itu sebabnya kau selalu merasa bersalah, seakan-akan sedih adalah bagian dari ketidaktahuan.

Atau kecengengan. Tapi setiap malam, ada jalan batu dan lampu sebuah kota yang tak diingat lagi, dan kau,

yang mencoba mengenangnya dari cinta yang pendek, yang terburu, akan gagal. Di mana kota ini? Siapa yang

meletakkan tubuh itu di sisi tubuhmu?

Semua yang kembali

hanya menemuimu

pada mimpi yang tersisa

di ruas kamar….

Coba dengar, katamu lagi,

apa yang datang dalam No. 20 ini?

Di piano itu seseorang memandang ke luar

dan mencoba menjawab:

Mungkin hujan. Hanya hujan.

Tapi tak ada hujan dalam C-Sharp Minor, katamu.

2012

Yang tak menarik dari mati

adalah kebisuan sungai

ketika aku

menemuinya.

Yang menghibur dari mati

adalah sejuk batu-batu,

patahan-patahan kayu

pada arus itu.

2012

Aktor

Aktor terakhir menutup pintu.

“Caesar, aku pulang.”

Dan ruang-rias kosong. Cermin jadi dingin

seperti wajah tua yang ditinggalkan.

Siapapun pulang. Meski pada jas dengan punggung yang berlobang ia masih rasakan ujung pisau itu menikam dan akerdeon bernyanyi pada saat kematian.

“Teater,” sutradara selalu bergumam, “hanya kehidupan dua malam.”

“Tapi tetap kehidupan,” ia ingin menjawab.

Ia selalu merasa bisa menjawab.

Ia menyukai suaranya sendiri

dan beberapa kata-kata.

Tapi pada tiap reruntukan panggung

ia lupa kata-kata.

Pada tiap reruntukan panggunng

ia hanya ingin tiga detik — tiga detik yang yakin:

dalam lorong Kapai-Kapai, Abu tak berhenti

hanya karena cahaya tak ada lagi.

Ia tak menyukai melankoli.

2012

Rite of Spring

Tari itu melintas pada cermin:

bagian terakhir Ritus Musim.

Gerak gaun — paras putih –

tapak kaki yang melepas lantai….

23 tahun kemudian di kaca ia temukan wajahnya.

Sendiri. Terpisah dari ruang.

Lekang, seperti warna waktu pada kertas koreografi.

Tapi ia masih ingin meliukkan tangannya.

“Aku tak seperti dulu,” katanya,

“tapi di fragmen ini kau memerlukan aku.

Aku — hantu salju.”

Suaranya pelan. Seperti derak tulang

ketika di ruang latihan itu tak ada lagi adegan.

Hanya nafas. Mungkin ia masih di situ.

2012

Gallery Puisi Karya Taufik Ismail

Puisi Palestina Karya Taufik Ismail Ini Sangat Menyayat Hati

Doc Lutfi Azizah Kajian Puisi Religi20191003 80360 Luxyfv

Category Puisi Mada Maulana The Ordinary Medical Student

W S Rendra Taufik Ismail Sutardji Calzoum Bachri Chairil

Kumpulan Puisi Cinta Sastrawan Indonesia J Carta De

Puisi Pilu Untuk Palestina Jika Melihat Pasti Menangis

Rumah Puisi Taufiq Ismail Yang Menginspirasi Halaman All

33 Kumpulan Puisi Karya Taufik Ismail Yang Melegenda

Di Aksi Bela Palestina Anies Baca Puisi Karya Taufik Ismail

Puisi Kembalikan Indonesia Padaku

Puisi Karya Taufik

Apa Amanat Dari Puisi Beri Daku Sumba Karya Taufiq Ismail

Puisi Doa Karya Taufik Ismail Youtube

Puisi Palestina Karya Taufik Ismail Ini Sangat Menyayat Hati

Tadarus Puisi Di Balai Kota Ini Puisi Yang Akan Dibaca

Rumah Puisi Taufiq Ismail Yang Menginspirasi Halaman All

Majas Dan Citraan Pada Kumpulan Puisi Malu Aku Jadi Orang

Anies Sandi Baca Puisi Karya Taufik Ismail Ada Tanda Tanda

Ini Dia 5 Penyair Yang Karyanya Mengaduk Hati Merahputih

Coretan Err Coretan Err Puisi Takut 66 Takut 98

Doc Puisi Aku Salsabila Nazmoon Nazmoon Academia Edu

Anekdot Dalam Puisi Ppt Download

Kumpulan Puisi Karya Taufik Ismail N Carta De

Puisi Kembalikan Indonesia Karya Taufik Ismail Menggema Di

Kegiatan Sanggar Sastra Rumah Puisi Taufiq Ismail Dalam

Puisi Tuhan Sembilan Senti Karya Taufik Ismail Blog Pendidik

Puisi Materi Untuk Kelas 5 Sd

Kumpulan Puisi Dan Unsur Intrinsiknya

Ini Dia 5 Penyair Yang Karyanya Mengaduk Hati Merahputih


0 Response to "Puisi Karya Taufik Ismail"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel